Chereads / The Spirit of Xyor / Chapter 3 - III. Kabut Hijau

Chapter 3 - III. Kabut Hijau

Sinar matahari menembus di sela-sela dedaunan dan ranting-ranting pohon. Angin berhembus pelan, seolah-olah sedang menyanyikan lagu syahdu nan memikat jiwa. Suasana yang sepi menyambutku, saat kujejakkan langkah memasuki hutan. Keheningan dengan segera menyergap jiwa.

Hmmmm.... Aneh. Kok, sepi begini ya? Biasanya sih, kalo udah masuk di hutan ini, kita akan disambut dengan riuhnya kicauan burung-burung hutan. Yang bersahut-sahutan dengan riuhnya bunyi tonggeret yang sedang mencoba menarik hati sang calon pasangan hidupnya. Kali ini, begitu sunyi. Yang lebih aneh lagi adalah kesunyian yang ada ini, sunyi yang sebenar-benarnya sunyi. Sunyi sepinya mencekam. Seolah-olah ada sesuatu yang maha dahsyat akan segera terjadi. Bukan itu saja. Seolah-olah ada ribuan pasang mata sedang mengintai. Sejak pertama kali kujejakkan langkah melewati perbatasan hutan ini. Tak ayal, pedang pun segera kuhunus. Kugenggam di tangan kanan, sedangkan panah masih kugenggam di tangan kiri.

Hei.... Bau apa ini?

Baunya, seperti bau belerang. Kucoba mengalihkan pandanganku, mencari-cari sumber bau belerang tersebut. Apa ada yang terbakar ya? Tapi kok, tidak nampak sedikit pun ada asap hitam tanda telah terjadi suatu kebakaran.

Sementara itu, kabut pun mulai turun. Hmmm.... Aneh. Biasanya kan, kabut itu muncul saat pagi hari. Ini kok saat hari sudah menjelang sore. Dan ini lagi, keanehan lainnya. Kok, warna kabutnya agak kehijauan ya?

Waaah, gak bener ini... Sambil tetap waspada, aku terus melangkah. Pedang masih kugenggam di tangan kanan, sedangkan busur panah di tangan kiri.

Eh, itu apa ya? Kelinci? Awww.... So Cute. Belum tau mereka ya, aku ini kan penggemar hewan-hewan imut. Kucing dan kelinci khususnya. Makanya, paling malas deh, kalau harus berburu kelinci. Kalau Bu Darti meminta aku untuk berburu, dan yang diminta daging kelinci, ah udah deh. Seribu alasan akan kubuat. Mending, beli langsung aja dagingnya di pasar.

Tapi, kok kelincinya cuman diam-diam bae??? Hidup apa gak, ya? Eh, hidup ding... Tuh, dia lagi mengarahkan pandangannya ke arahku.

YOU.... WHAT...!!!!!! Eh salah.... APAAN TUH....!!!! Kelincinya kok berubah????

Badannya kok membesar?!?!?! Telinganya memanjang... Begitu juga kaki-kakinya.... Membesar.

Dan, dan... Matanya juga memerah, seolah-olah memancarkan cahaya api. Dan, giginya.... Oh maigad...

Memanjang dan berubah menjadi sepasang taring... Ini, apaan sih maksudnya....????

Aku tidak sedang bermimpi kan????

Celaka tujuh puluh tujuh.... Eh, salah. Kebanyakan....

Celaka tiga belas.... Kelinci itu. Kalau memang masih boleh disebut kelinci, menatapku. Dengan tatapannya yang menggoda. Menggoda dengan penuh rasa lapar. Wah, bahaya nih.

Tidak membuang waktu lebih banyak lagi. Aku bersiaga. Kuda-kuda kupasang. Tangan kanan yang memegang pedang kuposisikan di sejajar dengan dada. Sedangkan tangan kiri yang memegang busur panah kuposisikan di belakangnya. Bermaksud sebagai pengganti perisai. Menjaga setiap serangan yang mungkin terlewat oleh pedang pendekku.

Kelinci itu melolong... Eh, kok bisa ya? Udah.... Namanya juga monster, ya bisa dong.

Kemudian, menerjang ke depan. Mengincar aku. Astaga.... Cepat sekali gerakannya. Untung, aku sempat menghindar ke arah kiri. Dan, melanjutkannya dengan tusukan pedangku ke arah pinggangnya. Sementara, tangan kiriku masih berusaha melindungi bagian tubuhku yang terbuka.

JLEB....

Pedang pendekku menusuk pinggang kelinci itu... Ah, sial. Cuman, menimbulkan luka kecil saja. Tubuhnya sangat kuat. Seolah-oleh kulitnya bertambah tebal, dan membuat tusukan pedangku tidak terlalu menimbulkan efek yang mematikan. Duuh, kok bisa ya? Apa dia punya kulit cadangan ya?

Namun, aku tidak bisa berpikir lebih lama. Meskipun mendapatkan luka kecil akibat tusukan pedangku, begitu kakinya menyentuh tanah, kelinci itu memutar badannya dengan cepat, sambil menyabetkan tangan kanannya yang dihiasi kuku-kuku tajam. Setajam silet....

BRETT... UGGHHH....

Pundak kananku terluka. Tapi, tak kuperhatikan. Tubuhku berputar. Kuarahkan tangan kiriku yang memegang busur panah ke arah kepalanya. BUGGGHH... Tepat di sekitar mata kirinya. Tubuh kelinci itu sedikit limbung. Namun, hanya sebentar. Dia melompat ke belakang. Kemudian, berdiri diam sambil terus menatapku dengan tatapan yang menggoda tersebut. Ih... Serem deh...

Lebih serem daripada ngeliat cewek ngambek karena permintaannya agar ditemani belanja, tidak dikabulkan.

Aku berdiri sedikit mencondongkan badan ke depan, dengan mengarahkan pedang ke depan. Kali ini aku harus bisa menyerangnya lebih dulu. Pokoknya, prinsip elu jual gue beli, sekarang harus kuterapkan. Dan sasaranku adalah anggota-anggota tubuhnya yang menurutku paling lemah. Salah satunya adalah sepasang matanya. Aku yakin, walau setangguh apapun kekebalan suatu makhluk. Mata tetap menjadi salah satu anggota tubuh yang hampir mustahil untuk dibuat kebal.

Aku melompat sambil mencondongkan badanku ke arah depan. Tangan kiri yang memegang busur melakukan pukulan tipuan ke arah lututnya. Eh, kelinci punya lutut kan? Iya, kan? Dan, seperti dugaanku, ia membacanya. kemudian, berkelit ke samping. Hmmm, mas bro, langkahmu sudah kuprediksi lho....

Begitu kakiku mendarat, kuputar tubuhku sambil menggerakkan tangan kanan. Menusuk pedangku ke arah matanya. Dan... CRASSSHH.... Kena!!!! Secepat kilat kutarik

pedang pendekku tersebut. Darah pun muncrat dari mata kanan kelinci itu.

GROOOWWWLLL....

Ia meraung kesakitan. Aku berdiri siaga, sambil mengawasi gerakannya, yang aku yakin akan semakin ganas. Dan, benar saja. Begitu ia mulai bisa mebiasakan dirinya untuk bisa melihat dengan mata kiri saja, si kelinci pun memulai gerakannya. Mulutnya bergetar sambil menggeram. Seandainya ia adalah seorang manusia, pasti ia akan merasa sebel luar biasa. Dan mengeluarkan sumpah serapah. Pokoknya, isi kebun binatang pada keluar semua dari mulutnya. Cuman, karena bisanya hanya menggeram dan melolong saja, makanya yang keluar cuman suara kayak...

GRRRRGGHHHH..... GROOOOOWWLLL.....

Kemudian, merangsek ke depan. Pukulan-pukulannya silih berganti, mengincar bagian tubuhku yang tidak terjaga.

Dan seperti tadi, ia masih terus mengandalkan sabetan-sabetan kuku-kukunya. Eh, buset.... Kok, kayak emak-emak lagi berantem ya... Cakar-cakaran.

Aku pun sontak dibuatnya kalang kabut. Harus menghindar kesana kemari, sambil mencoba menangkis pukulannya.

Silih berganti, pedang dan busurku menangkis. Sambil sesekali membalas mengincar bagian-bagian tubuh si kelinci yang kuanggap lemah. Dan ketika peluang itu ada, tendangan kaki kananku langsung masuk ke arah lehernya... Akibatnya, kelinci itu terjajar ke belakang. Namun, seranganku masih berlanjut. Mencari kesempatan di balik kesempitan.

Lha iya lah... Yang namanya bertarung kan berusaha mencari peluang untuk menjatuhkan lawan. Sekecil apapun peluang itu.

Setelah tendanganku membuat dia terjajar beberapa langkah, kulanjutkan dengan tusukan pedangku. Kali ini kuarahkan ke mata kirinya. Dan, CRASSHH....

GROOOWWWLLL....

Berhasil.... Berhasil.... Berhasil.... Hore...!!!

Kini kedua matannya sama-sama terluka. dan ia pun harus bertarung tanpa dapat menggunakan indera penglihatannya lagi. Sebuah kondisi yang menguntungkan buatku. Tapi...

GROOOOOWWLLL..... GROOOOOWWLLL..... GROOOOOWWLLL... GROOOOOWWLLL....

YOU.... WHAT....!!! Eh, salah lagi....

APAAN TUUHHH.....!!!!!

Kresek.... Kresek.....

Terdengar beberapa lolongan. Dan disusul bunyi daun-daun yang diterobos beberapa sosok makhluk... Kemudian...

Lima ekor kelinci, sudah berdiri di depanku. Sementara di sisi lain, kelinci buta yang menjadi lawanku, masih berusaha berdiri dengan baik dan mencoba membiasakan dirinya yang sudah tidak bisa melihat lagi.

Waduuuh... Ini, satu aja masih belum beres. Badanku juga masih bersimbah darah... Eeeeh, malah dapat bonus akhir tahun. Lima ekor kelinci mutant. Nikmat mana lagi yang kau dustakan, Joko.... Duhh, malah ngelantur gini ya. Harap maklum, kondisinya udah ibarat telur di ujung tanduk. Emergency, cuuy....

Gawat, gawat... Satu aja masih belum tentu menang. Ini, nambah lagi lima? Hmmm.... Kayaknya aku tidak punya pilihan lain. Dan harus segera mempersiapkan ajian dan jurus pamungkasku.

Jurus MELEPAS SENDAL MENCOPOT SEPATU. Lalu, dilanjutkan dengan ajian LANGKAH SERIBU.

Sayangnya, tidak semudah yang kurencanakan. Dan nampaknya, kelima kelinci mutant itu pun sadar bahwa posisi mereka benar-benar di atas angin sekarang. Alamat jadi capcay kuah nih...

Tapi, aku harus tetap berusaha. Peluang itu, walaupun sekecil apapun, harus kutemukan. Harus.

Here goes for nothing... Kelima kelinci itu mulai membuka serangan mereka. Serangan yang bertubi-tubi.

Aku terus berusaha bertahan, sambil mencari peluang menusukkan pedang atau busurku ke arah titik lemah di badan mereka. Khususnya, mata.

Lukaku semakin banyak, terkena sabetan-sabetan kuku mereka. Yang, setajam silet.... Aku semakin terdesak.

Namun.... Setelah mendapati berbagai serangan yang bertubi-tubi. Aku segera menyadari satu hal penting.

Yang mungkin saja dapat menolong jiwaku. Ternyata, serangan mereka, tidak terkoordinasi dengan baik. Dan, satu hal lagi. Mereka hanya menyerang secara fisik, bukan dengan ilmu sihir. Artinya, suatu saat akan ada kekosongan serangan. Dan ini akan menjadi celah yang menguntungkan bagiku.

Nah, itu dia....!!!! Peluang yang kutunggu, tiba. Saat kelima kelinci serentak berusaha menyerangku. Dan tidak ada satu pun yang berjaga di belakang. Sedangkan, si kelinci buta, sudah tak terlihat lagi. Entah dimana.

Aku berusaha membalas semua serangan itu, tanpa bermaksud membunuh atau melukai. Namun, hanya mebuka celah agar aku dapat melarikan diri. Itulah sebabnya, yang kuincar adalah mata mereka semua... Atau, tendangan yang akan kuarahkan ke leher mereka. Begitu semua terpukul mundur, ajian LANGKAH SERIBU kumainkan.

Lompat, dan.... Lari...!!!!!!

GRUSSAAAK.... GRUSSAAAK.....GRUSSAAAK....

Bagaikan dikejar debt collector sekampung, aku lari sekuat tenaga. Daun, ranting, semak belukar, aku tak peduli.

Terobos terus.... Dan, gass puoll....!!!!

Tidak kuhiraukan lagi, hutan yang semakin gelap. Semak melukar yang semakin padat, rimbun dan tinggi. Bahkan, pohon-pohon yang semakin besar, tinggi dan menyeramkan.

Yang ada dalam pikiranku saat ini adalah lari, dan lari, dan lari, dan lari....

Tiba-tiba.....

Tubuhku melayang... Meluncur deras menuju kegelapan. Kemudian... Sekujur tubuhku dilanda rasa sakit luar biasa.

Entah, tak pernah kurasakan sakit seperti ini selama hidupku... Pandanganku seketika hanya ada gelap. Gelap.... Dan kemudian, semuanya hampa.

Seolah-olah, aku berada dalam suatu ruangan yang gelap, sendirian. Dan di saat yang bersamaan, aku tak merasakan apa-apa. Bahkan, tidak dapat berpikir apa-apa.... Hanya, hampa....

--- end of Bab III ---