"Raga?! Lo ngapain disini?!"
Rega terlonjak kaget. Dia tahu betul suara siapa itu, jantungnya berdebar cepat. Perlahan-lahan dia membalikkan badannya dan mendongakkan kepalanya.
Melihat Reyna berdiri di depannya dengan raut wajah terkejut bercampur bingung.
"Lo ngapain disini?" Reyna mengulangi pertanyaannya sekali lagi membuat Rega berdeham dan berdiri.
"Em…. gue cuman jalan-jalan aja kesini," alibi Rega.
Sayangnya Rega bukan pembohong yang hebat, siapapun yang melihat Rega sekarang ini tahu bahwa dirinya tengah berbohong.
"Kenapa lo bisa tau pohon ini?" tanya Reyna sekali lagi sama sekali tidak menggubris jawaban dari Rega.
Pohon di taman ini memang pohon yang besar, tapi hanya sedikit orang yang tahu keberadaannya, walaupun letaknya tepat di tengah taman. Karena, kadang orang-orang yang berkunjung hanya di bagian pinggir saja. Dari dulu sampai sekarang pohon ini masih tetap menjadi area Reyna dan Tasha. Seakan-akan hanya mereka-lah penghuni di pohon ini.
Rega menggaruk kepalanya yang tidak gatal, berusaha untuk memikirkan alasan yang tepat. Namun, dia merasa dia harus memberitahu Reyna yang sebenarnya.
Dia tidak boleh kabur lagi. Tidak. Kali ini dia berjanji akan menyelamatkan Tasha. Bagaimanapun caranya.
"Ada sesuatu yang perlu gue jelasin," katanya dengan nada pelan.
Dengan perasaan gugup Rega berdeham dan memulai pengakuannya.
"Rey," katanya, berjuta-juta kali dia berusaha untuk menghilangkan rasa gugup dalam dirinya. Rega memegang erat bahu Reyna yang berdiri di depannya sembari memantapkan dirinya.
"Sebenarnya gue…"
"Rega? Lo baru bilang sekarang kalau lo itu Rega? Mau berapa lama lagi lo sembunyi, huh?! Lo mau bikin Tasha sakit terus?! Lo gak kasian sama dia?!" cerca Reyna tersulut emosi.
Dari semenjak Rega pertama kali masuk ke sekolah, Reyna sudah merasa curiga. Beberapa hari ini dia memang fokus mempersiapkan acara ulang tahunnya. Tapi, bukan itu saja.
Dia juga menyelidiki siapa Raga sang anak baru ini. Dan, sesuai dugaannya. Tidak ada data-data tentang orang yang bernama 'Raga'. Lalu, gelagat-gelagat aneh yang ditunjukkan Rega kepada Tasha membuat dirinya semakin yakin.
Reyna memang sangat pintar dalam hal teknologi, tidak bisa diragukan lagi kepintarannya. Bahkan, Tasha sendiri pun sering dibuat kagum oleh kepandaian Reyna dalam hal teknologi.
Selama ini Reyna berpura-pura. Perlu dia akui, akting-nya sangatlah bagus. Reyna menahan, dan menunggu agar Rega memberi tahu yang sebenarnya dengan sendirinya.
Tapi, saat Reyna mendengar bahwa Tasha pingsan, dan itu karena masa lalunya, membuat Reyna merasa geram. Di satu sisi dia sangat senang bahwa Rega selamat, dia juga sama seperti Tasha, merindukan sosok Rega. Tapi, di sisi lain dia juga kesal.
Kepergiannya sudah membuat Tasha yang dia anggap sebagai adiknya sendiri menderita. Meskipun Reyna yakin bahwa Rega memiliki alasan yang kuat dibalik semua itu.
Namun, tetap saja. Melihat orang yang sangat kamu sayangi menderita itu sakit rasanya. Sangat sakit.
Saat ini Rega berdiri mematung, tentu saja Rega sangat shock. Dia tidak menyangka bahwa Reyna sudah tahu kebenerannya selama ini.
"Kenapa diem? Jawab pertanyaan gue," ketus Reyna.
"Gue gak bermaksud bikin Tasha sakit, Rey. Gue juga gak mau itu terjadi, gue mau liat Tasha baik-baik aja. Gue mau Tasha aman," jelas Rega putus asa "Tapi, gue gak bisa, Rey. Gue gagal," lanjutnya. Lalu, Rega menjatuhkan dirinya di bawah pohon hijau nan besar yang dulu menjadi tempat mereka berbagi tawa canda.
Melihat Rega seperti itu membuat Reyna iba. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi dia sudah tersulut emosi.
Reyna ikut duduk disebelah Rega yang menundukkan kepalanya. Tidak dia sangka, dia bisa duduk bersama sahabatnya yang lama dia rindukan.
Reyna menusap lembut punggung Rega "Lo ceritain semuanya sama gue. Kasih tau semuanya. Gue tetep Reyna yang dulu, gue tetep sahabat lo," katanya berusaha untuk menenangkan pikiran Rega.
"Lo tau, kan. Kalo yang ngelakuin ini semua itu om gue sendiri?" tanya Rega.
Reyna menggangguk. Dia diam dan dengan sabar menunggu Rega kembali melanjutkan ceritanya.
"Dulu dia dipecat sama papa karena dia ngelakuin kesalahan. Dia menyalah gunakan kekuasaan yang dikasih papa ke dia, papa sama sekali gak suka orang yang gak jujur. Bahkan usaha papa sempet hampir bangkrut gara-gara dia," jelas Rega. Membuat Reyna manggut-manggut.
Dalam hati dia mensyukuri bahwa dirinya berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja. Walaupun dia tidak mempunyai banyak harta, setidaknya hidupnya tidak serumit hidup Rega dan Tasha.
"Nah, terus dia tau kalo perusahaan ayah Tasha itu perusahaan yang besar. Dia berusaha buat ngedapetin itu, tapi Om Prabu tolak mentah-mentah. Dia malah nyiapin surat wasiat dan bilang kalo perusahaannya bakal jatuh ke tangan Tasha. Tasha bakal jadi pemilik perusahaan om Prabu."
"Terus?"
"Terus, lo tau apa yang terjadi. Karena lo ada disana. Kita semua ada disana. Mr. Bram sengaja manfaatin gue karena dia tau seberapa deketnya gue sama Tasha. Dan, lo pasti tau kalo Tasha nolak permintaannya mr. Bram."
"Gue paham. Di satu sisi dia pengen nyelamatin lo, tapi di sisi lain dia juga harus ngelindungin amanat papanya," gumam Reyna.
Reyna sebenarnya tidak tahu bahwa beban yang Tasha tanggung selama ini sangatlah berat. Pada masa remajanya dia harus merasakan kehilangan yang sangat luar biasa. Reyna juga kehilangan kedua orang tuanya karena kejadian itu. Tapi, Reyna sudah di didik oleh orang tuanya untuk menjadi wanita yang kuat.
Berbeda dengan Tasha, dia bukan anak manja, tapi dia adalah anak kesayangan.
Tasha pernah bercerita padanya bahwa dia ingin sekali menjadi seperti papanya. Yang bijaksana, berwibawa, juga baik hati. Dari sana Reyna sudah dapat melihat bahwa Tasha sangat menyayangi bapaknya itu.
"Jadi, lo disini karena diutus orang sialan itu?" tanya Reyna, dia tidak mau menyebut nama laki-laki sialan itu.
Rega mengangguk pasrah "Sebenernya selama ini anak buah mr. Bram nyelidikin tentang lo, Tasha, dan kak Agatha. Tapi, gue salut sama kak Agatha," katanya.
"Kenapa?"
"Karena dia udah nutup semua informasi tentang lo sama Tasha. Termasuk dia juga. Dia udah jaga-jaga, dari sana gue merasa tenang. Tapi, entah gimana caranya, mereka bisa tau tempat sekolah kalian berdua," jelas Rega.
Reyna baru ingat kejadian beberapa hari lalu saat ada sebuah mobil mengikuti mobilnya. Mungkinkah itu juga utusannya?
"Makanya lo diutus sekolah di sekolah yang sama kayak Tasha? Denger ya, Ga. Gue gak peduli lo sahabat gue atau bukan, tapi kalau lo bikin Tasha sakit lagi, lo habis sama gue, Rega Arimantara. Dan, ini janji gue," ancam Reyna, siapapun bisa melihat dari mata Reyna bahwa dia tidak main-main dan sangat serius dengan ucapannya.
Rega menelan ludahnya dengan berat, dia sangat takut pada ancaman Reyna.
Dengan cepat Rega menggeleng, tentu saja dirinya tidak ingin menyakiti Tasha-nya. Sahabat sekaligus cinta pertamanya.
"Gue gak akan nyakitin Tasha lagi, gue juga sakit liat dia sakit, Rey," kata Rega mantap. Sedangkan Reyna hanya tersenyum sinis.
"Tanpa lo sadar, lo udah nyakitin Tasha. Tasha yang lo sayang," balas Reyna menohok Rega.
"Gue janji, Rey. Gue gak akan biarin Tasha menderita lagi, bahkan walau nyawa gue taruhannya. Sekarang gue udah bikin rencana supaya Tasha aman dan orang 'itu' hilang. Tapi, yang terpenting Tasha harus tahu siapa gue sebenernya," jelas Rega, Reyna sama sekali tidak setuju akan hal itu. Reyna takut Tasha akan sakit lagi, shock lagi, menderita lagi.
Tapi di sisi lain, Reyna merasa bahwa ide Rega ini adalah ide yang bagus. Cepat atau lambat pasti Tasha akan mengetahui yang sebenarnya. Tiba-tiba ingatan tentang Tasha yang baru saja pingsan kemarin dan waktu Tasha depresi berat dulu membuat Reyna semakin ragu.
"Kayaknya lo harus tahan dulu deh, Ga. Gue takut Tasha sakit lagi," ujar Reyna pelan.
Sekarang memorinya kembali saat Tasha merasa sangat terpukul bahkan dia sampai menyakiti dirinya sendiri. Apa kejadian itu akan terulang kembali?
Flashback
PRANGGGG!!!
Suara nyaring itu membuat dua orang dalam rumah terlonjak kaget. Mereka dengan tergesa-gesa menaiki tangga dengan raut panik yang terpampang jelas di wajah mereka.
Mereka membuka pintu secara bersamaan dan melihat pemandangan yang seakan-akan sudah menjadi makanan sehari-hari. Pemandangan yang sangat mengerikan.
Disana. Tepat di depan mereka ada Tasha dengan piring yang terbelah menjadi berkeping-keping di sampingnya. Dengan kantong mata yang sangat tebal, matanya sembap, hidung yang sangat merah dengan wajah pucat. Dan juga tubuh mungilnya yang semakin tak berisi.
Sudah hampir seminggu mereka melihat Tasha seperti ini. Agatha langsung menghambur masuk dan segera menjauhkan Tasha dari pecahan beling, Reyna pun masuk dan segera membereskan kekacauan yang disebabkan Tasha tadi.
Dengan air mata mengalir deras di pipi Reyna dia membereskan pecahan piring dan membuangnya. Sedangkan Agatha sudah menangis tersedu-sedu memeluk Tasha erat dari samping. Sungguh memilukan melihat Tasha seperti ini.
Tasha yang dulu sering tersenyum dengan binar di matanya, dan wajahnya yang selalu bersinar kini redup. Sudah tidak terlihat lagi binar di mata Tasha, sudah tidak ada lagi senyum indah yang mengukir wajah Tasha.
Hanya ada tatapan kosong, tanpa ekspresi apapun. Bahkan saat Agatha sedang menangis dan memeluknya sama sekali tidak berdampak apa-apa. Hanya satu tetes dua tetes air mata yang jatuh dari mata Tasha.
Seakan-akan dunianya sudah berakhir. Sudah tidak ada semangat lagi dalam hidupnya. Tasha putus asa.
Reyna hanya bersandar pada dinding di luar kamar Tasha. Disana dia menangis sejadi-jadinya, melihat Tasha sakit dan mendengar Agatha yang menangis membuat tangisannya semakin deras.
"Tasha… kamu makan ya? Kakak suapin mau? Kakak gak mau kamu sakit, sayang," ujar Agatha lembut meski masih ada isak tangis di sela-sela ucapannya.
Tasha menoleh kearah Agatha dengan tatapan datar, namun tak lama Tasha pun ikut menangis sambil memeluk kakaknya dengan erat.
"Kak… kenapa mereka harus ninggalin Tasha, kak… kenapa mereka harus ninggalin kita, Kak?" ucap Tasha lemah di sela tangisnya.
"Ssshhh… Udah, Sha. Jangan nangis lagi, kakak sakit ngeliatnya, Sha," kata Agatha tak lagi menyembunyikan deritanya, dia sedang lelah berpura-pura tegar, berpura-pura kuat demi Tasha dan Reyna.
Tak lama, isak tangis Tasha mereda, dirinya tertidur lelap di pelukan dada bidang Agatha. Dengan perlahan, Agatha membaringkan tubuh Jihan di kasur dan duduk tegak. Kedua tangan Agatha menopang kepalanya, menangis dalam diam. Dadanya sesak, kepalanya berputar-putar. Penat dengan keadaan yang dijalaninya sekarang.
Reyna yang sedari tadi diam di depan kamar Tasha, masuk dan duduk tepat di samping Agatha. Agatha langsung memeluk Reyna dari samping tanpa berpikir dua kali. Setidaknya ada Reyna, yang sudah seperti adik kedua baginya.
"Badai pasti berlalu. Semua pasti berlalu. Kita cuman harus tabah dan kuat, Kak. Kita harus kuat buat Tasha, kita juga harus buat Tasha kuat. Aku yakin kakak pasti bisa, aku yakin," kata Reyna sambil berbisik dan mengusap-usap bahu Agatha lembut.
"Kakak boleh nangis, boleh sakit, boleh terpuruk. Tapi, udah bentar aja. Habis itu bangun lagi, waktu terus berjalan, Kak. Waktu gak akan berhenti cuman buat kita aja, ya?" lanjut Reyna dan mengintip wajah Agatha yang basah karena air mata.
Agatha hanya mengangguk dan tersenyum tipis, harus Agatha akui. Reyna sangat kuat, tegar. Bahkan setelah dirinya kehilangan kedua orang tuanya dan itu bukan karena penyakit keras tapi karena mereka melindungi orangtua Agatha dan Tasha.
Bukannya membenci mereka berdua, Reyna malah disini, disampingnya, disamping Tasha.
Mereka berdua duduk dalam diam, diam yang nyaman. Agatha sudah tidak menangis lagi, begitu juga Reyna. Dia merapihkan rambut Tasha yang menghalangi kening dan matanya yang tertutup.
"Kenapa kamu malah disini?" tanya Agatha dengan suara serak, membuat Reyna menatapnya bingung.
"Maksudnya?" balas Reyna dengan alis terpaut "Mama sama papa kamu k-kan emm pergi karena insiden ini. Ke-kenapa kamu malah disni, bukannya be-benci sama kita?" akhirnya Agatha mengeluarkan apa yang menganggu pikirannya belakangan ini, sambil hati-hati melirik kearah Reyna memeriksa perubahan ekspresinya.
Awalnya mata Agatha terlihat ragu, takut, dan sedikit menyesal dengan apa yang dikatakannya barusan, tapi berubah menjadi lega saat ekspresi Reyna melembut.
Reyna tersenyum lembut sambil melihat ke lantai dan mengayun-ayunkan kakinya "Kenapa kakak mikirnya kayak gitu? Lagipula kalau aku benci kakak sama Tasha, apa itu bakal buat orangtuanya Reyna balik? Nggak, kan," jelas Reyna dan menoleh kearah Agatha yang masih menatapnya "Tasha sama kakak juga udah kayak saudara aku sendiri. Cuman kalian yang aku punya sekarang. Mana mungkin aku bisa ninggalin kalian," lanjutnya dengan suara yang lembut. Agatha tersenyum teduh sambil menatap Reyna, seakan-akan matanya mengucapkan ungkapan terimakasih yang sangat dalam membuat Reyna membalas senyum Agatha dan mengangguk.
Tanpa mereka sadari, Tasha mendengar semuanya, masih berpura-pura bahwa ia tertidur lelap. Sampai Agatha dan Reyna keluar dari kamarnya dan menutup pintu. Barulah Tasha bangkit duduk secara perlahan, ia masih mencerna pertanyaan kakaknya tadi. 'Insiden apa? Tante Anna sama Om Bayu kenapa? Mereka berdua ngelindungin ayah dan bunda dari apa?' banyak sekali pertanyaan yang terbenam di benak Tasha.
Semakin dia mencoba untuk mengingatnya semakin bertambah sakit di kepalanya, dia mengerang pelan sambil memegangi kepalanya. Berharap ingatannya segera pulih, dan bisa mengetahui apa yang sebenarnya disembunyikan oleh kakak dan sahabatnya.
End of flashback
"Gak bisa, Rey. Kita gak punya waktu lagi, gue juga gamau bikin Tasha sakit, tapi gue juga harus ngelindungin dia, Rey," ucap Rega setengah memohon, Reyna hendak membuka suara tapi tertahan karena telepon dari Reyna. Tanpa melihat nama peneleponnya Reyna langsung menjawab telepon itu.
"Halo," ujar Reyna dingin dan ketus. Pembicaraannya dengan Rega benar-benar merubah mood nya 100% "Woah… Lo kenapa, Rey?" tanya seseorang di seberang sana dengan nada kaget, tidak menyangka seorang Reyna bisa menjawab sedingin itu.
Setelah mendengar suaranya mata Reyna membelalak, dia melihat lagi layar ponselnya dan melihat nama Tasha terpampang jelas di layarnya "Eh, Sha. Gue kira siapa hehe," balas Reyna dengan cengiran khas-nya. Di seberang sana Tasha terkekeh pelan "Tapi, sempet sakit sih waktu lo jawabnya dingin banget kayak gitu," kata Tasha.
Reyna menghela napas dan bergumam "Itu yang gue rasain kalo dingin lo kumat, Sha," tapi Tasha dapat mendengarnya dengan jelas dan berdecak kesal "Gue udah di taman. Lo dimana?" tanya Tasha membuat Reyna gelagapan sendiri, dengan panik dia
menoleh ke Rega yang menatapnya dengan bingung "Tasha disini," ucap Reyna tanpa mengeluarkan suara membuat Rega mengangguk mengerti.
"Gue tadi abis jalan-jalan di sekitaran taman, lo dimana? Biar bisa gue samperin."
"Gue di depan taman, di tempat biasa. Lo cepetan deh kesini, gue mau ngasih tahu hal penting," katanya bersemangat, Reyna tersenyum hangat sudah lama dia tidak mendengar nada itu dari sahabatnya.
"Oke! Gue kesana sekarang," balas Reyna tak kalah antusias dan mengakhiri teleponnya.
"Udah ya, Ga. Gue ke Tasha dulu," ujar Reyna dan beranjak dari duduknya membuat Rega juga ikut berdiri "Gue ikut," kata Rega membuat Reyna menggelengkan kepalanya dengan cepat "Gak boleh," jawab Reyna tegas.
"Terus gimana gue jelasinnya?" tanya Rega frustasi.
"Timing-nya gak tepat, Ga. Kita juga harus ke kak Aga dulu, dia harus tahu ini sebelum kita jelasin ke Tasha. Supaya kak Aga siap buat jaga Tasha nanti," katanya dengan nada berat, dia benar-benar tidak mau melihat Tasha menderita lagi.
Akhirnya Rega mengangguk setuju, Reyna akhirnya tersenyum lembut dan menyentuh bahu Rega yang sekarang jauh lebih bidang daripada terakhir kali mereka bertemu. Sebagian dari dirinya masih tidak percaya bahwa ini adalah Rega, sahabatnya yang menghilang bertahun-tahun yang lalu.
"Gue seneng bisa ngeliat lo berdiri di depan gue sekarang, Ga. Dan, gue yakin Tasha bakal seneng juga. Semoga," kata Reyna membuat Rega mengangguk dan tersenyum "Semoga," balasnya.
Reyna melambaikan tangannya pada Rega yang masih berdiri di bawah pohon yang rindang dan segera menuju Tasha dia sudah tidak sabar mendengar apa yang ingin dikatakan Tasha padanya.
Tak lama dia melihat Tasha sedang duduk di bangku taman yang sudah sedikit berkarat sambil bermain dengan ponselnya "Tasha!" panggil Reyna membuat Tasha menoleh dan tersenyum, Reyna membalas senyuman itu.
Tasha semakin mudah tersenyum semenjak…. Siang ini. Saat dia sudah memantapkan hatinya untuk Raga.
Reyna berlari kecil dan duduk di sebelah Tasha. Tanpa menunggu lagi, Tasha mengahadap ke Reyna dengan senyum gugup tapi senang di waktu bersamaan. Ia mengenggam tangan Reyna erat.
"Gue suka sama Raga."