Chereads / Love Rain / Chapter 11 - Kecerobohan Part 1

Chapter 11 - Kecerobohan Part 1

Dua buah mobil memasuki area sebuah rumah besar nan asri dengan gaya eropa. Sebuah rumah yang terkesan tinggi dan mewah, dengan cat tembok yang di dominasi warna cream dan banyak ornamen-ornamen khas eropa terpasang rapi di bangunan tersebut.

Mobil pertama berhenti tepat di depan pintu utama rumah, dan disambut dengan sebuah pintu yang besar dan memiliki tinggi hampir dua kali lipat lebih dari pintu-pintu yang biasa ada di rumah-rumah Indonesia.

Sekeliling pintu terdapat ukiran-ukiran yang makin mempercantik pintu tersebut, rumah ini pun memiliki banyak jendela dengan ukuran yang besar-besar, secara garis besar facade rumah tersebut benar-benar penuh dengan detail. Memiliki atap yang lebih miring, dan terlihat megah seperti sebuah kastil kerajaan.

"Gila, rumah Dewa udah kayak kastil ya, Ra." ucap Dewita.

"Iya, bener banget Wit." Jawab gue, masih dengan tatapan terpaku akan keindahan rumah Dewa.

"Tampak luar aja udah keren begini, gimana interior rumahnya coba? Pasti keren banget, rumah ini benar-benar arsitektural banget."batin gue.

Lalu gue dan Dewita bergegas keluar mobil mengikuti Dewa dan Dito yang juga udah mulai keluar dari mobil.

"Wa, rumah lu keren banget." Ucap Dewita, sambil mengacungkan jempol tangan kanannya.

"Makasih Wit," balas Dewa sambil tersenyum senang.

"Pasti keren lah Wit, yang desain aja arsitek Dwika Purana." jawab Dito.

"Dwika Purana? Arsitek yang terkenal itu, Dit?" tanya gue antusias.

"Iya ra, dan beliau itu bokap dari temen kita ini lho, Ra." Ucap Dito, sembari merangkul pundak Dewa.

"Wah, gak nyangka gue Dit. Gue suka banget sama hasil-hasil desain beliau, dan selalu update tentang project-project beliau." ucap gue.

"Thanks ra, bokap pasti seneng banget dengernya. Yaudah, yuk masuk! Udah pada haus kan?"

"Lumayan Wa." ucap gue.

Lalu kami bertiga mengikuti Dewa untuk memasuki rumah. Setelah pintu terbuka, kalimat yang gue ucapin di dalam hati tadi benar-benar terjawab sudah. Interior rumah Dewa terlihat mewah, tapi gak berlebihan.

Semua tertata rapi dengan warna pastel mendominasi untuk semua furniture dan asesoris dinding. Gak salah gue mengagumi karya-karya arsitek Dwika Purana, gue seperti menemukan sebuah inspirasi untuk cerita novel gue selanjutnya.

"Anggap aja rumah sendiri, gue ke atas dulu ya. Dit, ambil makanan dan minuman sendiri ya di dapur? mbok Jum lagi pulang kampung soalnya," ucap Dewa.

"Oke Wa."

"Yaudah, yuk kita bantuin sekalian Dit." Tawar gue, sembari menoel pundak Dewita memberi kode.

"Yaudah yuk." ucap Dito.

Gue dan Dewita mengikuti arah jalan Dito menuju sebuah dapur yang terbilang luas dan cozy. Gue sengaja berjalan lebih lambat agar Dewita bisa berjalan beriringan bareng Dito. Muka Dewita berubah merah banget kayak warna tomat ceri yang siap di santap, karna berada di radius yang terlalu dekat di sisi Dito.

"Muka gue bakal kayak Dewita gak ya? kalau gue juga berada di radius yang terlalu dekat sama Dewa." batin gue.

Disaat gue lagi asik dengan pikiran gue sendiri, tiba-tiba ada suara lirih di samping telinga kanan gue.

"Ra, ngalamunin apaan?"

Reflek gue tersadar dan menoleh sekilas ke sebelah kanan, alangkah terkejutnya gue melihat wajah seseorang yang hanya berjarak 3cm di wajah gue. Gue yakin muka gue pasti lebih merah dari muka Dewita yang gue liat barusan. Oh god, rasanya gue pengen langsung pingsan aja kalau kayak begini.

"Ra, you oke?" ucap Dewa lagi.

"Hmm,iya. Gue oke kok Wa," balas gue terbata dan mulai mundur perlahan menjauh dari situasi ini.

"Kalian ngapain disitu?" tanya Dito.

"Oh, ini. Gue tadi ngagetin Ara, jadi dia masih sedikit shock." balas Dewa.

"Oh gitu." ucap Dito.

"Yaudah yuk! Kita mulai ngerjain tugas kalau begitu," ajak gue menghindari pertanyaan Dito.

Kami berempat bergegas menuju sebuah ruangan untuk memulai mengerjakan tugas yang harus di serahkan minggu depan. Hari ini harus selesai pokoknya, biar gue bisa nyicil cerita untuk di kirim ke editor nantinya.

Setelah beberapa lama kita serius dengan tugas, tanpa terasa hari telah malam. Gue pun udah ngerasa lelah dan tanpa sadar gue tertidur.

"Ra, Ara." terdengar seseorang memanggil sebuah nama.

"Ra, bangun yuk! kita pulang!" Panggil seseorang sambil menggerakkan tubuh gue.

Dan akhirnya gue tersadar, bahwa gue barusan tertidur dan sekarang lagi dibangunin sama seorang wanita.

"Balik yuk?" ajaknya lagi.

"Oh iya." balas gue bingung.

"Yaudah Wa, kita balik duluan ya?" ucap gadis tersebut.

"Oke wit, hati-hati ya kalian."

"Si Dito gimana?" tanya gadis itu lagi.

"Dia udah biasa nginep di rumah gue kok."

"Yaudah kalau gitu, kita balik duluan ya?"

"Oke, hati-hati ya Wit. Elu juga hati-hati ya Ra," ucap si pria dengan tatapan lembut menatap gue. Dan gue hanya mengangguk membalasnya.

***

"Lu kok bangun tidur kayak jadi orang lain sih, Ra?" tanya si gadis tadi.

"Ahh, gak papa. Mungkin nyawa gue belum ngumpul semua." jawab gue memberikan alasan.

Sepanjang perjalanan gak banyak kata yang terucap dari gue, padahal si gadis ini ngajak gue ngobrol mulu. Dan kami berbelok memasuki sebuah pom bensin, dan inilah waktunya buat gue sadar sepenuhnya.

"Gue ke toilet dulu ya." ucap gue.

"Oke, Ra."

Lalu bergegas gue menuju toilet dan melakukan sesuatu yang seharusnya gue lakukan setiap gue terbangun dari tidur.

"Alhamdullillah" ucap gue penuh syukur.

Gue pun keluar toilet menuju sebuah mobil milik Dewita.

"Udah, Ra?" tanya Dewita.

"Udah, Wit. Ayo jalan!"

Dewita hanya menatap gue masih dengan ekspresi bingung, dan melajukan mobilnya menuju rumah bu Kartiyah untuk mengantarkan gue mengambil motor. Dan di kursi belakang sudah ada dua bingkisan yang gue tahu bakal dikasih ke siapa bingkisan itu.

"Lu, udah beli sesuatu to buat bu Kartiyah?" tanya gue.

"Udah, Ra. Tadi pas nungguin lu ke toilet, gue turun aja buat beli sesuatu di minimarket pom bensin."

"Alhamdulillah kalau gitu, abis berapa? Sekarang gue transfer nih," ucap gue sambil mengeluarkan ponsel untuk melakukan mobile banking.

"Udah gak usah, Ra. Sekali-kali gue lah yang beliin sesuatu buat bu Kartiyah."

"Tapi kan, gue yang sering ngerepotin bu Kartiyah, Wit. Atau gak kita bagi rata aja gimana?" saran gue.

"Untuk kali ini, biarin gue berbuat baik buat bu Kartiyah ya, Ra. Please!" jawab Dewita memohon.

"Yaudah deh kalau gitu, tapi besok-besok kita patungan ya?"

"Oke deh, Ra."

Setelah memberikan bingkisan dan berpamitan sama bu Kartiyah dan keluarganya, gue menaiki motor gue dan bergegas pulang. Gue dan Dewita berpisah jalan sesaat setelah sampai di pertigaan jalan, dan kami berdua saling membunyikan klakson sebagai tanda berpisah jalan.