Chereads / The Spirit of Xyor / Chapter 7 - VII. Alisa. Si Putri Api

Chapter 7 - VII. Alisa. Si Putri Api

Pintu gerbang Selatan Regendi Town telah porak poranda. Dari sela-sela gerbang yang telah hancur itu, nampak pemandangan dalam kota yang memilukan. Asap hitam mengepul di sana-sini. Pertanda telah terjadi beberapa kebakaran. Namun demikian, suasana di dalam kota tampak lengang. Sunyi mencekam. Bau busuk tercium menggelitik hidung.

Bangkai binatang di sana-sini. Tikus, ayam, angsa, kucing, kelinci....

Nampaknya, gerbang ini berhasil diterobos monster-monster itu. Dan membuat kegaduhan di seantero kota.

Di sisi kanan gerbang, dulunya adalah sebuah tanah lapang. Yang sering kami dan banyak anak-anak di Regendi Town pakai untuk bermain-main. Namun kini, lenyap. Berganti menjadi sebuah komplek pemakaman darurat, yang nampaknya belum lama dibangun. Serba darurat. Tidak ada batu-batu nisan. Hanyak satu atau dua potong kayu yang ditancapkan sebagai tanda bahwa di sini adalah tempat peristirahatan terakhir bagi seseorang.

Dua orang anak kecil menangis terisak-isak, di salah satu makam. Salah seorang tersedu sedan sambil memeluk potongan kayu yang menjadi nisan. Sementara anak yang satunya lagi, duduk terpekur sambil memeluk kedua lututnya. Isak tangisnya masih agak nyaring terdengar. Seorang perempuan setengah baya, berjongkok di sisi kanannya. Tangannya lembut mengusap kepalanya.

Ahhhh.... Pemandangan yang menyayat hati.

Bagian Selatan kota, nampaknya hancur luluh. Rumah-rumah hancur. Banyak yang sudah rata dengan tanah. Sebagian yang masih berdiri, bagaikan seorang kakek renta berdiri dengan gemetar bersandarkan pada tongkat kayu rapuhnya.

Beberapa orang tampak lagi sibuk memperbaiki rumahnya, yang telah menjadi reruntuhan. Beberapa orang lainnya, sedang sibuk menyiapkan persediaan makanan.

Dan, beberapa pedagang nampaknya sibuk menjajakan dagangannya. Meskipun tidak seramai dahulu.

Aku kembali terkesiap, menyaksikan pemandangan di hadapanku tersebut.

Bukannya itu dulunya pasar? Dan, dan... Bukankah di bagian kiri dari pasar itu rumahnya pak Yanto berada?

Aku bergegas memasuki pasar itu. Pemandangan mengerikan menyambutku. Semuanya, hancur berantakan.

Tidaaaaakk.....

Pak Yanto.... Bagaimana keadaanmu???? Apa kau tidak apa-apa.....???

Kemudian..... Aku berdiri termangu, di depan sebuah reruntuhan bangunan. Bangunan yang kuyakini dulunya adalah rumah pak Yanto beserta bengkel kerjanya. Air mata menetes di pipiku. Menetes deras, meskipun sudah berkali-kali kuseka dengan ujung lengan bajuku.

Lalu, kupaksakan diriku untuk berjalan memasuki reruntuhan bangunan itu. Perlahan-lahan, aku melangkah.

Dengan mata nanar, tatapanku menelusuri seluruh reruntuhan bangunan. Dan, di suatu sudut, kutemukan benda itu. Sebuah benda yang membuat air mataku semakin deras mengalir.

Sebuah gundukan tanah. Di ujung gundukan itu, tertancap sebuah pedang, dan sebuah perisai kayu bersandar padanya. Sebuah nama, terukir di atas perisai kayu itu. YANTO.

Seketika itu juga, lututku melemas. Sepasang kakiku mendadak tak mampu menyokong tubuhku lagi. Dan, aku terduduk di depan gundukan makam itu. Air mataku semakin deras mengalir. Namun, aku tidak peduli. Saat ini, yang kupedulikan hanya gundukan makam itu.

Pak Yanto.... Maafkan aku. Maafkan aku. Maafkan....

Aku.... Aku....

Aku terlambat mendatangimu. Aku terlambat untuk melindungimu.

Dengan cepat, kesedihan menutupi mataku. Menutupi telingaku. Menutupi seluruh daya pikirku. Bayangan-bayangan kenangan manis bersama Pak Yanto berkelebat silih

berganti. Tawanya, candanya, marahnya... Bahkan, logatnya yang campur aduk dan membuatku sering tertawa terbahak-bahak antara lucu dan bingung...

Keramahannya... Ketegasannya....

Kenangan saat pertama kali ia menjemputku untuk tinggal di rumahnya, dan bertemu dengan Bu Darti.

Apa....!!!! Bu Darti????

Seketika aku terhenyak kemabli. Kesadaranku segera pulih.

Oh iya.... Aku masih punya satu lagi orang yang tak kalah kukasihi.

Seketika itu juga, seluruh indraku kembali ke fungsi awalnya. Aku harus segera menemuinya. Menemui Bu Darti.

Aku bedo'a sejenak dan berpamitan pada Pak Yanto. Salah seorang yang sangat kucintai dan kukasihi. Namun, kini telah beristirahat dalam kedamaiannya yang abadi.

Aku bergegas meninggalkan reruntuhan bangunan itu, lalu dengan tergesa berlari menuju bagian Utara kota. Kali ini kukerahkan ilmu meringankan tubuhku.

Tubuhku melenting dari atap rumah satu ke atap rumah lainnya. Aku tidak mau meluangkan waktu walau sesaat sekalipun. Aku tidak ingin kejadian serupa harus kuhadapi. Walaupun aku tahu, peluangku tidaklah besar. Namun, aku berharap, dan tetap berharap. Semoga kejadian buruk tadi, tidak terulang lagi.

Sesaat kemudian, tubuhku melenting dan mendarat di halaman rumah Bu Darti.

Syukurlah.... Rumah beliau masih utuh, dan nampaknya tidak banyak kerusakan yang berarti.

Aku melangkah menuju pintu. Namun, sesaat sebelum tanganku menyentuh gagang pintu.

Tiba-tiba....

CEKLEK.... KRIIEEETTTTT....

Pintu terbuka dengan suara yang nyaring. Sesosok tubuh wanita tua berdiri di baliknya.

"Bu Darti...!!!!!", aku menghambur ke pelukannya.

Ya. Dia, Bu Darti. Sosok perempuan yang sangat kusayangi dan kuhormati.

Air mataku mengalir deras, membasahi pipiku. Dan kemudian merembes membasahi pundaknya. Erat pelukanku, dibalasnya dengan usapan lembut di rambutku.

"Joko.... Kamu gak apa-apa, nak? kamu kemana saja beberapa hari ini? Ibu cemas lho"

"Maafkan Joko, bu. Joko tersesat di hutan larangan, sehabis berburu kulit serigala permintaan Pak Yanto... Dan hari ini, baru bisa meloloskan diri" sahutku.

"Gak apa-apa, anakku. Kamu gak salah, kok... Oya, kamu tentunya baru saja datang dari rumahnya Pak Yanto, bukan?" tanya beliau.

"Iya, bu.... Dan.... Pak Yanto...." sahutku tersendat.

"Ya... Ibu sudah tahu. Saat pemakaman beliau, ibu juga hadir. Sudahlah, Nak.... Kamu tidak usah bersedih lagi. Beliau telah beristirahat dengan tenang di alam sana"

Tiba-tiba.....

DUARRR.....!!!! DUARRR.....!!!!

TOLOOOONG..... TOLOOOONG..... TOLOOOONG.....

"Apa itu, nak?" Bu Darti bertanya padaku. Tatapannya nampak cemas.

"Entahlah, Bu. Joko akan periksa"

"Jangan, Nak... Jangan pergi. Nanti kamu bisa terluka" ucap beliau dan berusaha untuk mencegahku pergi.

"Gak apa-apa, Bu. Joko yang sekarang, bukanlah Joko yang dulu. Joko yang sekarang adalah Joko yang jauh lebih kuat." sahutku, mencoba menenangkannya.

Beliau terdiam. Ragu. Namun, setelah menatapku beberapa saat. Meskipun agak samar, terlihat anggukan kecilnya. Tanda setuju.

Aku segera melangkah keluar. Dan, mengedarkan pandanganku ke sekeliling untuk mencari sumber keributan.

Di arah Timur, nampak asap mengepul. Nampaknya, asap yang berasal dari sebuah kebakaran yang agaknya baru saja terjadi. Orang-orang nampak berlarian dari daerah itu. Para prajurit kerajaan Toatoa, berlarian berlawanan arah dengan mereka.

Hmmmmm.... Apa yang terjadi ya? Jangan-jangan gangguan monster-monster mutant lagi.

Aku menoleh sebentar ke arah pintu rumah. Melihat, ternyata Bu darti masih di sana.

"Bu. Joko mau pergi ke tempat kekacauan itu ya.... Sebentar aja" kataku.

Beliau mengangguk lemah.

Kemudian, tubuhku melenting tinggi. Meloncat dari atap ke atap rumah. Dengan sesekali mendarat di atas dahan pepohonan.

Hupppp....

Aku mendarat di lokasi kekacauan itu.

Nampak beberapa prajurit kerajaan sibuk bertarung melawan lebih dari 10 ekor tikus mutant. Tikus mutant ini, bentuknya masih mirip seperti tikus biasa. Bedanya adalah besarnya mencapai puluhan kali lipat tikus biasa. Mungkin, besarnya sebanding dengan seekor anjing Chihuahua dewasa. Dan, memiliki gerakan yang sangat cepat. Meskipun menurutku, tidak secepat kecepatan kelinci mutant. Dan juga, tidaklah seganas kelinci mutant. Melihat dari pertarungan itu, aku mengambil kesimpulan bahwa tikus-tikus mutant itu, nampaknya suka menyerang dalam berkelompok.

Hanya saja, koordinasi mereka dalam bertarung, jauh lebih buruk jika dibandingkan ayam-ayam mutant yang baru saja kukalahkan di tepi hutan larangan.

Prajurit-prajurit kerajaan Toatoa, yang hanya berjumlah 4 orang nampak kerepotan menghadapi serangan sekelompok tikus mutant ini. Semakin lama, posisi mereka semakin terdesak. Luka-luka mulai mengucur di sekujur tubuh mereka.

Sayangnya, keberuntungan semakin tidak berpihak kepada para prajurit Kerajaan Toatoa itu.

Saat, tiba-tiba.....

AAUUUUUUUUUU...

AAUUUUUUUUUU...

AAUUUUUUUUUU...

Lolongan serigala.

Dan benar saja, dari kejauhan terlihat dua sosok besar berkaki empat, sedang melolong. Tubuhnya besar. Mungkin, sebesar satu ekor kerbau dewasa. Perlahan, keduanya berjalan mendekati lokasi pertarungan antara tikus mutant dan para prajurit kerajaan Toatoa.

Di lain pihak, wajah para prajurit kerajaan yang terdesak itu menjadi pucat.

Namun, sebelum aku terjun ke medan pertempuran. Sesosok bayangan telah melesat lebih dulu.

Dan.... Seorang gadis telah berdiri beberapa langkah di depanku. Tubuh rampingnya mengenakan baju putih, ditutupi rompi dengan warna dominan merah. Mengenakan celana panjang hingga mata kakinya, warnanya coklat tua. Rambutnya panjang hingga pinggang. Diikat menyerupai ekor kuda.

Meskipun ia membelakangiku, kurasakan ada energi yang sangat besar terpancar dari tubuh rampingnya. Energi yang menyerupai energi yang dimiliki oleh Keris Naga Langitku. Dan menurut pengamatanku, energi itu datangnya dari sekitaran pinggang si gadis.

Hmmmmm.... Aneh.

"Kalian semua, mundur." perintahnya.

"Baik, putri Alisa" sahut salah seorang prajurit.

Setelah mendapat perintah tersebut, keempat prajurit itu segera meloncat jauh ke belakang.

Sesaat kemudian, terdengar bisikan lirih dari bibir gadis itu. Bisikan yang nampaknya hanya

aku yang bisa mendengarkannya.

"TARIAN API..."

--- end of Bab VII ---