Chereads / He Or Him? / Chapter 3 - New Place New Life

Chapter 3 - New Place New Life

Author POV

Banyak orang berbaju silih berganti masuk ke rumah Maya dengan wajah sedih. Seakan ikut merasakan kepergian si empunya rumah. Pria, wanita, remaja bahkan lanjut usia tak henti-hentinya mengucap belasungkawa kepada gadis yang baru pulang dari menimba ilmu di negeri orang atas kematian satu-satunya keluarga yang ia punya.

Gadis itu hanya terduduk di samping jasad wanita yang sudah terbungkus kain batik panjang. Ia hanya terduduk, pandangannya kosong menatap ke arah jasad yang sudah tak bernyawa lagi. Di samping gadis itu, terdapat gadis berambut panjang yang sejak tadi dengan setia merangkul dan mengusap lembut punggungnya dengan maksud menguatkan.

"May, yang sabar ya. Ibumu sudah tenang di sana. Ini semua sudah takdir dari yang di atas." Kata Cyntia mencoba menenangkan Maya. Ia sudah berusaha dengan segala cara untuk menenangkan sahabatnya itu.

Beragam cara Cyntia lakukan untuk menguatkan hati Maya. Tapi Maya hanya terdiam membisu, menatap kosong ke arah Ibunya yang sebentar lagi akan dikenakan kafan.

Tangisnya semakin menjadi-jadi ketika jenazah ibunya akan diberangkatkan ke pemakaman desa. Berkali-kali ia jatuh pingsan. Berkali-kali Cyntia menyuruhnya makan atau sekedar mengisi perutnya karena sepulang dari Inggris tak satupun makanan yang masuk ke tubuh Maya. Namun, semuanya Maya tolak hingga tubuhnya lemas.

*****************

Rismaya POV

Aku tersadar kembali dari kesekian kalinya aku pingsan. Entah sudah berapa kali aku pingsan. Entah berapa kali aku menangis meraung kemudian pingsan lalu terbangun lagi. Kurasakan lelah tubuhku, tapi yang lebih parahnya perih di dadaku yang tak bisa kuceritakan.

Cyntia sedari tadi selalu menguatkanku, memberi semangat agar selalu tetap tegar dan tabah. Membujukku untuk makan agar aku tetap kuat. Mungkin lebih tepatnya lagi agar aku tidak menyusul Ibuku yang telah damai di sana.

Namun, justru yang kuinginkan sekarang adalah menyusul Ibuku. Agar aku tenang. Agar aku tidak kesepian. Tak ada lagi keluarga di sini. Aku tak tahu harus bagaimana lagi.

Air mataku sudah kering. Mataku seakan bosan mengeluarkan air mata terus menerus. Dan kurasakan juga perutku yang mulai protes minta diisi. Namun, jujur saja untuk minum saja lidahku terasa sangat pahit apalagi harus makan.

Setelah Ibuku dikebumikan, aku tetap terduduk di tikar ruang tamu rumahku. Kubiarkan orang lain berseliweran di dalam rumahku. Cyntia yang sejak tadi merangkulku pun juga kubiarkan. Kepalaku berdenyut seakan mau pecah.

Kulihat dari kejauhan nampak sebuah mobil putih terparkir di halaman rumahku. Kemudian tak lama setelah itu, kulihat seorang pria tua dan seorang wanita yang kuduga adalah istrinya turun dari mobil itu hendak menuju rumahku.

Si wanita itu sangat cantik dan elegant, walaupun usianya sudah tak lagi muda. Kutafsir jika usia wanita itu mungkin tak beda jauh dengan usia Ibuku. Si pria pun juga terlihat masih sehat dan segar meskipun terlihat jelas bahwa rambutnya sudah dipenuhi dengan uban.

Mereka masuk kemudian menyapa siapapun yang ada di dalam rumahku. Termasuk diriku dan Bu Sri yang kebetulan ada di sana.

Si wanita itu nampak akrab dengan Bu Sri. Bercakap-cakap dengan sesekali mencuri pandang ke arahku. Menatap dengan iba.

"Maya, perkenalkan beliau ini adalah Tante Jenar Adiwilaga dan ini Om Fusena Adiwilaga. Mereka ini suami istri. Tante Jenar adalah teman sekolah ibumu sewaktu SMA dulu," kata Bu Sri. Aku mengerti sekarang mengapa mereka kemari. Aku hanya menganggukkan kepala memberi maksud kalau aku paham.

"Mumpung sudah berkumpul semua, saya akan memberi tahu sesuatu yang penting. Tapi sebelum itu saya akan memberikan surat wasiat yang dititipkan Ibu Maya kepada saya sebelum beliau wafat. Silahkan baca, May." ucap Bu Sri seraya memberikan sepucuk surat kepadaku.

Surat wasiat. Entah apa isinya aku tak tahu. Kubuka dan kubaca dengan hati-hati. Cyntia yang ada di sebelahku pun sepertinya ikut membaca surat Ibuku itu.

"Kau akan dijodohkan, May?" Bukan hanya Cyntia yang terkejut dengan isi surat itu, aku pun juga jelas sangat terkejut. Intinya, isi dari surat wasiat itu adalah aku akan dititipkan dan dijodohkan dengan anak ketiga dari keluarga Adiwilaga.

Adiwilaga? Sepertinya tak asing di telingaku.

"Sesuai dengan isi surat itu, Widhi dan keluargaku sudah setuju dengan perjodohan ini, Maya. Maaf jika kau belum mengetahui. Sebenarnya pula aku sudah menduga kalau Widhi menderita penyakit parah." Ucap Tante Jenar kepadaku.

"Tante ini adalah Tante Jenar Adiwilaga? Adiwilaga yang itu?" Tanya Cyntia, akan memastikan sesuatu.

"Seperti yang dijelaskan Bu Sri tadi. Bahwa kami adalah keluarga Adiwilaga." Shit! Aku baru ingat! Ternyata Adiwilaga pemilik pabrik komputer dan alat-alat tekonologi lainnya. Bukan hanya itu, Adiwilaga juga mempunyai bisnis sukucadang yang digunakan untuk bahan baku pembuatan komputer. Aku tak paham detailnya karena memang aku bukan ahli IT.

Wait! Aku akan dijodohkan dengan anak ketiga dari keluarga itu? Kepalaku semakin berdenyut-denyut tak karuan.

"Oh Gosh!! Kau akan bertunangan dengan lelaki kaya, May. Kau bahkan tidak perlu lagi kerja part time lagi. Kehidupanmu akan terjamin bersama mereka." Pernyataan Cyntia memang terdengar menggiurkan tapi tidak bagiku. Hatiku merasa semakin perih. Karena aku merasa telah menjual nyawa Ibuku demi kehidupanku yang lebih baik.

"Ya kurang lebih seperti itulah. Jadi, Maya akan pindah ke rumah kami yang ada di Cirebon. Kau akan segera kami tunangkan dengan Lingga, putra ketiga kami." ujar Om Fusena yang duduk di samping Tante Jenar.

Cirebon? Pindah bersama mereka? Lalu bagaimana dengan rumah ini? Rumah yang telah menorehkan seluruh kenanganku bersama Ayah dan Ibuku semasa mereka hidup. Sontak kugelengkan kepalaku, menolak mentah-mentah pernyataan mereka.

"Aku tidak mau pergi. Aku hanya ingin di sini. Di rumah ini aku merasa seperti bersama Ayah dan Ibuku lagi. Aku merasa mereka masih hidup." Kutolak mereka dengan air mata yang hendak mengalir lagi.

"Saya tahu kalau Maya pasti akan menolak. Tapi tolong pikirkan lagi, May. Ini semua bukan hanya dari permintaan mereka. Ini permintaan Ibumu, May. Lewat surat wasiat itu pasti kau sudah paham. Ibumu ingin yang terbaik untukmu, Maya." Kata Bu Sri, memberi penjelasan kepadaku.

"Benar begitu, Maya. Rencana Ibumu ini sudah lama ia bicarakan kepada kami. Ia sangat mempercayakanmu kepada keluarga kami. Awalnya aku ingin menolak permintaan Widhi, Ibumu. Tapi aku merasa ada yang aneh dengan permintaan itu." Ucap Tante Jenar dengan wajah sedihnya.

"Mungkin yang dikatakan mereka benar, May. Ibumu hanya ingin yang terbaik untukmu. Aku juga akan selalu mendukungmu. Ingat, aku akan selalu siap membantumu kapanpun kau mau." ujar Cyntia menguatkanku.

"Tapi, aku merasa seperti telah menjual nyawa Ibuku demi kebahagiaanku." kataku sambil menahan tangis.

"Tidak ada yang menagatakan seperti itu, Maya. Widhi telah merencanakan jauh sesaat sebelum kau kembali ke Indonesia." kata Tante Jenar menjelaskan apa yang dulunya terjadi.

Dengan berat hati, kuputuskan untuk menuruti keinginan terakhir Ibuku. Aku bersiap untuk ikut Keluarga Adiwilaga ke Cirebon, tempat yang jauh dari kampung halamanku.

"Kau bisa kemari kapanpun, Maya. Rumah ini tidak akan terjual dan akan tetap menjadi hak milikmu." Kata Bu Sri.

Aku hanya mengangguk dan memeluk Bu Sri. Kupeluk juga Cyntia yang dengan sabar mendampingiku saat aku benar-benar jatuh.

"Ingat, May! Aku akan selalu siap membantumu kapanpun kau mau. Jangan sungkan untuk menelfonku ataupun sekedar menchatku. Uhhh!! Kau belum pergi saja aku sudah merindukanmu." Kata Cyntia seraya memelukku erat.

Seusai berpamitan, aku dan Keluarga Adiwilaga beserta sopir segera berangkat menuju Cirebon, tempat keluarga itu berada.