Siang ini, sang surya nampaknya bersinar cukup terik. Keringat mengucur deras dari sekujur tubuhku. Lumayanlah, dari tadi pagi, aku membantu Bu Darti, untuk mencangkul ladangnya. Untuk bertanam jagung. Jagung ini biasanya beliau jual di pasar Regendi Town.
Oya, kenalkan. Namaku, Joko. Joko saja. Gak ada tambahannya. Aku hidup sendiri di kota Regendi Town ini sejak kedua orang tuaku meninggal belasan tahun yang lalu. Sejak saat itu, aku hidup sendirian. Kadang, aku tidur di rumah Bu Darti. Seorang petani, yang memiliki ladang di sisi utara Regendi Town. Hanya beberapa jengkal saja jaraknya dari benteng yang melindungi kota ini. Beliau adalah sepupu jauh dari ayahku. Orangnya baik hati, tapi rada cerewet sih. Yaaa, kayak hampir semua ibu-ibu lah. Tapi, tak pernah aku membantahnya, sebab aku yakin kalau seorang ibu yang cerewet, adalah seorang ibu yang juga perhatian kepada anak-anaknya.
Kadang, aku tinggal di rumah Pak Yanto. Beliau adalah sahabat baik dari mendiang ibuku. Seorang pandai besi, dan tinggal di sudut lain kota Regendi Town ini. Di sisi barat, tepatnya. Orangnya agak pendiam, tapi kalau berbicara, suaranya keras dan lantang. Persis, kenek angkot Kopaja...
Uppss, maaf. Di Toatoa, gak ada angkot. Cuman, ada travel Kuda Seng Brani. Maksudku, sebuah angkutan kereta yang ditarik kuda. Perusahaannya bernama Travel Kuda Seng Brani.
"Udah, nak... Istirahat dulu" terdengar suara Bu Darti memanggilku.
"Baik, bu...." jawabku. Ya, aku memanggil beliau dengan sebutan Ibu. Sebab, aku menganggap beliau sebagai pengganti dari ibuku.
"Sini, makan dulu, nak. Kamu pastinya lapar, kan?"
"Iya, bu... Hmmmm... Wangi sekali masakannya, Bu. Pasti enak."
"Ah, kamu bisa aja, Joko.... Oya, katanya mau ke rumah Pak Yanto. Benar, nak?"
"Iya, bu. Beliau minta aku buat berburu. Beliau mau membuat beberapa baju zirah, makanya perlu beberapa lembar kulit serigala" sahutku.
"Apa...!!! Serigala??? Aduh, nak.... Berbahaya itu." kata beliau sambil bergidik.
"Iya sih, bu... Tapi, Joko yakin bisa kok. kan, beberapa minggu yang lalu, Joko pernah dapat beberapa lembar kulit serigala. Jadi, ibu tidak udah terlalu kuatir", sahutku.
"Nak.... Serigala yang kemaren itu kan udah tua. Terluka pula. Jadi kan, tidak terlalu berbahaya" kembali Bu Darti mencoba mengajukan alasan agar aku membatalkan niatku.
"Gak apa-apa, bu. Joko kan, sedikit-sedikit bisa bela diri"
"Waduh, nak. Kamu, sama ayam betina aja takut. Bela diri apaan itu?" sahut beliau sambil merungut.
"Ya, beda lah, bu. Ayam itu kan punya tetangga. Kalau Joko keplak, dan mati. Kan, yang punya nanti bakalan ngamuk"
"Kamu itu ya... Ada, aja alasannya. Ya, udah. Tapi, harus hati-hati ya... Kalo kamu kenapa-kenapa nanti, kan kasihan ibu. Nanti, yang nemenin ibu siapa?"
"Iya, bu. Joko janji. Akan selalu hati-hati" bisikku lembut di telinga orang yang sangat kukasihi ini.
Dan, tidak terasa waktu berlalu. Makanan pun ludes, tak bersisa. Emang enak, masakannya Bu Darti ini. Pokoke puolll top banget....
Aku pun minta ijin beliau untuk berangkat ke rumah Pak Yanto. Meskipun dengan berat hati, beliau melepaskanku. Sambil tetap berpesan, untuk selalu berhati-hati. Setelah mencium tangan beliau, aku pun berangkat.
Dari ladangnya Bu Darti, aku harus melewati pasar yang posisinya ada di Barat Laut kota Regendi Town, sebelum tiba di rumah pak Yanto. Pasar yang cukup besar sebenarnya. Semua penjual tumplek jadi satu. Dari pedagang cireng hingga tahu bulat. Dari pedagang kain, hingga pedagang beras. Pokoknya, untuk kebutuhan masyarakat di Regendi Town, komplit plit plit plit, deh.
Meskipun demikian, pasarnya lumayan bersih lho. Para pedagangnya rupanya sudah terbiasa untuk menjaga kebersihan di tokonya masing-masing.
Ahhhh.... Alangkah, nikmatnya bau-bau masakan ini... Siomay, cireng, gorengan, sate, hingga bau buah-buahan. Seperti, semangka.
Eh, kok....???
Semangka ada baunya ya??? Bukannya durian yang berbau???
Untung tadi, udah makan sama Bu darti. Jadi, sekarang, bau-bau ini tidak terlalu menyiksaku.
Naaah, itu dia. Rumahnya Pak Yanto. Asap hitam, membubul dari cerobong asapnya. Tanda beliau sedang bekerja.
Setelah ketuk-ketuk pintu rumah beberapa kali, dan tidak ada yang membuka pintu. Akhirnya, kucoba masuk ke dalam...
Dan langsung saja menuju halaman belakang. Tempat bangsal kerja beliau berada.
"Bah....! Ente itu, Jok... Kenapa kau tidak bilang-bilang mau datang. Kaget lah awak...."
Et dah... Pak Yanto ini orang Betawi apa Batak ya? Jadi bingung.... Mana manggilnya Jak Jok Jak Jok gitu lagi...
Kadang make ente, kadang kamu, kadang elu, pokoknya semau-mau beliau deh. Tapi, jangan salah... Beliau ini, mukanya aja yang tampang beringasan. Tapi, hati, tetaplah... Preman. Oh, gak. Gak gitu.. Maaf, maaf...
Hatinya tetaplah seorang biduan. Baik banget. Kayak pecel lele ditambah sama rempeyek. Enak banget...
Tuh kan... Jadi ngelantur. Ah, pasti gara-gara lewat pasar tadi nih...
"Wah, si mamang mah gitu. Kan, kemaren Joko udah janjian sama mamang..." Hmmm... Aneh bukan? Beliau orang Batak, tapi seneng dipanggil Mamang. Meskipun demikian, menurut cerita dari Bu Darti, beliau ini betul-betul sahabat sejati dari mendiang ibuku dulu. Apapun yang beliau minta, akan selalu diusahakan oleh Pak Yanto ini. Saat sedih pun, khususnya saat mendiang ayah meninggal, beberapa bulan sejak aku dilahirkan. Beliaulah yang menjaga ibuku. Bahkan, saat beliau sudah menikah pun jika ibuku memerlukan bantuan beliau, tak segan-segan beliau hadir.
Pokoknya, Pak Yanto ini, juara deh... Nomor satu sedunia.
"Jadi... Ente serius, mau berburu? Ntar kenapa-napa aku pula lah yang pusing. Mana cicilan rumah belum lunas"
"Yaelah si mamang mah... Kayak gak ikhlas gitu... Yakin dong. Pake banget, malah"
Dibandingkan sama Bu Darti, ngomong sama pak Yanto ini, aku lebih santai. Gak terlalu serius. Pokoknya, tabrak terus... Dan orangnya pun, meskipun tampak beringasan, gak mudah tersinggung. Kecuali, kalo ada yang nyolong palu beliau. Waaah, sampai ke tengah Samudera Singluasan aja, dia kejar lho...
Ya iya lah... Kan, modal usaha.
"Ya udah... Tuh, sana ambil busur sama anak panah di dalam lemari perlengkapan itu. Jangan lupa, bawa juga pedang pendek itu. Dan, oh iya, sama tas perlengkapan yang ada di pojokan sana."
"Siap, Mang.....!!!!"
"Ah, ente itu. Bisanya nyablak aja. Kulempar kau nanti sama tahu bulat. Tau rasa..."
"Jangan, dong, Mang.... Jangan malu-malu. Hahahaha....."
"Kau itu... Kalo mau berangkat, sekarang aja. Mumpung masih lumayan terang harinya. Kalo gelap, lebih berbahaya"
"Baik, Mang... Joko berangkat dulu ya" sahutku, sambil mencium tangan beliau.
"Iye... Hati-hatilah kau di jalan ya... Ingat, jangan sok-sok berani. Kalau tidak memungkinkan, segeralah kau pulang. Atau, cari bantuan. Awak tau, ente bisa bela diri. Tapi, tetep ya... Gak boleh sok berani. Harus pake perhitungan"
"Perhitungan, Mang? Apa yang dihitung?"
"Palalu bau menyan.... Ini budak. Nyablak aja. Maksudnya, kalo ngeliat situasi gak memungkinkan, usahakan menghindar. Ah, ente ini...."
"Baik, Mang... Akan Joko ikuti, nasehat Mamang. Berangkat dulu ya...."
"Iya. Hati-hati ya...." sahut Pak Yanto.
Dan, di sinilah aku sekarang. Melewati gerbang Barat kota Regendi Town. Bersiap-siap menuju hutan di sebelah barat kota Regendi Town. Hutannya sih sebetulnya gak tebel-tebel amat... Kertas kali, tebel. Gak, maksudnya, gak rimbun-rimbun amat, gitu....
Et dah, bang. Sensitif amat....
Bahkan, jika dibandingkan dengan hutan larangan yang berada di sebelah selatan kota Regendi Town, hutan ini jauh lebih user friendly.... Eeeee, maksudnya lebih ramah buat semua warga di Regendi Town.
Kalau hutan larangan? Wow, jangan ditanya. Nyeremin.... Pohon-pohonnya tinggi-tinggi. Dedaunan jauh lebih rimbun dan lebat. Rumput-rumput dan semak-semak belukar yang tingginya melebihi orang dewasa. Dan otomatis, lebih gelap dan nyeremin. Not recommended deh, bagi orang yang baru pernah jalan-jalan ke dalam hutan.
Meskipun, hutan ini bukan tempat tinggalnya serigala. Tapi, menjadi salah satu pelintasan utama para serigala itu jika mau menuju ke hutan larangan. Dan, dengan sedikit keberuntungan, aku yakin akan menemukan segerombolan serigala di sana. Syukur-syukur kayak kemaren. Udah tua, eh terluka pula. Kan, bikin hidup jadi lebih hidup.... Eh, apa hubungannya coba...
Yuk.... Mari kita, come on....!!!
--- end of Bab II ---