Chereads / The Spirit of Xyor / Chapter 11 - XI. Malam Pertama

Chapter 11 - XI. Malam Pertama

Matahari condong ke arah barat. Sinarnya mulai meredup dan mewarnai langit biru dengan cahayanya yang berwarna jingga.

Tak terasa, hampir separuh sudah perjalanan yang kami berdua tempuh.

"Mas Joko, gimana kalau kita beristirahat di bukit kecil di depan sana?"

Dengan senyum kaku, aku mengiyakan ajakan Alisa.

"Kamu kenapa, mas? Kok, diam?" tanyanya keheranan.

"Gak apa-apa, Lis...." sahutku pendek.

Dia tersenyum, tidak menjawab. lalu, kembali memacu kudanya.

Mau tidak mau, aku pun harus mengikutinya dengan memacu kudaku.

Dia mendahuluiku, dan tiba terlebih dahulu di bukit kecil itu. Setelah menambatkan kudanya, ia mencari tempat yang agak datar dan membersihkannya.

Begitu aku tiba, dan melompat dari kudaku untuk mencari tempat tambatannya,

Tiba-tiba.... Alisa tertawa terbahak-bahak.

"Hahahaha..."

"Kamu kenapa, mas? Jalan kok kayak kepiting gitu?"

Hmmmmm.... Benar juga. Begitu turun dari kuda tadi, aku tidak bisa berdiri dan berjalan dengan sempurna.

Ya.... Gimana mau berdiri dengan baik, kalau badan, khususnya dari pinggang ke bawah, rasa kesemutan semua. Pegal abis, bosque.

"Waduuh, badanku pegal-pegal lho... Aku kan baru pertama kali ini naik kuda"

"Malah, diajak balapan lagi..." sahutku.

"Hahahaha.... Jalanmu jadi aneh gitu lho, mas Joko...." kembali tawa renyahnya berderai menimpali sunyinya alam sekitar.

Et dah... Ini cewek. Bukannya prihatin, malah ngetawain.

Nasrib.... Nasrib.... Eh salah....

Nasib.... Nasib....

"Coba kau alirkan tenaga dalammu ke pinggang, mas" ujarnya.

Eeeh.... Ternyata, solutif juga orangnya dia ya....

Aku pun berdiri tegak dengan posisi agak mengangkang. Kutarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Hawa hangat terasa berputar di perutku. Kemudian, hawa hangat itu kualirkan menuju pinggang dan terus turun ke arah pinggung. Lalu, ke arah paha, dan terakhir ke arah lutut.

Eeeh, bener lho... Rada nyaman sekarang.

"Terima kasih, Alisa. Sarannya tokcer..." ujarku padanya.

Dia tersenyum, membalasku.

Merasa jauh lebih nyaman, aku melompat mengitari daerah tempat kami singgah.

Melihat-lihat situasi di sekitar, sekaligus mencari kayu-kayu kering. Rencananya, aku akan membuat api unggun.

Hmmmmm.... Nampaknya, daerah ini belum terpengaruhi oleh kabut hijau.

"Sepertinya, daerah ini cukup aman dari monster-monster" kataku sambil menghampiri Alisa dengan membawa kayu-kayu kering tersebut.

"Nampaknya, kabut hijau belum sampai ke daerah sini" lanjutku.

"Oya? Kalau begitu, kabut hijau itu penyebarannya tidak merata. Meskipun kita tidak tahu, sampai kapan wilayah ini akan tetap aman. Mengingat kekuatan kristal api semakin lama semakin melemah" sahut Alisa.

Sementara itu, aku mempersiapkan api unggun. Ah iya, aku lupa bawa pemantik api.

Gimana ya? Oh iya ya.... Pak Yanto dulu pernah mengajarkanku cara menyalakan api menggunakan dua kayu kering yang digesekkan satu sama lain.

Segera saja, kugesek kuat-kuat dua buah kayu kering yang kutemukan tidak jauh dari posisi kami berdua beristirahat, dengan harapan api tercipta dan kemudia dapat membuat api unggun untuk kami berdua.

"Bikin apa, Mas?" tanya Alisa.

"Ini nih. Mau bikin api unggun...." sahutku, sambil terus berusaha menggesekkan kedua kayu itu dengan penuh semangat.

Ya iya lah.... Kita kan cowok. Selain harus melindungi kaum cewek, kita kan harus menjadi orang yang solutif.

Keringat sebesar biji jagung mulai menetes di keningku. Tapi, api itu tidak juga terjadi. Boro-boro api, percikannya aja gak ada sama sekali. Padahal, kedua tanganku mulai kelelahan. Gak nyangka, untuk bikin api aja sesusah ini ya.....

Itu pemantik api, kok bisa kelupaan dibawa ya... Hedeeeehhh.... Capek deh.

FIUUUHHH.....

Aku menghela napas.

"Capek, Mas?" tanya Alisa dengan senyum manisnya.

"Gak... Gak... Ini udah biasa, kok" sahutku. Tengsin lah....

"Perlu dibantu, Mas?" tanya Alisa lagi.

"Gak... Gak apa-apa. Ini sih udah biasa buatku" sahutku lagi.

Alisa tersenyum. Lalu, duduk di depanku. Kemudian dengan penuh perhatian, matanya tak lepas memandangiku dan memperhatikan kegiatanku yang masih mencoba tanpa pantang mundur, berupaya sekuat tenaga dan sekuat gengsiku, untuk membuat api unggun itu.

Setelah sekian lama, upaya menyalakan api tak kunjung mendapatkan hasilnya. Aku terduduk kecapekan. Buset dah, susah amat ya....

Dari matahari mau terbenam, hingga sekarang mulai gelap, gak juga berhasil bikin api unggun. Aduuuh, gimana ya? Mau disimpan dimana ini muka nanti....? Sementara itu, di depanku, cewek cantik itu duduk dalam diamnya sambil tersenyum. Tak sedikit pun ia bergerak dari tempat duduknya itu.

"Sebenarnya, ada cara yang lebih mudah lho, Mas. Kalau mau bikin api unggun" tiba-tiba suara lembutnya memecah keheningan di antara kami berdua.

Oya.... Aku kaget sekaligus gembira mendengarnya.

"Oya? Gimana, gimana?" sahutku dengan gembira.

"Begini, mas ya...." masih dengan senyuman manisnya, Alisa menjawab pertanyaanku.

"Teknik dasar yang harus dikuasai sebelum menguasai Ajian Kilat Jingga adalah...." ujarnya pelan.

Kemudian, Alisa mengangkat tangan kanannya sedikit di depan dadanya, dengan telapak yang menghadap ke arah atas.

Eh, ini Alisa lagi ngomong apaan sih....

Kok, bicara masalah teknik dan skill yang dimilikinya? Aneh....

Tak lama kemudian, suara mendesis terdengar. Dan, tiba-tiba....

BUUUZZZZZ....

Cahaya kemerahan muncul dari telapak tangannya. Cahaya itu memancarkan cahaya terang dan panas yang menyengat. API.

"Menciptakan api" kata Alisa, melanjutkan kata-katanya yang terputus tadi.

Aku terdiam sambil ternganga melihatnya.

Oh iya... Bener juga. Alisa kan pengguna elemen api. Mestinya, menciptakan api bukanlah hal yang sulit baginya.

Eaaalaaaaahhh..... Kok, aku lupa ya. Dan, dan... Kok dia baru bilang sekarang ya?

Ihhhhh, nyebelin deh, cewek cantik yang satu ini.

"Waaah, kamu itu, Lis. Kok ya, gak ngomong dari tadi...."

"Capek tau....." sungutku.

"Yeeeee.... Mas Joko sendiri yang gak nanya. Udah tau kalo Alisa punya elemen api. Malah langsung aja gesek-gesek kayu itu buat bikin api unggun." sahutnya.

"Hehehehe.... Bener juga ya. Aku lupa. Maaf ya..." tukasku sambil menggaruk kepalaku yang sebenarnya tidak terasa gatal.

Dan, akhirnya, api unggun kami pun menyala dengan gagahnya. Kami pun duduk berdampingan menghadapi api unggun tersebut.

Perlahan, Alisa mengeluarkan isi dari sebuah tas, yang sedari kami berangkat, tergantung dengan cantiknya pada pelana kuda yang dikendarainya.

Ada beberapa buah botol berwarna-warni. Ada yang merah, biru, hijau, dan kuning. Serta, dua atau tiga helai bulu burung berwarna merah yang sangat cantik.

"Botol apaan tuh, Lis?" tanyaku keheranan.

"Ooooh.... Ini adalah botol-botol obat, Mas" sahutnya.

"Obat? Obat apaan?" tanyaku masih penasaran.

"Botol yang merah ini namanya Anthalgieen. Khusus buat menyembuhkan luka" sahutnya.

"Botol yang hijau ini namanya Vaksin CV. Khusus buat menyembuhkan kondisi Keracunan"

"Botol yang kuning ini namanya Tetesan MT. Obat buat menyembuhkan kondisi Sibuta"

"Dan, botol yang biru ini namanya Restore AC. Obat buat mengembalikan Manna"

"Dan ini, 3 helai Bulu Phoenix. Obat langka nih, Mas. Buat menyembuhkan kondisi Koma"

Panjang kali lebar kali tinggi deh, penjelasan Alisa. Komplit.

"Sebelumnya, kita kan udah cerita-cerita sedikit tentang kondisi Koma" lanjutnya.

Hmmmmm.... Bener juga. Koma adalah status yang paling dihindari saat pertarungan sedang berlangsung. Ternyata, Bulu Phoenix itu ya, obatnya? Atau, bisa juga disembuhkan, saat menemukan Mata Air Kehidupan, seperti yang pernah dijelaskan Alisa beberapa waktu lalu.

"Kemudian, kondisi Keracunan. Oya, ingat lho, Mas. Binatang-binatang yang hidup di hutan di sepanjang kaki Gunung Jinobor, sebagian besar mengandung racun dan bisa menyebabkan kondisi Keracunan bagi kita" lanjutnya.

"Kondisi keracunan adalah saat dimana tubuh kita terkena racun dan Manna yang kita miliki akan turun perlahan-lahan hingga saparuh dari kondisi Manna terahir. Kondisi ini terjadi bahkan saat kita tidak sedang bertarung"

"Berikutnya, kondisi Sibuta. kalau terkena kondisi ini, mas gak bakalan bisa melihat"

Eh, apa tadi? Gak bisa melihat? Ah, kecil itu mah... Cuman gak bisa melihat doang.

"Cuman, jangan remehkan kondisi ini" lanjut Alisa.

Eeeeh. kok bisa? kan cuman gak bisa melihat?

"Dalam suatu pertarungan, kehilangan penglihatan adalah hal yang sangat merugikan"

"Mas, gak akan tahu kondisi musuh yang sedang dihadapi. Bahkan, Mas juga gak bakalan tahu kondisi kawan-kawan yang sedang bertarung bersama Mas" lanjutnya.

Hmmmmm.... Bener juga. Gimana nyerangnya, kalo musuhnya aja gak bisa dilihat...

Yang ada nanti, malah mukul daerah kosong melulu. Dan tentunya, kita akan menjadi target yang mudah bagi musuh. Kalo orang Korea bilang "Sitting Duck", Bebek Sedang Duduk, eh...

"Terus.... Obat-obat itu dapatnya dimana?" tanyaku.

"Beli dong, Mas. Masak, minta...." sahutnya.

Oh iya, ya.....

"Terus dapat uangnya dari mana?" lanjutku lagi, masih kebingungan.

"Ya, kerja dong....." sahutnya lagi.

Bener juga, ya... Kita gak boleh manja. Harus mandiri. Harus bisa nyari uang sendiri.

Alisa tersenyum menatapku. Entah kenapa, aku merasa ada yang aneh dari tatapan mata yang indah itu. Bentar, bentar.... Kok, seperti kata pepatah, ada udang di balik bakwan ya? Seperti, ada sesuatu, gitu lho....

Oh iya ya....

"Lha, terus. Kalo kita yang lagi bertualang gini, gimana kerjanya?" tanyaku, bingung.

"Hahahaha.... Mas Joko lucu deh. Ya iya lah... Gak mungkin juga kita kerja" sahutnya.

"Lha.... Terus?" tanyaku lagi.

"Gini. Ada beberapa solusi. Pertama, sebelum berangkat kesini, aku emang udah diberi bekal sama Yang Mulia Baginda Raja Red XIII. Selain beberapa botol obat-obatan ini, dan beberapa item penting lainnya. Aku juga diberi bekal oleh beliau berupa beberapa koin emas" Sahutnya.

"Di samping itu, perbekalan yang aku miliki, kita punya memiliki solusi yang lain. Solusi kedua itu akan kita temukan di dalam ruangan tempat dimana kristal berada. Nah, di dalam ruangan itu, biasanya terdapat peti harta karun"

"Haaaaah???? Peti harta karun?" tanyaku heran.

"Aaaaah, Mas Joko ini. Kalo heran itu, yang biasa aja dong. Gak usah kayak ikan Mujaer gitu. Gak keren banget deh..." sahut Alisa.

Et dah, Neng... Mgebandinginnya kok sama ikan Mujaer sih? Kerenan dikit napa? Ikan Cupang, kek. Ikan Lohan, kek....

"Oh iya... Maaf, maaf... Peti harta karun itu apaan sih?" tanyaku lagi.

"Ya, peti yang berisi harta karun dong, Mas. Masak isinya Ikan Mujaer" rengut Alisa.

Tuuuh, kan. Balik lagi ke Ikan Mujaer....

"Gak... Bukan begitu maksudku. Apa sih yang bikin istimewa sama peti harta karun ini?" kataku berusaha memperbaiki kesalahan ucapanku.

"Katanya sih..." ujar Alisa sambil berbicara lebih pelan lagi....

Kemudian, ia mendadak diam seribu bahasa...

Suasana sunyi mencekam.... Suasana sepi itu dengan segera membungkus kami...

Bahkan, samar-samar terdengar bunyi dedaunan yang bergesekan saat tertiup angin....

Et dah, Neng... Kok, nuansanya jadi horor gini sih???

Aku yang ikut mendengarkan ucapannya, menjadi tegang...

Aduh, ada apa sama peti harta karun ini ya? Apakah.... Peninggalan dari planet lain?

Ataukah, merupakan benda terkutuk... Apakah, berbahaya.... Apakah.....

"DUAAARRR....!!!!!"

Alisa berteriak....

Aduh, biyung.... Copot jantungku....

Buset dah.... Ini cewek satu, usil amat sih... Baru juga satu malam bersama dia, udah kayak gini.

Gimana kalo sebulan....???? Gimana kalo jadi suaminya???

Eeeeeh, ngarep.....

--- end of Bab XI ---