3 hari sudah berlalu, Riki terus saja meminta Laura untuk ikut dalam usahanya.
Hari ini Angga mengajak Revan dan juga Laura untuk bertemu dengan Riki, Revan senang dengan itu, tapi Laura tampak gelisah dengan ajakan Angga.
Sampai di lokasi, ketiganya masuk untuk menemui Riki.
"tenanglah, aku kan disini sama kamu"
Revan mengusap tangan Laura yang begitu erat menggenggam tangannya.
"akhirnya, kalian datang juga"
Sambuta Riki dengan senang, Riki sangat menantikan hari ini, Riki benar-benar menginginkan pertemuan ini.
"mana, ini Laura, benar-benar mirip sama wanita itu ya Revan"
Revan mengangguk dan tersenyum melihat Laura.
"ayo-ayo silahkan duduk, aduh saya sudah tunggu sejak tadi"
Riki mempersilahkan ketiganya untuk duduk, Laura benar-benar takut berada disana.
Laura ingin kembali saja ke rumah dan tak perlu mengikuti pertemuan ini.
"ayo silahkan diminum, sudah saya pesan kan tadi, ayo silahkan"
"terimakasih"
Ucap Angga sambil meraih gelas minumnya.
"ayo minum, mau minum kan"
Laura menggeleng dan terdiam tanpa melihat 3 sosok didekatnya.
"ada apa, Laura sakit"
Reva menoleh dan menggeleng, Revan mengerti dengan ketidak nyamanan Laura saat ini.
"jadi gimana Laura, kamu setuju dengan permmintaan saya"
Laura menoleh dan terdiam menatap Riki, senyuman Riki seolah memaksa Laura untuk menyetujui semuanya.
Laura berbalik melirik Revan, apa yang harus dilakukannya sekarang.
"begini pak Riki, sebenarnya Laura ini tidak bisa bicara"
Ucap Angga, ketiganya melirik Amgga bersamaan.
"Laura tidak bisa bicara, jadi dia hanya diam, mungkin bingung juga cara jelasinnya gimana"
Riki berbalik dan terdiam menatap Laura, tatapan yang membuat Laura semakin gelisah berada ditempatnya saat ini.
Lama terdiam, Riki tersenyum dan mengangguk pada Laura.
"lalu kenapa kalau Laura tidak bisa bicara, saya tidak minta dia jadi pengacara kan"
"Iya, tapi mungkin nanti akan ...."
"tenang saja pak Angga, saya punya ibu juga seorang tunawicara, beliau tidak bisa berbicara sama seperti Laura"
Laura mengernyit mendengar kalimat Riki, setidaknya ada sedikit rasa tenang yang masuk ke hatinya.
"ibu saya memang tak bisa bicara, tapi dia bisa mendidik saya sampai jadi seperti sekarang, ibu saya istimewa bukan"
Angga mengangguk dan terdiam, sepertinya Angga sudah salah dengan apa difikirkannya.
"jadi, seperti apa cara komunikasi kamu Laura"
Laura tersenyum dan perlahan memain jemarinya dan menunjukan beberapa isyarat lainnya.
Riki mengangguk, tentu saja dia mengerti dengan semua itu, sejak kecil Riki bersama ibunya berkomunikasi dengan cara seperti itu.
"lalu kamu setuju"
Laura kembali memainkan jemarinya, Riki mengernyit setelah mengerti apa yang menjadi jawaban Laura.
"bagaiman bisa kamu menolaknya"
Angga dan Revan bersamaan melirik Laura, benar kenapa Laura menolaknya, bukankah itu tawaran yang bagus.
"fikirkan lagi Laura, saya ingin kamu kerja sama saya"
Laura kembali menjawab Riki, Riki dan Revan dengan teliti memperhatikan setiap pergerakan Laura.
Revan tersenyum dan beralih melirik Angga yang tampak diam tanpa ekspresi apa pun.
"kenapa harus Ervan"
Laura melirik Angga setelah mendengar pertanyaan Riki, Laura menolak tawaran Riki itu karena Ervan.
Laura ingin membantu Ervan untuk membuktikan jika Ervan juga bisa menjadi baik seperti Revan dalam pandangan Angga.
"kenapa kamu lihatin saya"
Laura menarik nafasnya perlahana dan menghembuskannya, Laura kembali menjelaskan pada Riki tentang apa yang menjadi keinginan Ervan, dan Laura akan terlibat didalamnya.
Membantu Ervan membangun rumah makan yang diinginkannya, Laura akan lebih bahagia dengan proses itu bersama Maura dan juga Revan.
"apa benar itu alasannya"
Laura mengangguk pasti, itu bukan sekedar alasan tapi itu adalah impian, yang akan Laura raih bersama Maura dan juga si kembar Ervan dan Revan.
"Angga setuju dengan itu"
Laura melirik Angga, dan terdiam tanpa isyarat apa pun.
"setuju apa saya"
"setuju denga keinginan putra mu yang ingin membuka rumah makan"
Angga mengernyit menatap Laura, apa sebenarnya yang dikatakannya pada Riki.
"bagaimana"
"iya, tentu saja saya setuju, tapi kan Laura akan bekerja di Restoran mu"
Riki sedikit terkikik mendengar kalimat Angga, rupanya Angga sama sekali tak bisa mengerti dengan apa yang diisyaratkan Laura.
"Laura menolak, dia memilih untuk tetap membantu putra mu itu"
"kenapa seperti itu"
"Laura bilang, dia juga buka usaha warung makan sederhana bareng Revan, dan dia ingin menjadikam warung sederhananya itu menjadi rumah makan yang lebih besar lagi"
"apa alasannya"
"pak Angga, anda ini bagaimana sih, Laura ini calon menantu bukan, bagaimana mungkin anda tidak bisa mengerti dengan cara komunikasinya"
Angga meneguk minumannya, ucapan Riki membuat Angga sedikit tersinggung.
"dia ingin memperbaiki hubungan Revan dan juga Ervan, dia ingin membantu Ervan untuk membuktikan kepada papahnya ini, kalau Ervan juga bisa menjadi seperti Revan"
Angga kembali terdiam menatap Laura, Angga memang pernah kecewa karena warung makan itu, tapi sekarang Ervan juga malah ikut ingin membuka rumah makan dan juga melibatkan gadis bisu itu lagi.
"sepertinya anda akan bangga memiliki menantu seperti Laura, dia cantik, jago memasak lagi, dibalik kekurangannya yang tak bisa bicara ... dia memiliki keistimewaan sendiri loh"
Revan tersenyum, Laura memang istimewa dan Revan selalu berharap kalau Angga bisa menyadari dan mengakui semua itu.
"Laura memang istimewa pak, itulah kenapa saya sangat menginginkannya"
Riki tertawa mendengar ungkapan Revan, kalimat yang sama pernah didengarnya dari papahnya dulu.
"bersatulah, kalian pasti jadi pasangan bahagia"
"amin"
Revan mengusap lembut kepala Laura, Riki saja yang baru bertemu Laura sudah bisa melihat kelebihannya tapi kenapa sampai sekarang Angga masih tak bisa menerimanya.
"baiklah kalau gitu, saya gak akan maksa kamu buat ikut saya lagi, silahkan kamu bangun usaha impian kamu"
Laura tersenyum dengan menyatukan telapak tangan dan mengangkatnya didada, Laura mengangguk hormat pada Riki.
"jaga dia baik-baik, pa Angga jangan lama, segera nikahkan mereka"
Angga sedikit tersenyuk mendengar ucapan Riki, bagaimana mungkin itu terjadi.
Angga masih tak sepenuhnya rela jika Revan bersanding dengan Laura.
"kalau gitu, saya boleh pamit duluan"
"kenapa buru-buru"
"saya ada janji sama istri saya, mungkin pak Riki bisa berbincang sama Revan dan Laura"
"oh, ok .... terimakasih untuk waktunya"
Setelah berjabat tangan, Angga pun berlalu meninggalkan ketiganya.
"sabarlah, besok lusa, restu itu akan datang"
Revan dan Laura menatap Riki bersamaan,
Rupanya Riki bisa tahu apa yang terjadi, itu memang harapan keduanya, restu Angga akan jadi hadiah terbesar untuk hubungannya.
Mereka berbincang sambil menikmati hidangan yang telah dihidangkan, Laura senang karena meski dirinya berbeda tapi 2 orang didekatnya bisa mengerti tentang cara komunikasinya.
Jika semua orang bisa seperti Riki, tentulah Laura akan bisa tenang menjalani hidupnya.