PROK... PROK... PROK...
Terdengar bunyi derap langkah perlahan. Suaranya cukup nyaring beradu dengan batu-batu kerikil jalanan.
Saat aku menolehkan kepalaku. Alamak ja..... Kuda.
Dua ekor kuda yang gagah dan memukau. Alisa duduk di punggung salah satu kuda tersebut. Kecantikannya makin terpancar.
Jujur, aku sendiri tidak tahu apa hubungannya seorang cewek yang menaiki seekor kuda, dengan proses meningkatkan kecantikan. Namun, saat melihat Alisa saat itu, mataku menangkap keindahan dari pesonanya yang semakin memancar.
"Jangan melongo gitu, dong ah... Kayak gak pernah ngeliat kuda aja" ujarnya sambil tersenyum. Alamak.... Senyumannya.
"Kamu nanti berangkat menaiki kuda itu, Nak?" lembut suara Bu Darti bertanya padaku. Sementara itu, Alisa dengan sigap melompat dari punggung kudanya.
"I.... Iya, Bu..." sahutku, dengan suara sedikit bergetar.
"Kamu yakin bisa?" Bu Darti melanjutkan pertanyaannya, sambil tersenyum.
"Eeeee... Sebenarnya, gak yakin sih, Bu..." sahutku.
"Jangan kuatir, Bu. Nanti Alisa yang ajarin Mas Joko-nya" kali ini Alisa yang menjawab pertanyaan Bu Darti.
"Lagian, berkuda itu gak susah-susah amat, kok" sambungnya.
"Haah.... Beneran, Lis???" kutimpali perkataannya.
"Beneran. Tinggal duduk aja di punggungnya" sahutnya.
Aku terpana dan melongo mendengar jawaban Alisa. Otakku menjadi lumpuh. Seakan tak percaya mendengar jawaban dari bibir indah itu.
Butuh waktu beberapa saat bagiku untuk menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dari perkataannya. Yang menyedihkan adalah kesadaran itu baru muncul takkala mendengar tawa kecilnya yang merdu.
"Hihihihi.... Mas Joko lucu deh. Bengong, kayak habis ngeliat setan lewat" ujarnya sambil tersenyum manis.
Ahhhh.... Merdu sekali tawa kecilnya. Oh iya, apaan tadi ya? Kok jadi lupa.
Oh iya ya.... Mas. Aku dipanggil Mas, brothers and sisters... So sweet....
"Yaelah, Neng... Kalo cuman duduk aja, Pak RT juga tau" sungutku.
Akibatnya, tawanya menjadi pecah... Tak malu-malu lagi rupanya dirinya.
"Hahahaha.... Ibu, Mas Joko kalo lagi ngambek, lucu ya...." ujar Alisa.
Bu Darti hanya tersenyum manis melihat tingkah polah kami berdua.
"Bu... Joko dan Alisa, pamit" ucapku. lalu, kupeluk beliau dengan erat.
Seolah tak ingin melepaskannya. Air mata kami berdua meleleh di pipi. Berat sungguh perpisahan ini. Perpisahan yang tak tahu, kapankah pertemuan kan tiba. Bahkan, kami pun tak tahu, apakah pertemuan itu ada.
"Joko, anak Ibu tersayang. Pergilah. Do'a ibu selalu mengiringi setiap hembusan napasmu. Dan, do'a ibu akan menemanimu di tengah sepimu, di saat malam-malam menjelang" lirih terdengar bisikan Bu Darti di telingaku.
Ahhhh.... Betapa pedihnya hatiku mendengar bisikan perempuan berhati emas ini.
Kemudian, kuraih tangan kanan beliau dan mencium punggung telapak tangannya.
"Bu, Joko pamit. Jaga diri ibu baik-baik ya..." lirih suaraku terdengar.
"Alisa juga pamit, Bu." lembut suara Alisa terdengar, setelah aku berpamitan dengan Bu Darti. Ia pun tak sungkan-sungkan mencium tangan Bu Darti, seolah-olah sedang berpamitan dengan ibu kandungnya,
Namun... Perpisahan yang mengharukan itu, dengan segera berakhir.
Saat kubalikkan tubuhku.
Ahhhh.... Iya.... Kuda.
Perlahan kudekati binatang gagah itu, dengan lutut gemetar.
"Gini lho, Mas...." terdengar suara Alisa.
Dia mencontohkanku cara menaiki sanggurdi kuda yang akan ditungganginya. Lalu, dengan lembut namun sigap, dia menduduki pelananya.
"Tenang ya, masbro... Jangan lompat-lompat ya. Kita kan udah temenan" kataku pelan kepada si kuda, sambil menepuk-nepuk pelan badannya yang gagah dan kekar.
HIIIEEEEE..... HOSHHH..... HOSHHH.....
Seolah mengerti, dia berdiri dengan tenang, ketika aku mencoba menaiki sanggurdi yang terpasang di samping pelananya.
"Mas... Kudamu itu, betina lho...." ujar Alisa.
"Oh... Gitu ya?" sahutku bingung.
"Jadi... Jangan panggil masbro, dong...." lanjutnya sambil tersenyum.
Et dah, Neng.... Mana aye tau. Aye kan baru pernah naik kuda....
Bagiku, semua kuda sama saja. Mana aku tau, kalo ada yang jantan, dan ada juga yang betina.
Masih sambil tersenyum, Alisa melanjutkan ucapannya.
"Kalau mau jalan, hentak tali kekangnya begini...." katanya, sambil memberikan contoh. Lalu, dibiarkannya si kuda berjalan berputar-putar sejenak.
"Kalau udah jalan, posisi badan harus begini..." lanjutnya.
"Kalau mau berhenti, tarik tali kekangnya perlahan seperti ini"
Aku memperhatikan seksama, semua petunjuknya.
"Kita pelan-pelan dulu ya... Aku masih belum terbiasa" tukasku.
"Baik, mas..." sahutnya.
"Kami berangkat, Bu...." kataku pada Bu Darti.
Beliau tersenyum lembut, tak berkata apa-apa. Namun, beliau melambaikan tangannya pada kami berdua.
Kami berdua pun membalas lambaian tangan beliau, sambil perlahan mengendarai kuda, kami menelusuri jalan dan menuju pintu barat dari Regendi Town.
"Alisa... Kenapa sih, kita harus naik kuda? Bukankah kita bisa menggunakan ilmu meringankan tubuh kita masing-masing?" tanyaku.
"Mas, tahu manna?" jawabnya.
Waaah, gimana sih, ini cewek. Ditanya, kok malah balik nanya.
"Manna? Bukankah manna itu energi kehidupan di Xyor ini?" kini, aku yang balik mengajukan pertanyaan.
Hmmmm... Lama-lama, kami berdua malah akan saling bertanya nih.... Terus, kapan menjawabnya ya?
"Tahukah Mas, jika setiap ilmu yang kita gunakan menggunakan manna?" balik lagi, dia bertanya.
Tuh, kan..... Eh, tapi....
"Gak tuh..." sahutku.
"Gini ya, Mas Joko. Jurus maupun ajian yang kita miliki, agar dapat digunakan dengan baik, kita harus memiliki cadangan manna yang cukup besar" sahutnya.
"Bedanya adalah, penggunaan ajian akan membutuhkan manna yang jauh lebih besar dibandingkan saat kita menggunakan jurus"
"Disamping itu, semakin tinggi level dari jurus maupun ajian yang kita gunakan maka akan semakin banyak pula manna yang harus kita gunakan" lanjutnya.
"Jadi, maksudmu, kita menggunakan kuda ini dengan maksud menghemat persediaan manna yang kita miliki. Begitu ya?" sahutku.
"Mas Joko, udah cakep, pintar lho...." sahutnya sambil tersenyum manis.
Widiiiihh.... Berasa, semriwing deh....
"Eh, tapi.... Apa yang terjadi saat manna yang kita miliki habis?" tanyaku lagi.
"Kita akan lemas dan hampir tak dapat menggerakkan seluruh anggota tubuh kita" sahutnya.
"Tapi, jangan takut, Mas. Manna kita akan kembali terisi perlahan-lahan"
"Atau, bisa juga disembuhkan seketika, jika menemukan Mata Air Kehidupan" lanjutnya menjelaskan.
"Syukurlah kalau begitu...." sahutku.
"Tapi...." lanjutnya.
Eh, kok ada tapi lagi ya??? Perasaan kok gak enak ya....
"Jika kita kehabisan manna saat bertarung dengan musuh, tentu sangat berbahaya, bukan? Kita pasti tidak akan mampu bertarung lagi" ia melanjutkan perkataannya.
Bener juga... Saat bertarung, kehabisan tenaga atau manna, tentunya menjadi hal yang paling terakhir yang ingin kualami. Nyawa taruhannya lho. Ibarat makan tahu isi pakai cabai. Tahunya habis, sedangkan cabainya terlanjur sudah dikunyah.
Apes deh pokoknya. Pake banget.
Tak terasa perjalanan kami berdua memasuki gerbang Barat.
Perlahan namun pasti, aku mulai menguasai cara mengendalikan kuda yang sedang kutunggangi itu. Dan, tentu saja ini tak lepas dari petunjuk Alisa.
Ahhhh.... Alisa. Cewek ini sebenarnya sangat menyenangkan untuk dijadikan sebagai teman perjalanan. Senyumnya begitu manis jika dilihat. Bikin hati adem.
Sepasang mata hitamnya yang begitu jernih, menatap lekat seakan mencoba menelusuri sisi-sisi terdalam dari hati. Tawa lembutnya, laksana nyanyian lembut dari bidadari surga. Pokoknya, semuanya serba indah deh.
Tapi.... Orangnya rada galak lho. Ingat kan, saat dia mengeluarkan jurusnya kepadaku gara-gara gak sengaja memeluknya karena hati yang gembira?
Yaelah, Bang.... Sejak kapan sih meluk itu bisa gak sengaja? Kalo jatuh terjerembab sih, iya.
Dan satu lagi... Nampaknya, di balik kecantikan wajahnya, tersimpan sisi gelapnya yang lain. Yang kadang ditampilkannya padaku. Usil.
Di luar gerbang, tiba-tiba Alisa berbicara padaku.
"Mas Joko, kamu harus tahu cara bikin kuda lari lho ya" ujarnya.
"Haah? Lari?" sahutku keheranan.
"Iyalah. Lari. Kalau jalan seperti ini, bisa dua bulan lho baru kita tiba di hutan di kaki gunung Jinobor" tukasnya.
Perlahan, namun pasti, keringat dingin mengalir dari keningku dan membasahi kedua telapak tanganku. Senyumku pun berubah menjadi kecut.
"Mas Joko, harus menyentakkan tali kekangnya dengan keras" lanjutnya, seolah tak peduli dengan perubahan mukaku.
Nasib.... Oh, nasib....
"Dan untuk menghentikan lari kuda kita, tarik tali kekangnya dengan kuat"
"Seperti ini.... Huupp...." lanjutnya sambil menarik tali kekang kudanya dengan kuat.
Seketika itu juga....
HIIIEEEEE.... HIIIEEEEE.....
Si kuda, mendadak tersentak hingga berdiri dengan kedua kaki belakangnya.
Namun, si pengendara, seperti sedang dilem pada pelananya. Melekat erat di pelananya. Tidak terjatuh.
Aku tercengang.... Buseeet....
Tak ayal, keringat dingin semakin deras mengucur. Lututku gemetar.
"Aku coba dulu ya...." ujarku, dengan suara parau.
Alisa malah senyum-semyum cengengesan.
Huupp...!!!!
HIIIEEEEE.... HIIIEEEEE....
WADUHHH.....!!! HUUUPPP....!!!
Kaget. Si kuda tersentak, dan berdiri di kedua kakinya.
Aku yang sejak awal sudah merasa ketakutan, otomatis mengerahkan ilmu meringankan tubuhku. Dan meloncat jauh ke belakang, meninggalkan si kuda.
Sedangkan si kuda yang masih terkaget-kaget, gelisah, didekati Alisa. Dan, menenangkannya.
"Gak usah terlalu tegang, mas..." katanya, sambil tersenyum.
"Gak kok, gak tegang.... Cuman, stress aja" sahutku.
"Hahahaha..... Cara Mas Joko tadi, udah bener kok. Tinggal dikendalikan aja"
"Dan, gak perlu sampai lompat segala" lanjutnya.
Duuuuhh, ini cewek. Untung, cakep. Kalo gak, udah tak timpuk pakai cinta.
Asyik dong, mas. Pakai cinta....
Yaelah, bang.... Namanya ditimpuk itu, pake apapun, tetep aja sakit.
"Gak usah tegang kayak gitu, dong, mas. Tenang aja. Lagian kan, ada Alisa di sini".
Hmmmm.... Justru itu, yang bikin aku tambah gugup.
"Yang penting, Mas Joko ngeliat dan perhatikan bagaimana cara Alisa melakukannya"
"Dan kita, akan mencoba lari pelan aja dulu" lanjutnya.
Aku mengangguk, sambil tersenyum kecut. Masih gugup.
Tak lama kemudian, kami mulai memacu kuda-kuda kami. Kadang, perlahan. Kali berikutnya, berlari dengan sedikit kencang. Kemudian, berhanti. Diulang lagi, hingga beberapa kali.
Setelah aku mulai terbiasa, barulah kami berdua memacu kuda-kuda kami dengan kencang. Seolah saling berlomba adu cepat. Kadang, Alisa memimpin. Kadang, aku dibiarkannya untuk melaju ke depan.
Ahhhh.... Romantis sekali.
--- end of Bab X ---