Reyna sedang bermain dengan handphone-nya saat mereka berdua berjalan menuju kelas mereka, dia berjalan di belakang Tasha. Dan tiba-tiba Tasha mendadak berhenti membuat Reyna yang berjalan dibelakangnya menabrak punggung Tasha.
"Ck. Apaan sih lo…"
"Ssshh… Lagian lo nya sih, mata ke HP mulu. Tuh liat, siapa lagi yang jadi incarannya Aldi?" mendengar Tasha, Reyna akhirnya menggeserkan tubuhnya sehingga mereka bersebelahan. Disana Reyna melihat orang-orang berkumpul pada satu titik, seperti semut yang mengerubungi gula. Lalu mereka berdua mendengar suara jeritan histeris dari cewek-cewek yang diikuti oleh suara orang jatuh.
"BRAKK!!"
Mendengar itu, Tasha bergegas menuju kearah kerumunan itu diikuti dengan Reyna dibelakangnya. Dan benar saja dugaan Tasha, disana terlihat Aldi yang sedang berkelahi dengan Raga. Biasanya, babu-babu setianya yang turun tangan, lalu Tasha memutuskan untuk melihat lebih dekat lagi, dan lagi-lagi Tasha benar. Mereka semua sudah babak belur, lebam dimana-mana.
"Sha, jangan macem-macem deh. Biarin aja, itu urusan mereka," ujar Reyna sambil memegang lengan Tasha yang hendak masuk kedalam kerumunan.
"Rey, ini juga gara-gara gue. Kasian Raga, baru masuk udah kena masalah."
"Sejak kapan sih lo peduli sama kayak beginian? Biasanya juga lo fine-fine aja tuh. Udah, sekarang lo diem sini. Gak usah macem-macem," perintah Reyna.
Tasha terdiam. Benar kata Reyna, biasanya dia tidak peduli dengan adegan pukul-pukulan seperti sekarang ini. Kejadian seperti ini memang sudah biasa bagi Tasha, biasanya jika dia melihat hal yang serupa seperti ini, Tasha hanya akan berjalan cuek. Tapi, sebenarnya ada sedikit perasaan bersalah di dalam hati Tasha. Ini semua terjadi karena Tasha, tapi rasa bersalah itu dia tutupi dengan rasa gengsi-nya.
Satu lagi sifat Tasha, yaitu gengsi-nya yang tinggi. Tapi, entah kenapa ia merasa ingin melerai mereka berdua, dan mengobati Raga yang sudah lebam, dan luka-luka di seluruh wajahnya. Walaupun, Aldi sama parahnya bahkan lebih dibanding Raga.
"Dasar anak baru sialan! Baru masuk udah nyari gara-gara aja lo!" teriak Aldi sambil memukuli Raga, Tasha ingin sekali kesana dan menyelamatkan Raga.
"Lo gak berhak buat ngelarang gue boleh deket atau gak boleh deket sama siapa aja. Itu hak gue!" ucap Raga, dengan itu dia menangkis pukulan dari Aldi dan membalasnya, muka Aldi sudah lebam dimana-mana, bahkan hidung dan bibirnya pun sama. Begitu pula Raga.
Tasha mengedarkan pandangannya ke seluruh koridor sekolah, dan tidak ada satupun guru yang terlihat.
"Rey, guru pada kemana sih?"
"Lagi pada rapat kali. Kalo nggak, ga bakal gini," balas Reyna, Tasha kebingungan sendiri, jika seperti ini terus maka mereka berdua akan terus-terusan adu hantam sampai guru datang. Tanpa berfikir dua kali Tasha langsung menerobos tanpa menghiraukan Reyna yang memanggil namanya dan bergegas kearah Raga yang sedang adu hantam dengan Aldi.
"STOP!" teriak Tasha berdiri di tengah-tengah Aldi dan Raga. Tiba-tiba suasana menjadi hening, hanya suara Tasha yang menggema di seluruh koridor sekolah.
"Eh, Sha. Lo ngapain kesini. Ini kan…"
"Udah, Al. Gak usah banyak omong. Kayak anak kecil tau, gak?! Lagian ngapain sih lo kayak gini, huh?! Gak malu?!"
"Tapi, kan Sha. Dia…"
"Dia apa? Ngomong sama gue? Terus kenapa? Emang lo siapa gue sih?!" ujar Tasha kesal, Aldi menundukkan wajahnya.
"Udah cukup gue liat semua ini. Selama ini gue diem, tapi gue gak bisa diem lagi. Lo bukan siapa-siapa gue, kan? Yaudah. Ayo, Ga. Gue bawa lo ke UKS," kata Tasha sambil menggandeng tangan Raga yang meringis kesakitan.
"Tunggu, Sha. Maafin gue ya, gue janji gak bakal kayak gini lagi. Gue…"
"Gue gak butuh bacotan lo. Gue butuh bukti dari lo," dengan itu, Tasha membopong Raga yang meringis kesakitan. Dengan sigap Reyna menghampiri Tasha dan membantunya ke UKS.
***
"WOI! Sha, senyam senyum mulu lo. Takut gue," ujar Reyna sambil menyetir mobilnya.
"Enggak kok. Gue gak senyum-senyum,"
"Halah. Pake ngibul lagi lo. Oooooh pasti gara-gara di UKS tadi, kan? Aaaa cieeee," goda Reyna sambil menyenggol bahu Tasha.
"Apaan sih, Rey? Gak lucu deh," elak Tasha, padahal sahabatnya itu memang benar. Daritadi Tasha mengingat kejadian yang di UKS tadi, dia pun bingung dengan dirinya sendiri.
"Ternyata pertahanan seorang Tasha runtuh cuman gara-gara anak baru."
Tasha hanya mengalihkan pandangannya kearah jendela mobil, terlihat semburat merah kecil di pipi Tasha.
"Coba aja ya kalo tadi lo gue tinggalin berdua di UKS, pasti seru tuh." ucapan Reyna berhasil membuat lengannya berdenyut-denyut akibat cubitan dahsyat dari Tasha.
"Aaw! Sha, sakit tau! Lo tau kan kalo lo nyubit tuh kayak kepiting!" ringis Reyna.
"Iya. Gue tau. Makanya gue cubit lo, biar diem lo-nya," jawab Tasha santai. Tapi wajah sakit Reyna langsung terganti dengan seringai jahatnya.
"Eh. Tadi gue foto lo sama Raga tau, emang sih kalian itu serasi pake banget," ujar Reyna, Tasha membalas dengan memutar bola matanya.
"Rey, lo ngelantur ya? Lagian gue cuman ngobatin luka Raga doang,"
FLASHBACK
"Awww. Sha, pelan-pelan. Sakit tau," ringis Raga saat Tasha sedang mengobati luka yang ada di dahi nya.
"Ck. Tahan dikit kek. Cowok kok lemah."
Reyna tersenyum melihat kedekatan Raga dan Tasha.
Tasha tidak pernah sedekat ini dengan kaum adam, biasanya dia akan cuek-cuek saja. Memang ada sesuatu dari Raga yang mengingatkannya dengan Rega, walaupun Reyna tidak sedekat itu dengan Rega. Tidak seperti Tasha dan Rega, tapi Reyna hafal betul gelagat sahabatnya, walaupun sudah bertahun-tahun Reyna tidak lagi melihat keberadaan Rega. Namun, ia masih ingat betul semua kenangan yang mereka bertiga lalui bersama.
"Nah, udah. Mending sekarang lo pulang, istirahat di rumah. Besok juga jangan sekolah, biar pulih dulu semua luka lo, baru sekolah," ujar Tasha membuyarkan lamunan Reyna.
Raga tersenyum mendengar ucapan Tasha, detak jantungnya malah berdegup kencang sampai-sampai dia sendiri pun bisa mendengar detak jantungnya sendiri.
"Eh. Tumben banget lo bawel, Sha… Cieee perhatian banget sama Raga nih kayaknya,"goda Reyna.
"Dih. Sok tau lo. Gue kayak gitu ke dia, soalnya gue gak mau temen sebangku gue babak belur. Kan gue nya gengsi diliat ama anak-anak lain," elak Tasha
"Alah. Ngeles mulu lo. Balik yuk, jadi ke dokter Nat kan? Ga, kita duluan yaa," ucap Reyna, yang dibalas anggukan dengan Raga yang masih terbaring di kasur UKS. Saat Tasha hendak beranjak dari kursi yang ada di samping kasur, Raga mengenggam tangan Tasha, anehnya tindakan Raga membuat degup jantung Tasha berdetak kencang. Tapi Tasha berusaha menutupi rasa gugup nya itu dengan memasang wajah cuek nya.
"Apa?"
"Makasi udah mau ngobatin luka aku eh gue," balas Raga dengan senyum manisnya. Terlihat semburat merah kecil di pipi Tasha, dan detak jantungnya bertambah kencang saat Raga mengenggam tangan Tasha lebih erat.
Tasha terkekeh mendengar ucapan Raga "Sesusah itu ngomong pake lo-gue? Biasanya juga gue liat lo sama orang lain biasa aja. Tapi kenapa sama gue kayaknya susah banget sih?" tanya Tasha, tanpa bisa menahan senyumnya.
"Iya. Kebiasaan emang susah diilangin," balas Raga. Membuat Tasha menautkan kedua alisnya tanda bingung. Melihat reaksi Tasha, giliran Raga yang terkekeh "Yaudah. Gak usah dipikirin, sekali lagi makasih yaa."
"Errr… Santai aja kali, gue cuman gak mau aja ada masalah lagi," elak Tasha sambil memalingkan wajahnya, rasanya Tasha tidak berani untuk melihat wajah Raga yang sedang menawarkan senyum manisnya dengan percuma karena jika Tasha melihat wajah Raga, maka detak jantungnya akan mulai bertambah kuat.
"Oh iya. Satu lagi," kata Raga saat Tasha sudah berdiri dari tempat duduknya.
"Apa lagi?" tanya Tasha cuek.
Tangan panjang Raga terulur menggapai wajah Tasha, dia menyelipkan helai rambut panjang nan halus Tasha ke belakang telinganya "Lo cantik kalo lagi bawel," ucapan Raga sukses membuat jantung Tasha nyaris melompat keluar. Pipi Tasha memanas, dia sudah biasa mendapat pujian serta kata-kata manis dari laki-laki di sekolahnya, tapi entah kenapa hanya Raga yang berhasil membuat Tasha bereaksi seperti ini.
Reyna yang sedari tadi menunggu diluar UKS mengulum senyum penuh arti. Tiba-tiba terbersit sebuah pikiran jahilnya untuk memotret kedua manusia yang sedang kasmaran itu. Reyna mengambil HP-nya dari saku rok, dan langsung menuju camera tanpa ba-bi-bu Reyna langsung memotret dan melihat hasil potretannya. Setelah Reyna merasa puas dengan hasil foto-nya, Reyna langsung menaruh Hp-nya kembali ke tempat semula.
"OIII! Sha, ayo buru. Berduaan mulu ama Raga, udah jam nih. Gue laper!" teriak Reyna dari luar UKS, membuat Tasha dan Raga yang sedang beradu tatap itu sadar dari lamunan mereka masing-masing. Tasha juga baru sadar bahwa sedari tadi tangan Raga masih ada diatas tangannya, Tasha cepat-cepat menarik tangannya.
"Emmm… Gue duluan, ya. Lo kalo emang masih sakit diem aja dulu disini," ucap Tasha sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Tanpa menunggu balasan Raga, Tasha langsung mengangkat kedua kakinya keluar dari ruangan UKS itu dengan langkah yang cukup cepat.
END OF FLASHBACK
"TASHA KEIRA!" lagi-lagi teriakan Reyna membuyarkan semua lamunan Tasha.
"Rey, lo mau bikin gue tuli, ya?!" balas Tasha kesal.
"Lo sih ngelamun terus. Pasti lagi mikirin Raga yaa?"
"Sok tau banget lo mah daritadi, Rey."
"Gak usah ngeles deh, Sha. Gue sahabat lo, jadi gue ngerti banget gelagat lo. Lo gak bisa deh ngibul sama gue," ucap Reyna, Tasha memutar bola matanya.
"Eh, awas tuh bola mata nanti keluar lho."
"Lo ngomong apaan sih?"
"Lagian itu bola mata lo puter-puterin terus," ujar Reyna, sekarang giliran dia yang memutar bola matanya.
"Dih. Lo juga sama. Wait, ini kan jalan ke dokter Nat. Emang gak ke rumah lo dulu?"
"Nggak. Langsung aja biar sekalian."
Mendengar balasan Reyna, Tasha hanya mengangguk tanda paham. Masing-masing dari mereka sibuk dengan pikirannya sendiri, Reyna yang cemas tentang Tasha dan Tasha yang bingung akan dirinya sendiri. Reyna takut kalau nanti ingatan Tasha akan pulih sepenuhnya, maka Tasha akan depresi, mengurung diri di kamar selama berminggu-minggu, hanya menangis dan berteriak. Bisa dibilang, itu adalah salah satu ketakutan terbesar seorang Reyna.
"Rey. Gue mau bilang sesuatu, tapi lo janji gak bakal ngasih tau ini ke kak Aga," ucap Tasha memecah keheningan diantara mereka berdua.
"Iya. Gue janji," balas Reyna sambil menoleh kearah sahabatnya yang sedang melihat ke luar jendela.
Tasha sengaja mengulur beberapa saat sebelum dia berbicara, hanya terdengar suara derum mesin mobil "Emmm… Sebenernya gue janji ke diri gue sendiri kalo misalnya ingatan gue udah balik, gue mau tau alasan sebenarnya tentang Bokap sama Nyokap gue," ucapan Tasha berhasil membuat Reyna mengerem mendadak, untung saja jalanan pada saat itu sepi, hanya beberapa mobil saja yang lalu lalang. Lalu, Reyna berusaha untuk menutup rasa paniknya, dia menghela nafas terlebih dahulu sebelum mulai menjalankan mobilnya lagi.
"Rey! Jangan ngerem mendadak gitu dong!" teriak Tasha.
"Maaf kali, Sha. Lagian gue kaget, bukannya kak Aga udah bilang soal ini. Dan, gue yakin lo gak perlu gue ingetin lagi, karena gue sendiri gak mau inget tentang masa-masa itu," jelas Reyna dengan muka seriusnya.
"Gue tau, Rey. Tapi ada sesuatu dalam diri gue yang bilang kalo ini semua tuh gak bener! Gue harus tau alesan sebenarnya. Gue harus, Rey. Please… Help me…" Reyna menghela napasnya, Reyna sangat benci dengan topik pembicaraan ini.
"Sha. Kita udah nyampe, lo turun deh. Mau gue temenin apa nggak?" ucap Reyna, dia enggan menjawab pertanyaan Tasha. Tasha tahu betul Reyna tidak suka dengan topik ini. Cuman, dia merasa harus memberitahu ini kepada sahabatnya.
"Nggak deh, Rey. Ntar kalo udah selesai gue chat lo ya? Gue kayaknya bakal lama." ucap Tasha sambil membuka pintu mobil Reyna.
"Okay. Jangan lupa lo harus cerita abis lo selesai dari sini. Pokoknya gue mau tau apa aja yang lo omongin sama Dokter Nat," titah Reyna.
"Iya, Mak Lampir. Pasti gue cerita. Udah sana gih pergi sana."
"Udah ngejek, ngusir lagi."
"I say what I want," ucap Tasha sambil menjulurkan lidahnya. Dengan itu, Tasha masuk ke rumah Dokter Nat, tanpa menunggu Reyna dibelakangnya. Reyna hanya menggelengkan kepalanya, dia memutuskan untuk ke rumahnya sampai Tasha menelponnya kembali.
TOK…TOK…TOK…
Tanpa perlu menunggu lama, seorang wanita berumur 30-an membuka pintu rumahnya, dan tersenyum sumringah saat melihat Tasha berdiri di depan rumahnya.
"Tasha! Tumben banget kesini, apa kabar?" ucap Dokter Nat dengan nada antusias sambil menyambut Tasha dalam pelukan hangatnya. Natasya memang sudah menganggap Tasha sebagai anaknya sendiri, memang pada awalnya Tasha menolak setengah mati untuk berterapi dengan Dokter Nat. Namun, seiring berjalannya waktu Tasha pun perlahan-lahan menerimanya.
"Baik, Dok. Tasha mau terapi kesini, ada yang mau Tasha ceritain," balas Tasha membalas pelukan dari Dokter Nat.
"Oke. Sini masuk dulu. Biar saya buatkan teh, ya?"
"Gak usah, Dok. Tasha baru aja makan tadi sama Reyna," balas Tasha sambil duduk di sofa tempat biasanya saat Tasha berkunjung ke rumah Natasya.
"Yaudah deh. Mau disini aja? Atau dikamar saya?"
"Disini aja, Dok," ucap Tasha sambil tersenyum manis.
"Oke. Jadi, gimana Tasha? Kamu mau cerita apa?" tanya Dokter Nat saat dia sudah duduk di sofa tepat didepan tempat Tasha duduk.
"Jadi, hari Minggu lalu Tasha mimpi…"