"Tapi aku belum membaca isi dari surat perjanjian itu kan mas." Kata Lita yang ingin tau akan isi perjanjian kerjasama mereka.
"Sudah, serahkan padaku. Kamu bereskan meja ini dan aku akan mengantar Dimas keluar." Kata Robby memotong usulan Lita.
Tanpa ambil pusing, Lita membereskan meja dan bekas suguhan tadi. Banyak pertanyaan di kepalanya mengenai poin poin perjanjian. Tapi semua itu di urungkannya mengingat Robby yang bersikap sedikit aneh.
"Besok lagi kalau ada orang jangan pakai pakaian yang seperti itu!" Seru Robby yang berjalan melewati Lita dan menuju ke kamar tidur mereka.
"Mas, tunggu. Sini aku kasih tau kamu." Kata Lita yang sedikit berlari dan menyusul lalu menarik ujung lengan baju piyama Robby.
Sampainya di kamar Lita langsung membuka lemari pakaian. Di tunjukkan ya kepada Robby baju baju yang bergantung itu. Robby hanya diam dan masih tidak mengerti.
"Lihat mas, aku baru sadar tadi pagi. Ternyata baju bajuku yang lain banyak yang tidak ada. Semuanya hampir seperti ini." Kata Lita mengadu.
"Apasih, memang bajumu tadinya seperti apa?" Tanya Robby yang benar-benar tidak tahu.
"Ya, tadinya kan bajuku banyak sopan dan tertutup. Tapi tadi waktu aku mandi dan mencari, baru aku sadar kalau semuanya sudah berganti." kata Lita sambil menunjukkan satu setel baju.
"Lihat ini, celananya begitu pendek dan sangat ketat."
"Ini lihat ini, dadanya terbuka."
"Ini, punggungnya menganga."
"Terus ini juga lihat, roknya sangat minim."
"Hampir semua modelnya seperti ini. Hanya yang aku pakai ini saja yang menurutku aman dan sopan." Kata Lita menjelaskan.
"Itu juga tidak aman kataku. Lihat, ini seharusnya cara pakainya seperti ini." Ujar Robby sambil menarik turun kerutan yang ada di pundak Lita menjadi lurus setinggi dada.
"Ih, mas! Aku malu." Kata Lita setengah menjerit dan mundur satu langkah lalu merapikan kembali pakaiannya.
*Aku tau pelakunya. Mama, kamu mengajari apa kepada menantumu yang polos ini?* Batin Robby sambil mengusap keningnya.
"Pakai uangmu yang sudah aku berikan untuk membeli baju yang kamu inginkan. Ingat, yang sopan dan aman." Pesan Robby sambil berjalan menuju ke kamar mandi.
"Okay, aku berangkat sekarang ya. Biar di antar bang Leo." Kata Lita.
"Tidak!" seru Robby yang kembali berlari dan berdiri di hadapan Lita.
"Aku saja yang mengantar. Tunggu aku selesai bersiap." Kata Robby memberi peringatan.
Lita mengangguk perlahan.
"Simpan saja uangmu, pakai kartu kreditku saja!" Kata Robby sambil berteriak dari dalam kamar mandi.
Lita hanya menurut dan keluar dari kamar. Sambil menunggu suaminya selesai Lita memutuskan untuk menjemur beberapa baju. Tanpa sengaja tangan Lita meraba sesuatu yang dia temukan dari saku celana Robby. Sebuah cincin yang bertahtakan berlian mungil nan rapi di atasnya. Lita mensejajarkan dengan cincin kawin mereka namun itu sangatlah jauh berbeda.
Robby yang sudah selesai bersiap berjalan menuju ke ruang cuci baju. Disana Robby melihat Lita sambil memegang sebuah cincin. Robby mengetuk keningnya dan menggigit bibir bawahnya seperti ada kecemasan di dalam hatinya.
"Kemarikan." Kata Robby tiba tiba sambil merebut cincin itu dari tangan Lita.
Lita menoleh dan terkejut melihat tindakan Suaminya.
"Kenapa mas? Aku tau mas, itu cincin siapa. Baru saja aku ingat." Kata Lita dengan tenang.
"Apa yang kamu tahu, dan apa yang kamu ingat?" Tanya Robby dingin.
"Aku tahu. Sabrina, apartment sebelah, kalian berdua, mabuk. Aku masih ingat semuanya." Kata Lita yang seperti berputus asa lalu pergi dan duduk di sofa.
*Kenapa aku begitu merasakan hancur? Saat tau dia masih menyimpan benda yang berkaitan dengan Sabrina. Ada apa denganku? Aku menjadi sedikit aneh sekarang, air mataku seperti ingin terjun bebas.* Batin Lita yang duduk termangu.
Lita duduk melamun di sofa dengan tatapan kosong seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Robby datang menghampirinya dan duduk sangat dekat dengan Lita.
"Dengar. Aku tahu kita sudah menikah dan sah menjadi suami istri. Tapi aku mohon padamu, mengertilah aku. Tidak mudah bagiku untuk melupakan dia. Bagaimanapun aku tidak akan pernah bisa lupa."
"Sekeras apapun aku mencoba, dia tetaplah menjadi bagian dari kisah hidupku. Aku tidak bisa melupakannya, aku hanya bisa menimbunnya dengan kehidupan dan kisah yang baru agar kisah lama itu tidak terlihat lagi Lita." Kata Robby.
"Aku tidak pernah menyuruh atau memaksamu untuk melupakannya. Aku cukup sadar diri, aku disini sebagai apa dan seperti apa bagimu mas." Kata Lita dengan suara yang mulai bergetar.
"Jangan paksakan hatimu. Karena itu akan sangat menyakitkan. Dan aku, aku tidak mau jika adanya aku disini adalah hanya sebagai penambah bebanmu." Kata Lita yang kini berdiri dan berjalan menuju ke kamar tidur tamu.
"Ta, ta.... Lita. Dengarkan aku, bukan itu maksudku." Kata Robby yang menyusul dan memeluk Lita dari belakang.
"Mas, lepaskan. Jangan jadikan aku mahluk yang cengeng. Aku ingin sendirian mas." Kata Lita sambil melepas pelukan Robby.
Lita masuk kedalam kamar tamu lalu mengunci pintunya. Sementara Robby mengamuk sambil menghajar sofa dan bantal bantal yang ada di sana.
*Bodoh, kenapa cincin ini bisa ada di sana? Atau Sabrina sengaja melakukan ini? Dia sengaja ingin menghancurkan rumah tangga ku.* Batin Robby kesal.
"Argghhh....! Sial!" Teriak Robby kesal sambil menutup wajahnya dengan bantal sofa.
Sementara itu, Lita menangis sambil tengkurap di ranjang. Isak tangisnya teredam oleh selimut dan bantal yang basah karena air mata.
"Kenapa hatiku sakit dan tidak bisa menerima jika memang dia butuh waktu untuk menimbun kisah lamanya?" gumam Lita tanpa suara meratapi kesedihannya.
"Ini sedikit aneh, tapi sungguh membuatku sesak. Kenapa aku sangat marah?" gerutu Lita memarahi dirinya sendiri.
Malam harinya.
Lita keluar dari dalam kamar karena lapar, di lihatnya sekelilingnya. Robby tidak ada di ruang tamu atau kamar. Lita lalu mulai menggoreng telur dan makan dengan tangannya. Saat sedang makan tiba tiba Robby datang. Tanpa suara bel atau pintu yang terbuka, rupanya sedari tadi Robby tertidur di lantai di sela antara meja dan sofa. Lita sama sekali tidak melihatnya karena sama sama berwarna abu-abu. Robby mengenakan Hoodie berwarna abu abu sementara celananya yang hitam tadi tertutup bantal sofa.
"Aku mau." Kata Robby dari belakang Lita yang duduk sambil menikmati makanannya.
"Wua...! ih...! Sumpah ngaggetin banget." Seru Lita yang terkejut sambil memegang dadanya.
"Aku lapar." Kata Robby merengek meminta makan.
"masak saja sendiri, atau enggak suruh masakin Sabrina sana!" Ucap Lita tiba tiba sambil membawa piringnya pergi.
*Kenapa dia semarah itu sih, pakai sebut nama Sabrina segala. Kan kata dia kemarin lusa kita sama sama mulai dari awal. Tapi kenapa semarah ini?* Pikir Robby yang tidak mengerti maksud Lita.
"Enggak mau, maunya kamu yang masakin." Jawab Robby polos.
"Sana sana, datang ke Sabrina saja. Kemarin kamu dinas keluar kota juga pasti ketemu dia kan?" Kata Lita dengan tatapan tajamnya.
"Iya, eh enggak. enggak siapa yang ketemu. Kamu ngapain sih marah marah terus? Bukanya kata kamu kita sama sama berusaha untuk menjadi suami istri yang baik ya? Atau kamu cemburu?" Kata Robby menegaskan jika mereka akan memulai awal yang baru.
"Cemburu? Males banget!" Jawab Lita mengelak.
*Apa iya aku cemburu ya? Tapi tidak mungkin, memangnya dia dan aku sudah saling menyatakan perasaan? Kan belum, jadi ini bukan cemburu. Cuma sebel aja.* Batin Lita yang menerka sendiri apa yang di rasanya.
"Ya sudah kalau kamu tidak cemburu, aku akan menyuruhnya datang kemari dan membelikan ku makanan." Kata Robby mengancam.
"Lakukanlah! Aku juga akan bilang sama kakek kalau kamu sudah melanggar semua janjimu pada kakek dan membawa Sabrina masuk ke apartemen ini." Balas Lita sambil melahap makanannya.
Robby menelan ludah dan mendekati Lita.
"Itu tandanya kamu cemburu kan sama aku. Ngaku nggak?" Desak Robby yang kini semakin mendekati Lita.
"Tidak, siapa juga. Palingan kalau kamu pergi sama Sabrina, aku akan meminta bang Leo untuk menjagaku disini. Atau aku akan masakin makanan kesukaannya dia." Kata Lita dengan wajah mengejek.
"Tuh kan kamu mengancam aku lagi itu tandanya kamu cemburu. Memang cemburu itu sedikit aneh, dan sedikit berbeda dari rasa jengkel. Tapi, itu cukup kuat untuk mengartikan jika kamu mulai suka sama aku kan?" Kata Robby dengan tersenyum bahagia.
"Secepat ini? Tidak mungkin!" kata Lita mengelak.
Cup..!
Satu kecupan mendarat di bibir Lita dan Lita tidak menolaknya. Lita hanya terkejut dan diam membeku.
"Tuh, kan bener. Nih nyatanya kamu tidak melawan atau mengelak saat aku cium kamu." Kata Robby.
"Terlalu cepat. Sehingga aku tidak bisa menebak apa yang akan mas lakuin ke aku." Kata Lita mengelak lagi.
"Sudahlah, jangan mengelak. Akui saja." Kata Robby dengan tatapan nakalnya.