Gabriela mencoba menepikan egonya dan memutuskan untuk menelpon sang suami, perasaan wanita itu sekarang benar-benar tidak enak ia khawatir terjadi sesuatu pada lelaki yang selama tiga tahun ini menjadi suaminya.
Diraih ponsel miliknya itu pada laci meja kerjanya dan segera mencari nomor suaminya, bersamaan dengan itu ada seseorang yang membuka dan membanting pintu ruangannya dengan keras.
BRAKK
"Gabriela!"
Karena teriakan itu membuat Gabriela hampir menjatuhkan ponsel miliknya, "Astagaaaaa. Ibu membuat aku kaget saja, kenapa tidak mengetuk pintu lebih dulu."
"Untuk apa ibu mengetuk pintu ruangan anak ibu sendiri!"
"Bagaimana jika tadi ada klien ku yang datang, ibu akan merusak nama baik ku."
"Persetan dengan itu semua La, ibu tidak peduli!"
Kening Gabriela mengerut halus, "Kenapa ibu datang ke kantor ku dan marah-marah seperti ini?"
"Kau masih tanya kenapa? Ibu marah-marah begini karena kau!" Tunjuk sang ibu pada Gabriela.
"Apakah Ibu keberatan jika tidak berteriak? Ini kantor bukan pasar jaga sopan santun ibu selagi dikantor ku." Meskipun Gabriela tengah kesal sekarang namun ia mencoba untuk lebih tenang menghadapi ibunya yang sedang naik pitam.
Jika Gabriela menanggapinya dengan marah-marah juga nanti pada akhirnya mereka akan bertengkar.
Wanita itu melirik ibunya, "Sekarang katakan, kenapa ibu tiba-tiba datang ke kantor ku dan marah-marah seperti ini. Apakah ibu bisa menjalankan bahwa aku yang membuat ibu marah, memangnya aku melakukan apa, Bu?"
"Kenapa kau masih disini?." wanita tua itu bernama Sarah. Dia adalah ibu kandung dari Gabriela.
Gabriela menghela napasnya, " Lalu aku harus kemana jika tidak di kantor, memangnya ibu ingin aku tidak bekerja dan berada di rumah begitu?"
Sarah menghela napasnya lalu meletakkan tasnya dengan kasar lalu duduk pada sofa diruangan milik anak perempuannya, "Kenapa kau tidak mengantar suamimu ke Bandara?"
"Mck. Aku sedang bekerja, Bu mana bisa aku mengantarnya ke Bandara. Lagipula dia juga sudah diantar oleh orang-orangnya jadi aku tidak perlu mengantarnya."
Sarah menatap sinis kearah anaknya, "Kau itu istrinya Aris La, kau yang seharusnya mendampingi suamimu, bukan malah menyibukkan dirimu disini."
Gabriela menghela napasnya lalu melirik ibuny, "Aku disini juga bekerja, Bu. Apa ibu pikir aku disini sedang bermain? Lagipula kenapa ibu mempermasalahkannya sih, biasanya juga tidak."
Memang sangat susah menasehati anak perempuannya itu, Sarah memilih untuk bermain ponselnya, "Sebagai seorang istri apa salahnya sih meninggalkan perkejaannya sebentar saja untuk mengantar suaminya yang akan pergi selama beberapa hari ke luar kota, ingat La setelah ini kau tidak bisa melihat suami mu selama beberapa hari."
"Biarkan saja, Bu. Dia pergi karena bekerja jadi aku akan salah jika melarangnya."
"Hmmm." Sarah meletakkan ponsel dipangkuannya, "Ohh iya bagaimana dengan permintaan ibu kemarin, kau sudah membicarakannya dengan Aris tentang ibu yang meminta cucu dari kalian."
"Sudah dan kami akan berusaha untuk memberi ibu cucu secepatnya." Bohong Gabriela, gadis itu hanya tidak ingin ibunya memperpanjang masalah ini.
"Nah seharusnya kalian sudah memberi kami cucu sedari dulu, pernikahan kalian udah berjalan selama tiga tahun dan selama itulah banyak yang bertanya pada ibu kapan ibu memiliki cucu."
"Ya sudahlah bu yang penting aku dan Aris udah membicarakannya masalah hasil kita lihat saja." Putus Gabriela, "Maaf karena sampai kapan pun ibu tidak akan mendapatkan seorang cucu dari dan Aris, suatu saat nanti aku harap ibu mengerti kenapa aku tidak mau memiliki anak dengan Aris karena aku masih mencintai Rendi. Sampai kapan pun aku akan mencarinya sampai aku mendengar bahwa dia sudah meninggal maka aku akan berhenti mencarinya." Lanjut wanita itu dalam hatinya.
Melihat ibunya yang memainkan ponsel sembari tersenyum sendiri membuat Gabriela menggelengkan kepalanya, ia yakin sekali jika ibunya itu pasti sedang mengatakan pada ayahnya bahwa Gabriela dan Aris sudah setuju untuk memiliki anak, itu artinya mereka akan memiliki seorang cucu.
Gabriela melanjutkan pekerjaan dan melupakan niat awalnya yang ingin menelpon sang suami.
Namun tak lama setelahnya terdengar dering ponsel membuat atensi Gabriela yang tadinya tertuju pada berkas yang sedang dikerjakannya kini teralih pada layar ponsel miliknya.
Keningnya berkerut saat melihat nomor asing yang tertera dilayar ponselnya, "Halo selama pagi."
"Halo, selamat pagi. Apa benar ini dengan ibu Gabriela istri dari bapak Aris?"
Gabriela menganggukkan kepalanya meskipun yang diseberang sana tidak dapat melihatnya, "Iya saya Gabriela istri dari bapak Aris, maaf ini dengan siapa?"
"Maaf mengganggu waktu ibu sebentar. Kami dari kepolisian bu, kami ingin memberitahu bahwa suami anda yang bernama Aris mengalami kecelakaan beruntun di dekat Bandara *** dan sekarang suami anda sudah dibawa kerumah sakit terdekat. Mohon untuk segera datang dan melihat kondisi bapak Aris."
Napas Gabriela tercekat, dipandanginya foto pernikahannya dengan Aris yang beberapa waktu lalu terjatuh itu.
Apakah kejadian dimana foto pernikahan mereka jatuh tadi adalah sebuah pertanda?
Tangannya menggenggam erat ponselnya sembari menggigit bibir bawahnya kuat, "Benarkah yang tadi adalah pertanda bahwa Aris tidak baik-baik saja?" Tanya Gabriela pada dirinya sendiri.
"Halo? Bu Gabriela."
Gabriela diam.
"Halo? Apakah Bu Gabriela masih ada disana. Maaf jika kami membuat anda terkejut dan kami juga turut berduka atas kecelakaan yang terjadi pada suami anda, meski begitu kami juga harus memberitahukannya pada pihak keluarga. Oleh karena itu, sebaiknya ibu segera datang dan mengetahui kondisi bapak Aris."
Gabriela mengerjapkan kedua matanya ketika mendengar suara seseorang diseberang sana, "Ah iya saya akan segera kesana tolong kirimkan alamatnya pada saya, terimakasih." Gabriela menutup telfonnya lalu menghela napas karena dadanya terasa sesak setelah mendengar bahwa suaminya itu kecelakaan.
Ia benar-benar tidak menyangka bahwa Aris akan mengalami kecelakaan beruntun seperti itu, lalu bagaimana kondisi suaminya itu saat ini?
"Bu, ayo ikut aku." ajak Gabriela sambil memasukkan barang-barangnya kedalam tas kerjanya kecuali ponselnya,
Gabriela memilih untuk menggenggam ponsel miliknya itu.
Baiklah, daripada bertanya-tanya pada dirinya sendiri yang bahkan tidak tahu apa-apa akan lebih baik jika Gabriela segera pergi guna mengetahui kondisi Aris.
Sarah yang sedari tadi sibuk memainkan ponselnya langsung menoleh pada anaknya yang terlihat terburu-buru mengemasi barang-barangnya itu, "Ikut kemana, kenapa kau terlihat buru-buru sekali?." tanyanya lalu beranjak dari duduknya ketika Gabriela berjalan kearahnya.
Wajar saja jika Sarah bertanya karena wanita itu tadi tidak menyimak pembicaraan anak perempuannya dengan seseorang di telpon, ia sibuk bertukar pesan dengan sang suami karena sebentar lagi mereka akan memiliki cucu.
Kabar yang begitu membahagiakan jadi Sarah harus segera mengatakannya pada sang suami.
Namun tanpa Sarah sadari kabar membahagiakan yang baru saja didengarnya ini tidak akan berlangsung lama karena tergantikan dengan berita yang mengejutkan dan menyedihkan, dimana Aris dikabarkan mengalami kecelakaan beruntun.
Gabriela menatap ibunya yang terlihat masih bahagia dengan perkataannya tadi membuat wanita itu tiba-tiba tidak tega jika harus mengatakan pada ibunya bahwa Aris baru saja mengalami kecelakaan.