Setelah sekitar delapan jam perjalanan, akhirnya sampai juga ke rumah Keluarga Adiwilaga. Dari halaman pun sudah terlihat sebuah bangunan megah namun tidak terlihat norak. Elegant dan sangat bagus.
"Selamat datang di Keluarga Adiwilaga, Maya. Widhi pasti sangat senang melihat putrinya yang cantik ini bersamaku sekarang. Maya, kau ingin makan apa? Biar koki rumah yang memasakkannya untukmu." Tanya Tante Jenar kepadaku. Ia sangat baik dan ramah, membuatku semakin sungkan.
"Maya tidak minta apa-apa, Tante." kataku sambil tersenyum.
"Tante? Oh no no!! Panggil aku Mama. Mulai sekarang kau adalah anak angkatku. Kau mengerti Maya? Dari dulu aku ingin sekali punya putri sepertimu. Cantik, pintar dan mandiri. Sepertinya memang sudah jodohnya dengan Lingga." Aku hanya tersenyum mendengar pernyataan Tante Jenar. Ah ralat! Mama Jenar.
Kami masuk ke dalam rumah elegant itu. Seketika aku tertegun melihat interior rumah yang serba kayu. Memberi kesan hangat bagiku. Jujur, pertama kali aku masuk aku langsung suka dengan rumah ini.
Namun, tidak dengan penghuni rumahnya. Lebih tepatnya anak-anak Mama Jenar atau para Adiwilaga muda. Mereka menatap tajam ke arahku.
Aku sangat takut dan khawatir akan terjadi sesuatu kepadaku ke depannya.
********************
Tiga Adiwilaga muda nampak melihatku dengan tatapan seakan tidak suka dengan kehadiranku. Aku sadar memang aku adalah orang asing bagi mereka. Aku paham jika kehadiranku justru membuat ketenangan mereka terusik. Tapi aku juga tidak tahu harus bagaimana.
"Silahkan masuk, Maya. Jangan malu-malu. Oh iya, perkenalkan mereka bertiga ini anak Mama. Yang baju abu-abu itu namanya Raynar, dia anak pertama Mama. Lalu yang paling cantik itu namanya Arsyana, anak kedua Mama. Kemudian anak terakhir sekaligus calon tunanganmu adalah Lingga yang berbaju hitam itu. Bagaimana? Tampan kan?" Aku mendengar dengan seksama tentang apa yang dijelaskan Mama Jenar hingga bagian terakhir dari penjelasan itu membuatku terkejut.
Bukan hanya aku, tiga Adiwilaga muda pun sama terkejutnya denganku. Terlebih Lingga, pria yang akan bertunangan denganku. Aku tak berani melihat sorot matanya yang tajam. Menatapku seakan ingin mengulitiku bahkan memakanku. Rahangnya menguat seakan giginya akan retak.
Kualihkan pandanganku kepada Raynar, anak pertama dari Keluarga Adiwilaga. Yang awalnya menatapku tajam kini berganti sedikit lembut. Aku heran dengan perubahan pandangan itu. Kualihkan lagi pandanganku ke bawah. Aku menunduk karena tak sanggup melihat tatapan mereka.
"Kalian, kenalkan dia ini Rismaya Zabarjad. Anak dari teman Mama yang sering Mama ceritakan itu. Mulai sekarang Maya akan tinggal di sini. Dan sebulan lagi kita akan mengadakan pertunangan Maya dengan Lingga." Ujar Mama Jenar.
"Ma! Lingga nggak setuju dijodohkan dengan gadis tidak jelas seperti dia! Lingga tidak cinta! Lagipula Lingga sudah punya pacar. Mama tahu Ara kan? Dia yang akan menjadi tunangan Lingga!" ucap Lingga dengan nada kasar kepada Mamanya.
Aku yang melihatnya hanya tercengang dengan sikap kasar Lingga kepada ibu kandungnya itu. Aku bahkan tak pernah membentak ibuku seumur hidupku.
"Arabella Floyd. Tentu Mama tahu. Dia adalah gadis yang tidak punya sopan santun. Tingkah lakunya sangat buruk. Percuma lulusan Oxford University tapi keluannya seperti gadis rendahan! Mama jadi penasaran apakah benar gadis itu alumni dari kampus itu atau hanya karangan!" ucap Mama Jenar kepada Lingga.
Aku yang mendengar mereka berdebat hanya menunduk. Tentu aku merasa sangat bersalah kepada Keluarga Adiwilaga. Lagi-lagi aku tak tahu harus bagaimana.
"Mama! Ara itu gadis baik-baik. Memang penampilannya agak nyentrik. Tapi Lingga nyaman dengannya. Dia juga benar-benar lulusan Oxford University. Bukan seperti gadis yang Mama bawa sekarang. Tampilannya saja seperti gelandangan. Sangat tidak cocok denganku." Pernyataan Lingga sontak membuat hatiku sakit.
Setelah kepergian Ibuku, aku tak sedikitpun memeriksa penampilanku. Mungkin apa yang dikatakan Lingga benar, bahwa sekarang penampilanku sudah seperti gelandangan.
"Lingga! Jaga bicaramu! Maya ini lulusan Cambridge University dan baru pulang dari sana. Dan juga ia baru saja kehilangan ibunya." Kulihat Mama Jenar sangat marah kepada Lingga.
"Cambridge University? Jurusan apa?" Tanya Raynar kepadaku.
"Jurusan Astronomi, Kak." jawabku singkat.
Entah aku salah lihat atau bagaimana tapi sekelebat aku melihat Raynar tersenyum simpul kemudian segera dihilangkan setelah aku memergokinya.
"Sudahlah. Apa kalian tidak lelah bertengkar terus dari tadi? Ayo kita duduk dulu. Mbok Romlah, tolong antarkan Maya ke kamarnya." Perintah Papa Fusena kepada seorang wanita paruh baya.
"Mari, Non." Aku berjalan di belakang wanita yang dipanggil Mbok Romlah tadi.
"Kalau di sini jangan kaget ya, Non. Den Lingga memang sering berbuat ulah. Dia yang paling nakal di keluarga ini. Jadi yang sabar aja." Dari nadanya, Mbok Romlah ini termasuk wanita yang sangat halus dan sabar.
"Iya, Mbok. Terima kasih."
"Sekarang, Non Maya istirahat dulu ya. Mbok siapkan air hangat buat Non mandi." Kata Mbok Romlah sebelum keluar dari kamar baruku.
"Sekali lagi terima kasih, Mbok. Dan maaf kalau Maya ngrepotin."
"Itu sudah menjadi tugas Mbok. Saya permisi dulu, Non." ucap Mbok Romlah seraya menutup pintu.
Kuedarkan pandanganku ke segala penjuru kamar yang baru kutempati ini. Warna maroon sangat mendominasi kamar ini. Jujur, aku sangat menyukainya. Desain yang simpel dan warna maroon. Aku menyukai keduanya.
Kurebahkan tubuhku di atas kasur empuk di pojok kamar. Benar-benar sangat empuk. Aku masih mendengar sayup-sayup Lingga yang masih berdebat dengan Mama Jenar.
Sesekali Papa Fusena ikut melerai keduanya. Perasaanku semakin tak karuan melihat Keluarga Adiwilaga yang mungkin awalnya damai menjadi panas sejak kehadiranku. Apakah keputusanku untuk datang ke sini sudah tepat? Bagaimana dengan kehidupanku kedepannya? Bagaimana jika Lingga tidak bisa menerimaku selamanya? Ibu, aku harus bagaimana?
Jujur, hatiku merasa aneh ketika melihat Lingga untuk yang pertama kalinya. Entah perasaan apa itu. Yang pasti aku sangat mengagumi wajah dan postur dari seorang Lingga Adiwilaga.
Mata yang tajam, alis yang tebal, hidung yang mancung dan tegas, rahang yang tirus, bibir tipis namun menggoda dan postur tubuh yang tinggi gagah seperti model.
Lamunanku beralih kepada gadis yang Lingga sebut tadi. Arabella Floyd. Siapakah dia? Sudah berapa lama mereka berpacaran? Bagaimana hubungan mereka selama ini? Seperti apakah gadis itu hingga mampu membuat Lingga jatuh hati kepadanya?
Arrrgghh!! Kepalaku pusing memikirkan itu semua. Kurasakan mataku semakin berat dan aku sudah tak kuat lagi. Kututup mataku dan kudengar suara wanita memanggil namaku. Namun, rasa kantukku mengalahkan segalanya.
*****************
Dingin kurasakan di kulitku yang tidak memakai selimut. Awalnya kuabaikan namun semakin lama hawa dingin semakin menusuk tubuhku. Akhirnya kuputuskan untuk bangun dan memeriksa jam berapa sekarang ini. Sudah berapa lama aku tertidur?
Kubuka ponsel dan kulihat jam di layar. Pukul dua pagi? Berarti sudah sekitar tujuh jam aku tertidur. Kurasakan lengket di tubuhku. Lalu kuputuskan untuk mandi. Ternyata di kamarku sudah ada kamar mandi dalamnya. Sungguh rumah yang mewah. Rumahku saja hanya ada satu kloset dan satu kamar mandi.
Di dalam kamar mandi terdapat sebuah shower di ujung ruangan. Untungnya saja kamar mandi asramaku dulu menggunakan shower jadinya aku tidak terlalu udik. Kuatur shower itu menjadi air hangat agar aku tidak kedinginan tentunya.
Walaupun aku mandi dengan air hangat tadi, tapi hal itu tetap tak mampu mengusir rasa dingin yang menyerang tubuhku. Aku butuh minuman yang hangat tapi aku segan jika harus ke dapur malam-malam. Lagipula aku juga belum hafal tentang seluk beluk rumah ini.
Akhirnya kuputuskan untuk menutupi seluruh tubuhku dengan selimut dan tidur lagi. Namun, semakin lama rasa haus dan lapar mulai terasa. Dengan terpaksa aku pergi membuka pintu kamarku kemudian pergi ke dapur yang ada di bawah.
Kulangkahkan kakiku pelan-pelan agar tidak membangunkan penghuni rumah.