Lita meyakinkan diri untuk benar benar berusaha untuk menjadi istri yang baik terlepas dari semua kontrak yang tertulis. Saat ini Lita masih menangis di dalam selimut. Bukan tanpa alasan, dia sangat trauma dengan suara petir yang besar. Dia ingat betul saat bencana alam itu terjadi juga setelah tsunami menghempas, langit menjadi sangat gelap. Petir bersahutan, sedang dia dan ibunya merintih kesakitan dan basah kuyup tersangkut di sebuah atap rumah orang lain tanpa mampu bergerak.
Dari kejadian itu, Lita sebenarnya sangat takut mendengar suara petir. Keadaan saat ini sudah lumayan baik dimana dia berusaha memberanikan diri untuk tidak berteriak saat ada suara petir. Terkhusus jika suara itu amat menggelegar, maka dia spontan akan melakukan sesuatu seperti mencari perlindungan diri.
"Kamu kenapa?"Tanya Robby lagi.
"Aku takut petir mas." kata Lita masih dengan meringkuk.
"Sudah, jangan takut. Kita aman kan di dalam rumah. Kita kering dan tidak basah." Kata Robby menenangkan.
*Apapun itu, saat mendengar gelegarnya, jiwaku terasa runtuh dan tertarik ke dalamnya. Seperti kembali pada waktu di saat aku dan ibu kehilangan semuanya, terluka, dan tidak berdaya.* Batin Lita yang ketakutan dan meringkuk di dalam selimut.
Robby sangat heran kenapa Lita sangat takut seperti itu terhadap suara petir bahkan sampai menangis dan tubuhnya bergetar.
Robby ingin berjangka dari tempat tidur. Namun ketika tubuhnya mulai sedikit bergerak, Lita segera menarik bajunya. Robby yang sadar akan hali itu lalu menengok dan menatap Lita dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Mas, temani aku. Aku takut" Kata Lita dengan wajah sendu dan mata yang sembab.
"Aku hanya akan mengambilkanmu segelas air." Kata Robby.
"Aku ikut." Kata Lita dengan mata yang semakin membulat.
Tak tega dengan kondisi Lita dan ketakutannya yang amat sangat. Robby mengiyakan kemauan istrinya itu. Mereka berdua berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air.
"Ini, minumlah. Tapi tolong, lepaskan bajuku. Ini membuatku terlihat begitu ramping." Kata Robby meminta Lita untuk melepaskan tangannya dari meremas baju Robby sehingga terlihat jelas lekuk tubuh Robby.
"Maaf." Jawab Lita gugup sambil melepaskan cengkeramannya.
Tok tok tok!
Terdengar suara pintu diketuk, Robby yang tadinya akan menuju ke kamar menjadi berbelok dan menuju ke arah pintu. Sementara Lita mengikutinya dari belakang. Dibukanya pintu itu, berdiri seseorang yang tidak mereka kenal. Sesaat mereka saling melempar pandangan seperti saling bertanya.
"Siapa dia?" batin mereka berdua.
"Anda siapa?" Tanya Robby datar.
"Saya karyawan di salah satu stasiun tv swasta pak. Kebetulan salah satu cenel dari stasiun televisi kami sedang memiliki program tentang kehidupan pengantin baru, dan untuk opening, tim kami memilih keluarga bapak Robby."
"Sebelum ini, produser kami sudah membicarakan hal ini dengan bapak Agus Alfiansyah. Kami juga sudah mengirimkan email kepada nyonya Lita Kartika, Tetapi tidak ada balasan. Untuk itu saya datang kemari."
"Ini beberapa berkasnya atau poin poin dari tema pengambilan gambar yang akan kami lakukan. Silahkan bapak dan ibu rundingkan." Ucap laki laki dengan id card yang menggantung di leher itu.
"Oh, mari masuk dulu. Kita bicarakan sambil minum teh hangat di dalam." Sahut Lita dengan senyum ramahnya.
*Apa apaan dia, aku yang kepala rumah tangga saja belum menyuruh dia masuk. Tapi kalau tidak di suruh masuk, kasian juga di luar sedang hujan.* Batin Robby.
"Mari masuk, silahkan duduk dulu." kata Robby sambil berjalan dan duduk di sofa masih dengan Lita yang memegang ujung baju suaminya.
"Bisa lepaskan tidak? Dia nanti akan berfikir yang tidak tidak." Bisik Robby sambil tersenyum kepada Lita.
Lita yang gugup lantas melepaskan tangannya dari baju suaminya dan tersenyum kikuk ke arah tamu mereka. Tamu mereka pun ikut membalas dengan senyuman aneh.
*Sungguh, pengantin baru yang serasi. Hujan hujan seperti ini sedang bermanja manjaan. Aku salah waktu. Tapi, jika aku tidak segera meluncur kemari. Pak Eko pasti akan menyemburku dengan semburan sekali semprot yang ampuh membunuh bawahan.* Batin karyawan yang mengeluh dalam hatinya.
"Abangnya, minum apa?" Tanya Lita kepada tamunya.
"Oh maaf, sampai lupa. Panggil nama saja Bu eh kak. Nama saya Dimas." Kata Dimas memperkenalkan diri.
"Tidak usah repot repot Bu. Air putih saja." Kata Dimas dengan kikuknya.
Sementara Robby sangat fokus pada kertas kertas putih yang di bacanya.
"Buatkan aku jus wortel." Kata Robby berseru tanpa embel embel kata sayang dan wajah datar.
*Ternyata dia tidak sehangat yang aku kira. menyuruh istrinya, tetapi seperti menyuruh pembantu. Di beri embel embel sayang atau panggil namanya dengan lembut mungkin.* Batin Dimas yang mendengar ucapan Robby.
"Iya mas." jawab Lita kepada suaminya.
"Dimas, kamu tunggu sebentar ya." Kata Lita.
Jawaban Lita di telinga Robby kepada Dimas terdengar begitu manja dan membuat Robby menatap tajam Lita. Lita yang tidak tau menahu hanya fokus membuat jus wortel dan dua cangkir teh hangat beserta beberapa potong kue. Robby kembali membaca poin poin dan berdiskusi dengan Dimas.
"Jadi bagaimana pak?" Tanya Dimas mengenai hasil keputusan Robby.
"Hanya satu Minggu kan?" Tanya Robby memastikan.
"Ya, semua tergantung ratting. Jika nanti tayangan ini yang menampilkan kalian berdua bisa memiliki ratting yang bagus. Kemungkinan akan ada kontrak kerja dan tawaran selanjutnya." Kata Dimas menjelaskan.
*Huh, kakek. Apa lagi ini? Tapi ada sisi positif, jika aku dan dia bisa terkenal di dunia hiburan kemungkinan aku memiliki relasi yang lebih luas akan semakin terbuka lebar.* Batin Robby sambil manggut manggut dan mengulum senyum.
"Mana penanya?" Kata Robby tiba tiba.
"Oh, ini pak. Jadi bapak setuju?" tanya Dimas memastikan.
Robby mengangguk.
Lita datang dan membawa jus wortel dan dua teh hangat serta beberapa potong kue. Lita menghidangkan tepat di meja.
"Silahkan dinikmati, aku akan ke kamar sebentar mas." Kata Lita meminta ijin.
Robby mengangguk dengan wajah datar.
Beberapa saat Lita kembali, kini sudah rapi. Nampaknya Lita sudah mandi. Lita kembali dengan baju gaun berwarna tosca dan rok yang panjang sampai ke mata kaki. Rambutnya indah tergerai dengan riasan wajah yang simpel dan bau wangi parfum manis khas mawar.
Robby menengok tajam kearah datangnya Lita. Lita duduk di samping Robby. Tiba tiba Robby memberikan bantal sofa pas di dada Lita. Gaun panjang itu berbahan Seruty dengan aksen ketat di bagian pinggang hingga dada sehingga menimbulkan kesan dada yang terlihat menonjol dan membulat sempurna.
Dimas terlihat menelan ludah melihat penampilan Lita itu. Bagaimana tidak dengan sedikit polesan saja nyatanya Lita mampu memikat bujangan yang berkulit sawo matang itu. Robby seperti menegaskan " Jangan dan tidak ada yang boleh selain aku." Melalui tatapan matanya yang meruncing mengintimidasi penampilan istrinya.
"Mari, di minum dulu tehnya." Kata Lita mempersilahkan.
"iya kak." Jawab Dimas sambil tersenyum manis.
Belum sampai Lita meraih cangkir tehnya ternyata Robby sudah terlebih dahulu mengambil lalu meminumnya. Lita tertegun heran dengan tingkah Robby.
"Loh, tadi katanya mas mau jus wortel?" Tanya Lita heran.
"Enggak jadi. Aku mau yang hangat hangat." Jawab Robby sambil melempar tatapan tajam kepada Dimas seperti kata usiran.
*Enak saja, dia meminum minuman yang sama dengan istriku. Tatapan itu, aku ingin mencongkel bola matanya. Apa perlu aku mengusirnya terang terangan?* Batin Robby sambil menelan teh hangatnya.
"Ya sudah, biar aku saja yang minum jus wortel kamu mas. Mubazirkan?" Kata Lita manis sambil melihat Robby.
"Em, setelah ini kita jadikan?" Tanya Robby tiba tiba membuka pembicaraan dengan istrinya.
"Apa mas? apanya yang jadi?" jawab Lita yang polos dan benar benar tidak tahu.
"Itulah." Kata Robby dengan senyum menggoda.
*Risih ga kamu, cepetan sana pulang. Berkas sudah aku tanda tangani juga.* Batin Robby sambil melirik Dimas.
"Apasih?" ujar Lita sambil menggeleng.
*Iya sih, tau yang pengantin baru. Tapi tidak harus di hadapanku juga memberi kode kode semacam itu. Aaaaa....! Derita bujangan.* Batin Dimas yang paham dengan arah sindiran Robby.
"Semuanya sudah, Saya permisi dulu." Kata Dimas sambil merapikan beberapa map dan perjanjian kerja.