Chereads / ELIKYA Number Zero : The Unknown Brave Hero / Chapter 23 - Arc 1 - Chapter 22 (Jason)

Chapter 23 - Arc 1 - Chapter 22 (Jason)

Ini adalah perjalanan ilegal, Jason sudah mengakui apa yang sedang ia lakukan saat ini. Jantungnya berdegup kuat saat dia telah melewati batas, hormon adrenalin memicunya melakukan hal ini. Semua yang ia lakukan hanyalah untuk mengatakan kata itu sekali lagi kepada perempuan yang telah menyelamatkan dirinya pada saat itu.

Angin semilir menari narikan rambut pendeknya. Menggenggam secarcik kertas berisikan foto segi panjang, penerang pada kapal telah membantunya memandang lembut kertas itu. Itu adalah foto pertama dan sekaligus terakhir perempuan yang pernah menyelamatkan dirinya. Foto yang sudah lecak termakan oleh usia. Foto dimana akhirnya dirinya dapat berdiri bersama dalam satu secarcik kertas lusuh.

Daratan yang di pijakinya terombang ambing dihantam ombak, suara bising air yang menderu di bawahnya menghantam kapal menciptakan ombak. Dari depan dia hanya bisa melihat percikan lampu bertaburan menghiasi malam di cakrawala sana. Perjalanan ilegal ini sebentar lagi berakhir. Jason akan menjalankan rencananya lalu lari meninggalkan pekerjaan ilegalnya.

Matahari akan terbit dari percikan api perkotaan di hadapannya. Jason berencana untuk menghianati teman temannya, pergi kabur meninggalkan mereka diam diam lalu berpura pura sebagai penduduk lokal, tinggal di penginapan kecil dan menjalani hidup baru dengan damai. Dia berharap rencana sederhananya berhasil, dia tidak ingin di tangkap oleh polisi namun jika hal itu tidak dapat dihindari, Jason berharap dirinya telah menemui penyelamatnya sebelum itu.

Jason melipat foto wisudanya 2 kali lalu memasukannya kedalam jaket parka hijaunya, menggosok gosokan telapak tangannya melawan dingin yang menyengat, membentukan tangannya bagaikan mangkuk lalu meniupkan nafas hangatnya ke sana.

"Oy Jason!...apa yang kau lakukan disini? Sebentar lagi kita akan sampai ke Elikya, jangan membuang waktu dengan berdiam diri bersandar di tempat acak bodoh." Seorang partner kerjanya memarahinya. "Ma..maaf." Dengan pelan dan gagap dia meminta maaf.

"Ayo ikut aku." Partnernya membalikan badan dari Jason, menampilkan punggungnya kemudian berjalan, Jason hanya mengikutinya dari belakang. "Sebenarnya apa yang sedang kau lakukan hah?" Teriak kesal partnernya tersebut. Meskipun disebut partner, mereka semua menganggap apa yang sedang mereka lakukan ini kepada juniornya malah terlihat seperti bos dan pelayan, bahkan terkadang lebih parah, seperti majikan dan budaknya.

Beberapa kali mereka semua menghajar Jason tanpa alasan yang jelas.

Meski begitu Jason tidak terlalu mempedulikan, kelainan pada syaraf sejak lahir sudah membuatnya tidak dapat merasakan sakit, pukulan mereka bukanlah apa apa, dan dengan bekal pengalaman Jason tahu ini bukanlah hal besar bagi tubuhnya. Terdengar seperti kelebihan namun sebenarnya tidak. Jika dia tidak sadar terdapat luka atau penyakit parah pada tubuhnya, maka tinggalah waktu yang menentukan kematiannya.

Jason mungkin memiliki kelainan ini namun keberuntungan berpihak kepadanya, setidaknya sampai saat ini. Dia sudah mengetahuinya sejak kecil ketika bibinya merasa janggal ketika Jason tetap mengupas apel meskipun darah keluar dari tangannya yang teriris. Sejak itu bibinya mengantarnya kerumah sakit lalu disanalah dia mengetahui tentang kelainannya ini. Dokter menyarankan untuk menjauhkan Jason dari sesuatu yang berbahaya.

Jason beruntung meski mempunyai kelainan, tuhan masih memberikan kelebihan berupa tubuh yang kuat. Dapat dilihat dari seberapa besar tubuhnya tumbuh begitu cepat. Terlalu cepat sehingga orang orang di sekitarnya mencap dirinya aneh.

Perundungan selalu saja terjadi tiap tahunnya pada kehidupan Jason kecil, banyak sekali julukan yang diberikan oleh para perundung kepada Jason, 'Aneh, babi, gorila monster.' Masih banyak lagi julukan yang diberikan kepadanya, perundungan selalu terjadi kepadanya, entah itu secara lisan ataupun secara fisik, dia selalu mendapatkannya.

Jason telah membulatkan tekadnya, mengingat perkataan dokter pada saat itu tentang dirinya, dia berjanji untuk menjauhi semua orang, menutup hatinya terhadap orang lain. Membulatkan Tekad demi menjalankan janjinya, janji untuk menjaga bibi dan merawatnya kelak di usia tuanya. Dengan kondisi tubuhnya, sebuah penyakit merupakan bom waktu tersembunyi yang akan mengambil nyawanya diam diam. Jason haruslah hidup hingga kelak dia dapat merawat bibinya yang telah merawatnya sejak kecil.

Namun kenyataan selalu tidak berjalan sesuai dengan yang ia inginkan.

Bibi dan paman meninggal dalam kecelakaan, kecalakaan tabrak lari terjadi antara mobil paman dan pengemudi truk. Di usianya yang ke 12 tahun, dia sudah tak memiliki siapa siapa. Ayahnya meninggalkannya sejak ia masih dalam kandungan, tidak ingin bertanggung jawab atas perlakuannya yang sudah kelewatan batas, dia melarikan diri entah kemana tidak pernah kembali lagi dan Ibunya meninggal gantung diri di kamarnya yang terkunci, tidak kuat menahan tekanan, dia merasa sudah tidak memiliki harga diri, ocehan dan kebencian dari masyrakat menekannya dan tekanan dalam merawat Jason saat bayi membuat pikirannya benar benar kacau.

Awalnya nenek merawatnya namun berganti pengasuhan karena nenek sudah terlalu tua. Dan kini dia sudah tidak memiliki siapa siapa lagi, Nenek meninggal dimakan usia lalu bibi dan paman meninggal dalam kecelakaan. Jason merasa dirinya merupakan bentuk dari kesialan, siapa pun yang memiliki hubungan dengannya maka akan mengalami kesialan besar dan itu sudah terbukti dengan keluarganya.

Hari demi hari, tahun demi tahun dia telah menutup hatinya terhadap orang disekitarnya. Menjaga kutukannya dari semua orang lalu menekan dirinya kuat kuat tanpa ada satupun tangan yang ia harapkan mengulur membantunya dalam menaiki jurang keputusasaan.

Namun hal ini sebentar lagi akan selesai. Jason telah memutuskan akhir dari kehidupannya. Diusianya menuju 17 tahun dia memutuskan untuk mengkhiri kehidupannya. Tetap bertahan hidup hanya akan menyusahkan semua orang, biaya sekolah maupun uang makan, Jason tidak ingin seseorang terbebani oleh parasit seperti dirinya.

"Permisi...apa yang sedang kau lakukan di atap pada jam pelajaran seperti ini." Seseorang tiba tiba bertanya dari belakangnya. Rambut panjang coklat terang sepundak menari nari diterpa oleh angin. Mata hitam yang tegas terukir pada wajahnya yang kecil. Jason segera berbalik kearahnya menatapnya sebentar lalu menundukan wajah.

"Apa yang kau lakukan disini? saat ini adalah jam pelajaran, kau tidak boleh melewatinya sedetikpun." Jason berucap lesu menundukan kepalanya. "Haa!?" Perempuan itu melantangkan suaranya.

"Itu adalah pertanyaanku seharusnya...Apa yang kau lakukan disini?" Angin telah berhenti berhembus di antara mereka, tatapan yang tajam menusuk Jason tanpa ia sadari. "Pergilah...ini bukan urusanmu. Aku tidak ingin kau terbawa sial karena ulahku." Jason segera memalingkan tubuhnya terhadap perempuan itu.

Perempuan itu mendecakan lidahnya 'apa apaan dia.' Menatap kearah Pria besar yang berdiri membelakangi dirinya, beberapa saat yang sepi. Perempuan itu hendak kembali turun lalu menuju kelasnya namun baru saja dia memutar tubuhnya dan siap melangkah, sesuatu tersadar olehnya.

"Kau.." Dia membelalakan matanya tersadar, dengan cepat memutar tubuh menghadap ke arah Pria itu. Hari sudah mulai senja, warna oren pada sebentar lagi akan terlukis di langit sana. Menatap penuh dugaan atas Jason yang berdiri disana menciptakan bayangan sehingga tidak menyilaukan mata sang perempuan. Sinar matahari memantulkan cahayanya dari matanya yang penuh dengan perasaan perih tercampur aduk.

"Kau ingin bunuh diri yah?" Jason tercenggang seketika, dia tidak menjawab apa apa, membeku di sana tanpa melakukan apa apa. Wajah tanpa ekspresi itu samar samar mulai berubah. Jason sedikit menurunkan kepalanya, membuka kecil mulutnya lalu menutupnya, membuka kembali sedikit lebih besar namun menutupnya lagi. Dia tidak berkata apa apa, perempuan itu benar benar tepat sasaran, Jason tidak bisa memberi alasan.

"Aku baru saja menyadarinya, aku sudah sering melihatmu dirundungi. Apa dugaanku benar?"

Jason hanya terdiam disana, sedikit mengangkat kepalanya lalu mengayunkan pelan ke bawah. "Begitu yah?" Ucapnya dengan pelan menggaruk rambut coklatnya lalu melanjutkan.

"Aku tidak tahu betapa menyakitkannya itu karena aku belum pernah merasakannya dan Aku benar benar menentang perlakuan seperti itu, tapi bunuh diri adalah hal yang paling memalukan yang dapat aku pikirkan." Perempuan itu menekan perkataannya di akhir kalimat, menatap tajam kepada Jason yang lesu.

"Memangnya..." Perkataan yang samar dari Jason, segera saat itu pundaknya tanpak bergetar pelan lalu memutar tubuhnya. "Memangnya kau tahu apa HAAA!!?" Itu adalah suara terkeras yang pernah ia katakan. Jason sudah menahan rasa perih ini sejak sangat lama, dia sudah tidak bisa menampungnya kembali.

Air mata keluar mengalir turun ke pipinya. Rasa perihnya akhirnya ia keluarkan dari tubuhnya, meneteskan tiap bulir air mata penuh akan ketidakadilan. Perempuan itu tidak langsung merasakan perih yang tak tertahankan. Air matanya benar benar mengalir dengan deras, perasaan iba muncul pada diri perempuan itu.

Tatapan tajamnya menumpul, dia melemaskan ekspresinya, tapi tak lama dia kembali menajamkan matanya, melangkah pelan mendekat kepadanya. Jason berusaha mengelap air matanya yang keluar, namun air matanya selalu keluar dan keluar, tanpa sadar perempuan itu sudah dekat kepadanya, mengulurkan tangannya yang kecil kepada Jason.

"Aku tidak tahu apa yang sedang kau alami saat ini, aku tidak tahu seberapa perih keadaan yang sedang kau alami, aku tidak tahu apapun tentangmu. Jika kau kehilangan sesuatu yang berharga, cukup menangislah." Dia mengulurkan tangannya, mengangkatnya lebih tinggi dari kepalanya, mengarah kepada Jason, laki laki dengan kutukan di dalamnya.

"Mungkin kau sudah memendamnya selama ini, tapi aku tahu, membunuh dirimu sendiri bukanlah jawabannya. Kau tidak akan pernah mendapat kebahagiaan jika kau melakukan hal ini." Jason sedikit membuka matanya, uluran tangan adalah pandangan pertama yang ia temukan.

"Raihlah tanganku."

Jason mendengus pelan keheranan.

"Ayo berteman denganku."

Jason menarik nafas dengan berat. "Jangan.." Ucapnya dengan pelan, bahkan perempuan itu tidak dapat mendengarnya. Jason memundurkan tubuhnya. "Jangan...tidak..kau akan terkena kutukan!" Dia berusaha membesarkan suaranya. Decakan lidah terdengar olehnya.

"Haa? Kau bodoh ya? Kutukan? Apa apaan hal kuno macam itu?" Ledekannya tidak mempan terhadapnya, dia hanya terus memundurkan tubuhnya. "Jika kau bersamaku..k.kau akan mati."

"Dasar bodoh...Tentu saja aku akan mati! Bukankah itu memang sudah peraturannya?"

"Haa?" Jason berkata samar dia berhenti melangkah ke belakang. Perempuan itu melayangkan tangannya yang terulur ke dadanya, jarinya menyentuh tepat pada tengah tulang rusuknya. "Aku ini mahkluk hidup, tentu saja cepat atau lambat aku pasti akan mati. Dasar bodoh, Yhaah meskipun aku berharap deberkahi umur yang panjang."

"B.Bukan itu maksudku..."

"Lalu? Apa maksudmu?" Perempuan itu menarik uluran tangannya, lalu menempelkan kedua telapak tangan di pinggang.

"Aku....aku..." Kata Laki laki itu dengan pelan. Dia membutuhkan waktu untuk ini. Jason mencoba untuk mencari kata kata yang tepat untuk mengekspresikannya, namun hal ini cukup sulit baginya sehingga dia hanya berkata sedikit dengan gagap lalu berhenti.

"Apa? Aku tidak bisa mendengarnya." Perempuan itu mendekatkan telinganya karena suara Jason terlalu pelan.

"Aku ini....Punya kutukan..." Perempuan itu mendecakan lidahnya lagi, dia benar benar ingin memprotes kebodohan laki laki dihadapannya namun hal itu dapat tercegah oleh kesadarannya, dia menyadari bahwa Jason belum selesai berbicara. Dengan kepala yang mulai panas dia berhenti sejenak.

"Sejak lahir...tidak...sebelum lahir, tidak ada orang yang ingin menerimaku...sebelum lahir, ayah kabur meninggalkan kami dan ibuku...." Suaranya tertahan sejenak, suara Jason benar benar pelan sehingga terpaksa perempuan itu mendekat kepadanya.

"Ibuku...bunuh diri...." Perempuan itu membelalakan matanya terkejut dalam diam. "Sejak saat itu, bibi terpaksa merawatku. Aku menyayanginya lebih dari apapun...Namun beliau meninggal dalam kecelakaan karenaku, jika saja dia tidak merawatku...beliau pasti..."

"Kau ini Bodohnya benar benar keterlaluan yah.." Perempuan itu memotong perkataannya, dari sini dia sudah mulai mengerti permasalahannya. "Yang benar saja, aku pikir masalahnya karena perundungan." Lanjutnya sambil menghela nafas.

"..." Jason tidak berkata. Dia berdiri membeku disana, mengolah perkataan lawan bicara di hadapannya.

"Dengar..." Perempuan itu menunjukan jarinya ke dirinya sendiri. "Aku adalah mahluk hidup, ayahmu, ibumu dan bibimu juga demikian, mereka adalah mahkluk hidup. Aku ikut berduka atas kematian mereka, tapi jangan pernah kau sambungkan kematian mereka dengan dirimu sendiri."

"..."

"Kau adalah orang yang paling bodoh yang pernah aku temui. Bukalah matamu, tegakan pandanganmu, lihatlah dunia! Kau pikir ada berapa banyak orang yang berpikiran sama seperti dirimu? Aku yakin tidak ada seorangpun."

"Kau tidak mengerti.."

"TIDAK...Aku mengerti sekali..."

"KAU tidak mengerti...aku adalah parasit, semua orang tidak ada yang menyukaiku...semua orang membenciku. Aku...aku ini sangat payah sekali...jika saja saat itu aku tidak lahir, maka semuanya...pasti semuanya tidak akan jadi begini...."

Perempuan itu mendecakan lidahnya, dia benar benar buntu logika dengan pikiran orang ini. Tiba tiba dia membuka mata dengan lebar, sesuatu muncul dalam kepalanya, dia menyeringai tiba tiba.

"Kalau begitu...katakan kepadaku, siapa saja orang yang berpikiran sama sepertimu..." Perempuan itu kembali menempelkan kedua tangannya di pinggang, dia menyeringai tajam penuh dengan kesombongan.

"I..itu.." Jason tidak bisa berkata apa apa. Dia benar benar yakin bahwa Jason tidak akan bisa menjawabnya. "Adakah?..." Perempuan itu semakin menyeringi saja, Jason dipaksa untuk lebih melihat kepada realita.

"Ti...tidak..." Ucapnya pelan.

"Tidak ada bukan?....Semua itu hanya muncul dalam pikiranmu yang sempit saja, tidak ada yang menganggapmu adalah parasit, mereka semua mati meninggalkanmu bukanlah karena kau mempunyai kutukan atau hal bodoh lainnya. Astaga...Berdebat denganmu benar benar membuatku seperti orang paling pintar saja..."

"...." Jason diam saja. Beberapa saat yang hening. Perempuan itu membiarkan Jason sedikit waktu agar dia dapat berfikir tentang dirinya sendiri. Tentang seberapa bodohnya dia dapat berfikiran seperti itu. Tidak ada yang mengatakan bahwa dia merupakan sebuah kutukan ataupun parasit. Semuanya hanyalah pikirannya, Jason terlalu terpicu oleh riwayat kelahirannya yang telah menyebabkan ibunya meninggal bunuh diri

"Tumbuhlah yang besar, hiduplah dengan penuh senyuman, jangan jadikan dirimu bagaikan orang jahat. Ibu yakin, di masa depan hidupmu akan penuh dengan kebahagiaan."

Tapi akhirnya dia menyadari.

"Mungkin kau akan jatuh dan terluka, tapi ibu yakin kamu akan bangkit kembali. Temukan orang orang yang peduli denganmu, jangan lepaskan mereka. Hiduplah dan ciptakan kebahagiaan kepada orang di sekitarmu, kelak orang itu akan terus memberikan kebahagiannya kepada orang lain dan akan terus menyebar sehingga dunia akan penuh dengan kebahagiaan."

Air mata keluar menetes ke pipinya. Dengan cepat Jason menutup kedua matanya, meratapi betapa bodohnya dia.

"Ini adalah pesan terakhir dari ibumu, ciptakanlah kebahagian dan jadilah seseorang di dalamnya. Ibu yakin kamu bisa karena kamu merupakan kebanggaan ibu. Jason ibu sangat bangga kepadamu."

"Kau..benar, aku benar benar bodoh." Jason berusaha untuk tersenyum karena kebodohannya.

Melihat itu, perempuan itu juga memancarkan senyumnya, dia sedikit membusungkan dadanya. 'Akhirnya...' Pikir perempuan itu penuh dengan perasaan bangga pada dirinya sendiri. Dia mengangkat tangan kanannya, ia ulurkan kepada Jason yang masih mengelap air matanya.

"Namaku Alyena. Mulai saat ini, ayo kita berteman."

Jason membuka matanya, dia sekali lagi melihat uluran tangan itu. Sedikit gugup dia meraih tangannya yang kecil.

"Jason." Ucapnya pelan. Meperkenalkan namanya kepada Alyena, seseorang yang ia anggap teman sejak terakhir kalinya.

***

Waktu terus berjalan maupun dengan kehidupan. Saat hari itu mereka akhirnya berteman, meskipun setelah kembali dari atap gedung sekolah mereka dimarahi oleh guru karena membolos pelajaran.

Meskipun masih ragu ragu, dia telah memberanikan dirinya untuk membuka matanya dan menegakan pandangannya.

"Kau adalah orang yang paling bodoh yang pernah aku temui. Bukalah matamu, tegakan pandanganmu, lihatlah dunia! Kau pikir ada berapa banyak orang yang berpikiran sama seperti dirimu? Aku yakin tidak ada seorangpun."

Alyena berkata benar. Dunia benar benar tidak seburuk yang ia pikirkan, dia hanya tidak berani melihatnya saja. Dunia benar benar indah, itulah yang dipikirkan Jason sekarang, dunia penuh dengan senyuman dan kebahagian. Dunia benar benar indah, diawali dengan pemandangan pagi yang sejuk nan indah dan mengakhiri hari dengan hangatnya sinar indah orange di langit barat.

'Kenapa aku tidak menyadarinya selama ini?' Tanya dalam hati Jason.

Jason akhirnya menyadari, jika saja Elyena tidak bertemu dengannya, Jason pasti sudah mati karena melompat dari atap sekolah. Jason menoleh kearahnya, Elyena sedang menggenggam sebuah tembakan mainan, menembakan kepada mesin dingdong di depannya.

Sudah lewat beberapa bulan semenjak saat itu, dan semenjak itu, tidak ada yang merundunginya kembali. Awalnya Jason menganggap perundungan ini hal yang biasa, dia tidak terlalu memikirkannya. Tapi akhir akhir ini dia menyadarinya bahwa perlakuan mereka benar benar menyebalkan sehingga beberapa kali Jason berkelahi dengan mereka.

Dengan tubuh besarnya tidak lama Jason dapat mengalahkan mereka dan semenjak itu tidak ada yang merundunginya kembali. Jason sedikit khawati dengan kelainan tubuhnya yang tidak bisa merasakan sakit, sehingga dia memeriksakannya kepada dokter. Hasilnya adalah tubuhnya hanya mengalami luka lebam saja, pertolongan pertama cukup untuk memulihkan kondisi tubuhnya.

"Ahh....hampir saja.." Keluh Alyena terhadap kekalahannya. Hitung mundur sedang berjalan dan sebentar lagi akan mencapai angka 0 jika dia tidak segera menggesekan kartunya maka game over akan tertera di layar mesin dingdong ini.

"Kau ingin melanjutkannya?" Tanya perempuan itu menyodorkan tembakan mainannya. Jason menggelengkan kepala karena saldo miliknya sudah tidak cukup. Keadaan keuangan miliknya menjadi penghalang baginya untuk melanjutkan permainan.

"Uangmu sudah habis? yah begitupun dengan ku." Ucap Elyena. Dia meraih botol minuman bobanya lalu menyeruputnya hingga habis. Terdapat tempat sampah tidak jauh dari mereka, Alyena melempar botolnya dan tepat sasaran, botol itu masuk ke dalam sana.

"Ayo..pulang." Saut perempuan itu berjalan di ikuti oleh Jason dari belakang.

Semenjak saat itu entah mereka semakin dekat, Elyena sering mengajaknya pergi untuk bermain dimana saja. Berbeda dengan Jason yang lebih sedikit pertemanannya, Elyena memiliki banyak teman, beberapa kali Jason melihat Elyena pergi bersama teman perempuannya, tidak ingin mengganggu mereka, Jason diam diam mencari jalan lain agar tidak berpapasan dengan mereka.

Dan ketika hari yang senggang tanpa ada rencana, Elyena pasti selalu mengajaknya bermain kemana saja, salah satunya adalah game center yang berada di hulu kota. Beberapa kali mereka telah bermain disini, hanya saja uang yang dimiliki jason tidak banyak, dia hanya dapat bermain beberapa kali saja.

Sejujurnya Elyena merasa bertanggung jawab atas Jason, dia benar benar tidak menyangka bahwa ada seseorang yang akan bunuh diri di hadapannya. Merasa telah berhasil meyakinkannya untuk tidak bunuh diri, Elyena malah merasa dirinya bertanggung jawab untuk memberitahunya bahwa banyak hal yang dapat menyenangkan hati dan pikiran.

Karena itu dia cukup sering mengajaknya pergi berkeliling kota. Jason cukup banyak belajar hal hal lain dalam kehidupan, pandangannya yang sempit akhirnya meluas. Sebelumnya dia tidak terlalu banyak bicara tapi akhir akhir ini dia mulai mencoba untuk sedikit mengungkapkan pikirannya dengan kata kata.

'Apa yang sebenarnya selalu aku pikirkan selama 16 tahun ini?' Pikirnya dalam hati. Sudah cukup banyak hal yang ia pelajari dari Elyena, Jason menatap Elyena di depannya.

Dulu Jason tidak mengharapkan seseorang untuk mengulurkan tangannya, namun uluran tangannya tersebut telah membuka hatinya. Jason merasa dirinya harus berterimakasih kepadanya, hanya saja jika dia mengatakannya sekarang, keadaan akan menjadi canggung.

Seharusnya Jason berterimakasih sejak dulu, entah kenapa dia masih belum melakukannya sampai sekarang. Tapi Jason telah berjanji untuk tidak pernah menyalahkan dirinya lagi, satu hal yang pasti jason akan mengatakannya jika keadaan sedang mendukungnya.

Namun keadaan yang menudukung tersebut selalu tidak muncul, hari demi hari, bulan demi bulan dan tahun demi tahun. Jason selalu mencari keadaan terebut namun tidak muncul. Hingga saat kelulusan SMA mereka, Jason terpaksa untuk melanjutkan pendidikan kuliah sama dengan yang dimasuki oleh Elyena.

Keadaan keuangannya memang tidak mencukupi, namun pemerintah memberikan tunjangan dana bagi mereka yang tidak mampu, selama memilik pengetahuan yang baik, maka pemerintah akan dengan senang hati akan menunjang mereka. Jason bukanlah tipe murid yang pintar ataupun rajin, namun hanya demi hal itu, Jason melakukan yang terbaik.

Tidak di sangka Jason berhasil melakukannya, akhirnya ia dapat bersama kembali dengan Elyena. Jason sekali lagi mencari keadaan yang menguntungkan tersebut, diiringi dengan hal tersebut Jason selalu menemukan hal baru. Dunia selalu memberikan hal hal yang berbeda setiap saat, Jason benar benar terpukau akan hal itu.

Namun selama waktu tersebut, Jason masih belum menemukannya. Hingga akhirnya masa perkuliahannya telah selesai.

Dibaluti oleh pakaian hitam wisudah. Mereka berdua menatap langit di atas sana, membayangkan masa depan cerah yang telah menantinya. Acara wisudah telah selesai, semuanya berjalan keluar dari gedung, namun Jason dan Elyena hanya berdiri menatap langit disana, berdiri di salah satu anak tangga yang berada di luar gedung.

"Akhirnya...semuanya telah selesai yah..." Ucap Elyena melapangkan dada. Diam diam matanya berair.

"Yah..." Jason hanya menatap kesana.

Setelah itu tidak ada percakapan kembali terjadi, suasana yang ramai dengan penuh senyuman dan kebanggaan, banyak dari mereka yang berfoto baik dengan keluarga maupun dengan pacarnya. Senyuman bertebaran dimana mana.

'Inilah yang dimaksud oleh ibu bukan? tentang kebahagiaan.' Jason mengalihkan pandangannya dari langit, menatap ke segala arah dengan bibir yang mengelanga.

Lalu menekan bibirnya dan menyiapkan hatinya. "Begini..Elyena..." Jason sedikit tersendat.

"Hmm?" Dia hanya bergumam masih menatap ke arah langit.

"Apakah kau ingat perkataanmu dulu?"

"Hmm? yang mana?"

"Saat di atap sekolah dulu...ketika itu kau mengatakan hal itu....bukalah matamu, tegakan pandanganmu lihatlah dunia...Kau ingat?"

"Ahh sepertinya aku ingat sedikit, ternyata kau punya ingatan yang bagus ya...Jason." Senyuman terbentuk di bibirnya, dia menoleh kearah Jason di sebelahnya, melihat Jason yang tersenyum kecut karena perkataannya.

"Kau benar, aku menyadarinya sekarang..." Laki laki itu membuka matanya. "Dunia benar benar luas dari yang aku pikirkan, kau memang benar. Semenjak saat itu, aku sudah belajar banyak hal, sangat sangat banyak namun aku menyadari sesuatu..."

Elyena masih menatap Jason. "Apa itu?" Lalu dia bertanya demikian dan memiringkan kepalanya.

"Dunia yang telah aku pelajari masihlah kecil...haha...masih sangat kecil, aku ingin belajar banyak hal tentang dunia, aku ingin melihat bagian lain dari dunia ini...karena itu aku telah memutuskan." Jason memantapkan hatinya.

"Elyena..." Jason berdiri tegap, menghadapkan tubuhnya ke Elyena.

"Ya?" Tanyanya mencondongkan kepalanya ke atas karena Jason yang terlalu tinggi.

"Aku akan pergi mengelilingi dunia." Akhirnya dia mengatakan keinginannya. "Aku ingin lebih melihat dunia, pergi jauh meninggalkan rumah pergi berkeliling dunia melihat bagian yang belum pernah aku lihat dan belajar darinya. Mungkin buku adalah jendela dunia namun...aku ingin melihatnya langsung dengan mata kepala ku sendiri. Aku yakin dengan itu aku akan terpuaskan"

Elyena yang mendengarnya hanya terdiam membuka mulutnya, lalu dia tersenyum kepada Jason. "Itu sangat hebat sekali Jason! Aku mendukungmu." Ucapnya penuh dukungan.

"Karena itu..." Jason langsung melanjutkan. "Aku akan pergi jauh, jadi..kita tidak bisa bertemu lagi karena itu..."

"Apa yang kau pikirkan?" Elyena memotong perkataannya lalu dia menghela nafas. "Haah...Padahal aku pikir kau sudah berubah tapi ternyata masih ada yang belum yah."

"..."

"Dengar yah..kau mungkin akan pergi jauh dan kita tidak bisa bertemu, tapi sesekali kembalilah ke sini meskipun itu akan memakan puluhan tahun, lalu ceritakan petualanganmu yang akan melegenda...Jason...tidak..Marco polo baru.."

"Kau yakin? menceritakannya akan butuh waktu yang sangat lama."

'Tidak apa apa bukan? Itu sudah sesuai dengan seberapa lama kita akan tidak berjumpa...Aku pasti akan menunggumu, itu pasti."

Air mata Jason menetes, dia terharu akan kata katanya. Dia mengangkat tangannya, menutupi kedua matanya yang berair. Tangisannya tiba tiba pecah begitu saja setelah itu.

"Ya ampun padahal kau sudah 23 tahun...tapi kau kenapa masih menangis seperti anak kecil sih.."

"Umurku 22 tahun." Jason menyangkal masih menutup kedua matanya.

Elyena hanya tertawa masam.

"terimakasih....untuk selama ini...untuk semuanya terimakasih." Jason akhirnya mengucapkannya.

"Tidak apa apa..." Ucapnya membalas perkataan Jason.

"Jika saja....jika saja kau tidak ada di sana...Jika saja aku tidak pernah bertemu denganmu..aku tidak akan bisa berada disini...untuk semuanya aku benar benar terimakasih."

"Ohh ayolah...jika kau ingin berterimakasih bukannya kau harus menatap wajahnya?" Elyena mengangkat tangannya, menaruh kedua tangannya di pinggang.

Jason mengelap air matanya, menghisap ingusnya yang keluar lalu menggosokan hidungnya dengan lengannya. Memandang perempuan yang di hadapannya, sang penyelamat hidupnya. Jason sudah memastikannya.

"Tersenyumlah...lalu katakan semuanya."

Jason sedikit mengatur nafasnya. Dia berusaha mengangkat pipinya, membentuk senyuman pada bibirnya. Matanya sembab dan disekitar hidungnya memerah karena menangis tadi.

Jason menenangkan dirinya, tersenyum lalu menarik nafas. "Terimakasih..Elyena, telah menyelamatkan nyawaku."

"Ahh...kau terlalu berlebihan." Elyena sedikit tersipu karena perkataannya. Dia melambai lambaikan tangannya.

'Ceklik..shhhhttt.' Tiba tiba terdengar suara tangkapan kamera di samping mereka.

"Hey kalian berdua...ayo berfoto, kalian tidak ingin mengabadikan momen sekali seumur hidup ini?" Itu adalah ayah Elyena, Ayahnya mengenakan kemeja putih strip hitam dengan celana hitam panjang terikat oleh sabuk. dan perempuan yang ada di belakangnya itu adalah istrinya sekaligus ibu Elyena, dia mengenakan seragam resmi berwarna biru muda. Mereka berdua tersenyum bangga akan putrinya.

"Jason ayo." Bisik Elyena. Segera setelah itu mereka berdua memutar badannya menghadap ke arah kamera. Ayah Elyena mengangkat kamera DSLRnya dengan kedua tangan lalu menempelkan matanya pada lensa sedikit mencondonkan kepalanya ke depan seakan akan dia adalah fotografer profesional. Namun sebenarnya tidak, yang sebenarnya kamera itu baru saja dia beli kemarin sebelum acara wisudah ini digelar, beliau benar benar senang atas kelulusan putri satu satunya.

"Baiklah kalian berdua siap...satu...dua..tig ahh tunggu sebentar..." Dia mengangkat kepalanya sedikit, mengintip dari atas kamera. "Jason.." Ucapnya tajam, matanya tajam melihat kearah laki laki itu. Jason menanggapinya dengan gerak tubuhnya, dia menegakan tubuhnya dengan kaku, wajahnya seperti orang yang ketakutan. 'Y..yaa?" Ucapnya gagap.

Ayah Elyena menatapnya dalam dalam, menciptakan jeda waktu yang lumayan lama. "Tersenyumlah." Beliau menampikan tersenyumnya, mengajarkan Jason yang berdiri kaku disana. "Ini merupakan hari yang penting, semua orang termaksud dirimu harus terlihat bahagia tentunya."

Jason tergugah sekaligus terkejut dengan perkataannya. Lalu dengan sedikit kaku dia sekali lagi mengangkat kedua pipinya dan berusaha menampilkan senyum. Ayah Elyena melihat senyumannya, itu sepertinya membuat beliau tersenyum sedikit kecut oleh tampangnya. Jason merasa bentuk senyumannya sangat aneh ketika melihat reaksi ayah Elyena, namun dia tetap mempertahankannya.

"Baiklah siap yah....satu...dua...."

"Ceklik..shhhhttt."

***

Tanggal 21 bulan juli tahun 2110 pertengahan musim panas, itu adalah tanggal dimana Jason memutuskan untuk pergi berlayar menuju Elikya dan saat ini adalah dini hari di keesokan harinya.

Jason bersembunyi di balik tempat sampah yang bau di sela antar dua bangunan ini, duduk bersender menekan dadanya, memeriksa detak jantungnya yang berlaju cepat. Jason mengetahui gejala ini, ini adalah apa yang terjadi jika kau terus memaksakan larimu.

Jason benar benar tidak menyangka akan terjadi secepat ini, dia membuka seleting pada jaket parkanya, menyediakan ruangan untuk dadanya bernafas. Penglihatannya yang redup mulai terasa buram, itu terjadi karena dia kekurangan oksigen pada tubuhnya.

Sirine mobil terdengar mulai keras, Jason menutup mulutnya, berusaha meredam suara nafasnya yang tak teratur. Beberapa mobil polisi dengan cepat melewatinya, angin terasa berhembus ketika melewti gang kecil ini, warna merah dan biru pada sirine tersebut terpancar melewati gang dimana Jason bersembunyi. Degupan pada jantungnya benar benar terpacu, Jason tidak menginginkan ini, tapi inilah resikonya.

Jason mulai putus asa karena usahanya, bertemu dengan penyelamatnya rasanya seperti melewati jembatan rapuh dengan jurang curam dibawahnya. Dia tidak mungkin bisa melewati ini.

Jason menggelengkan kepalanya, menolak pemikirannya yang masuk.

'Apa yang kau pikirkan sebenarnya Jason, kau ini benar benar bodoh ya.' Ucapnya menyalahkan dirinya sendiri. 'Kau sudah lupa untuk tidak menyesal lagi bukan? kalau begitu, jangan pernah menyesali ini. Pasti kau akan bertemu dengan Elyena lagi, itu pasti.'

"....aku akan selalu menunggumu."

Itu adalah perkataan manis yang pernah ia dengar sebelumnya, Jason akan pastikan dia akan bertemu dengannya.

Jason masih bersembunyi disana, menundukan tubuhnya, sedikit berjongkok. Sudah lumayan lama setelah awal dia mulai bersembunyi, Jason memberanikan diri untuk mengintip sedikit. Keringat membasahi semua tubuhnya, bulir bulir keringat muncul dari dahinya dan menetes ke pipi, nafasnya yang panas masih terengap engap.

Tidak ada siapa siapa disana selain malam yang gelap.

Sebelumnya, sesaat kapal yang ditaikinya telah sampai di dermaga, menurunkan narkoba seeludupannya, tiba tiba polisi sudah datang mencegat mereka. Dengan persenjataannya para polisi itu berhasil melumpukan rekan jason lainnya, Jason tidak menyangka keajaiban datang kepadanya, dia berhasil kabur dari tangkapan dan berakhir di balik tempat sampah yang benar benar bau.

Jason menutup hidungnya.

Jason mencoba berdiri, menjauh dari tempat sampah itu, sudah tidak ada polisi lagi yang mengejarnya. Dia membuka jaketnya dan merabanya, mencari ke setiap sisi, apakah ada bercak darah disana, namun tidak ketemu, lalu dia mencari di celananya dan demikian dia tidak menemukannya juga. Semua peluru yang ditembakan kepadanya, semuanya meleset. Jika saja dia menemukan darah, maka dia akan meminta seseorang untuk memberikan perban dan obat lainnya untuk mengobati dirinya.

Kelainan pada syaraf membuat dia tidak dapat merasakan sakit, jika tanpa sadar ada peluru yang terperangkap dalam tubuhnya, Jason tidak tahu harus berbuat apa.

Ini benar benar sebuah keajaiban.

"Berapa banyak keajaiban yang sudah terjadi padaku sebenarnya?" Bisiknya.

Jason kembali mengenakan jaketnya dan menarik seleting pada jaketnya. Menoleh kedepan dan mulai berjalan tanpa arah, mencari penyelamatnya tanpa petunjuk sedikitpun. Mencari di pulau yang berbentuk bundar yang dibagi menjadi tiga bagian ini.

Namun baru saja ingin melangkah, Jason melihat seseorang berdiri disana, lampu pada persimpangan jalan menciptakan bayangan disana, Jason tidak bisa melihat wajahnya atau pakaian yang dipakainya sedikitpun, hanya terlihat seperti siulet hitam.

"Akhirnya...aku menemukan seseorang." Orang itu membuka matanya, matanya bundar besar dan bercahaya putih, dia menyeringai dan pancaran putih keluar dari seringainya. Jason tidak mengetahui itu suara perempuan atau laki laki.

Sesuatu yang ia sadari adalah, itu bukanlah bayangan, itu adalah tubuh sese...tidak itu bukan...itu...api?...tidak...dia tidak yakin dengan apa yang benar benar yang ia lihat. Dia hanya menatap lebar dan sirangaian bibirnya benar benar lebar. Jason tidak yakin, tapi sepertinya api menyambar pada kepalanya...tidak itu bukan api...itu rambut? tidak...bukan...

Jason tidak tahu mahkluk apa itu, bentuknya selalu berubah, bayangan? Manusia? api? atau hewan berbulu hitam? Jason tidak tahu apa itu! Tubuhnya tiba tiba merinding, nafasnya menjadi berat seketika, keringat keluar semakin membasahi kepalanya, tanpa sadar dia melangkah mundur darinya seakan akan berusaha kabur dari sini.

"Otoritas...." Bayangan itu berbisik. Jason berhenti tiba tiba, mendengar apa yang baru saja dikatakannya.

"Un...b..t" Tiba tiba mahkluk itu membludak membesar, melebar dan menjadi sangat tinggi. berubah drastis menjadi lebih dari lima kali yang sebelumnya. "uhgg.." Angin berhembus kuat tiba tiba, beberapa barang yang ringan terbang begitu saja terspu oleh hentakan angin tersebut. Jason menundukan kepalanya dan menutup matanya dengan tangannya, agar matanya tidak terlilip sesuatu. Mahkluk itu bertambah tinggi, tingginya bahkah sampai ke atap bangunan. tidak ada sela sela dipingiran gang ini, mahkluk itu membesar mendekat ke Jason dengan cepat layaknya ombak tsunami di pantai.

Jason berbalik langsung berlari ketakutan, namun sayangnya dibelakangnya adalah jalan buntu. Dia berbalik lagi. Dengan sekejap mahkluk itu meruncing lalu...

"AAAHHHRHRGGKKKKK..." Mahkluk itu dengan sekejap masuk kedalam tubuh Jason, menciptakan rasa yang teramat panas. Matanya memutih karenanya. Tubuhnya terangkat kelangit, tangan dan kakinya meronta ronta menedang dan memukul angin. Rasanya benar benar perih ketika nahkluk yang sebesar itu mengecil lalu masuk kedalam tubuhnya dengan cepat.

"AAHHHRGKKkkk...." Mahkluk itu keseluruhan sudah memasuki tubuhnya dan terjatuh ke tanah, tengkurap disana.

".....Khiihihiihihiii" Kemudian Jason tertawa terkikik tanpa alasan.

"Ahahahakikikii begitu yah...begitukan? KHAAHAHAHAAAHAHAA." Dia memegang perutnya menahan tawanya yang terlalu kuat, bergulang guling di atas tanah. "Akan aku bantu kau bertemu dengannya..." Dia tertawa begitu saja, air liur menetes ke tanah. "lalu akan bunuh orang yang kau sebut penyelamat itu....Akan kubuat semua orang menderita...KHAAAHAHAAAAHAAHAHAHAAAhahahahaaaa"

Dia berdiri, tawanya mulai melemah lalu kemudian dia melangkah. Terdapat tubuh seseorang di depan sana. Tertelungkup penuh dengan luka yang sudah membusuk.

"Namanya Elyena bukan...khihiiihi...akan kubunuh dia, akan ku buat kau menderita....ini sangat menarik." Jason melangkah mendekat tubuh itu, menginjaknya seakan tidak ada apa apa disana dan melewatinya begitu saja.

"Kira kira dimana yah...jalang yang bernama Elyena itu....Khihihihiiiii....ahh benar juga....pertama tama, aku harus membeli pisau terlebih dahulu bukan? khihihihi......"