"Lhoo...Tenza?" Suara perempuan terdengar dari depan pintu pos, Tenza yang mendengar itu mengenal sang pemilik suara, dia menoleh ke arah pintu keluar pos, terdapat Reina berdiri di sana, sinar penerang jalan memperjelas kehadirannya di sana.
Dia mengenakan jaket Varsity berwarna hitam dengan lengan berwarna merah yang bercorak strip hitam panjang, mengenakan celana panjang berwarna hitam dan sepatu sneakers putih, terdapat huruf 'R' dengan warna merah dan garis putih pada bagian dadanya sebelah kiri. Dia berdiri disana, tidak sengaja menoleh kedalam pos kecil itu dan melihat Tenza ada di dalam.
"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Tenza keheranan.
"Seharusnya aku yang bertanya demikian." Namun Reina membalikan pertanyaan Tenza.
"Aku?" Ucap Tenza singkat, kepalanya agak terangkat ke langit, memikirkan alasannya berada disini, Tenza kembali mengarah ke Reina. "Agak sulit untuk dijelaskan, intinya adalah aku sedang menemani Paman ini. Lalu apa yang kau lakukan malam malam?" Katanya sambil menunjuk paman yang berada disampingnya dengan jempolnya.
"Hanya pergi menuju kafe buku." Kata Reina memasukan kedua tangannya ke dalam jaket.
"Malam malam begini?" Tenza bertanya.
"Kau punya masalah?" Reina memicitkan matanya.
"Tidak tidak, bukan itu." Dia menggelengkan kepalanya. "Kenapa harus jam 10 malam?" Tenza memperjelas pertanyaannya.
"Karena sekarang sudah cukup sepi, aku tidak suka keramaian saat sedang membaca buku." Reina memberi alasan. "Kau mau ikut?" Kemudian melanjutkan perkataannya dengan mengajak Tenza.
"Ahh tidak aku..." Belum selesai Tenza menyelesaikan kata katanya, sesuatu menepuk punggungnya. Dia menoleh ke belakang, paman Ando ada di sana, Paman hitam kriting itu menepuk punggungnya.
"Pergi saja, kau tidak mungkin membiarkan perempuan berjalan sendirian malam malam di luar bukan?" Katanya membuat Tenza tidak bisa berkata kata.
"Kau ikut tidak?" Reina bertanya, dia sudah berjalan menuju tempat itu meninggalkan pos dimana Tenza merada di dalamnya. Tenza tidak memiliki alasan untuk menolak. "Mau bagaimana lagi, aku ikut." Kemudian dia mendorong kursinya kebelakang lalu beranjak dari sana, sedikit berlari menghampiri Reina.
***
Pintu kaca yang diberi sensor segera terbuka ketika Tenza dan Reina berjalan mendekatinya. Tenza tidak pernah memasuki kafe sebelumnya, sepertinya di tempat tinggalnya dulu tidak ada kafe buku seperti yang sedang ia masuki ini.
Kafe buku ini tidak terlalu jauh dari gerbang keluar perumahannya, hanya memakan waktu sekitar sepuluh menit kurang untuk sampai ke tempat ini. Tenza meninggikan kepalanya, melihat ke kanan dan ke kiri celingak celinguk.
Dia tidak pernah berkunjung ke tempat seperti ini. Tempat ini hampir segalanya berwarna putih, baik tembok, lantai ataupun langit langit, semuanya berwarna putih, terdapat lampu neon yang berjajar menempel di atas sana bersinar menerangi ruangan ini dan beberapa tanaman hias palsu di sekitar sudut ruangan dan kursi tunggu. Di depannya terdapat laki laki yang berperan sebagai kasir yang selalu siap melayani pelanggan yang baru datang.
"Selamat malam." Ucap ramah sang kasir menundukan kepalanya. Reina melangkah mendekat menuju pria itu, Tenza hanya mengikutinya dari belakang.
Dari depan Tenza, Reina berbalik memutar tubuh ke arah Tenza, mengulurkan tangan kanan kearahnya dengan telapak tangan di atas, tangannya bergerak ke atas ke bawah. Tenza yang berdiri di sana tidak mengerti dengan uluran tangannya dan gerak geriknya.
"Uang....Kita butuh uang untuk masuk ke tempat ini bukan, jadi sudah sepatutnya untuk membayarnya setengah setengah." Kata Reina masih mengulurkan tangannya.
"Ahh..."
Tangan Tenza meraih kantung yang ada di celananya, dia lupa membawa selembar uangpun kemari. Hanya smartphonenya yang berada di sakunya. "Ahh aku tidak bawa uang." Ucapnya menarik kantung celananya yang kosong dan smartphonenya di saku lainnya.
Reina seketika menatap dengan sinis yang samar. "Yah lagi pula aku mengajakmu secara tiba tiba sih." Dia berbalik kembali lalu mengambil beberapa lembar uang dari saku jaketnya. "Pastikan kau membayar setengahnya besok." Kata Reina sedang memberi beberapa lembar dolar tersebut kepada kasir. "Baiklah." Singkat Tenza membalas tanpa bisa berkata hal lain.
Setelah itu Reina berjalan ke arah kanan, disana terdapat pintu dan Reina meraih gagangnya, memutar knopnya lalu mendorongnya kedalam sehingga terbuka. Reinalah yang masuk pertama ke dalam ruangan di balik pintu itu, kemudian tenza menyusul di belakangnya.
Ruangan yang tidak terlalu besar, mungkin jika dibandingkan dengan kelasnya, ruangan ini sekitar kurang dari dua kalinya. Temanya masih sama dengan kasir tadi, ruangan putih dengan lantai dan langit langit putih. Untuk rak yang menampung buku mereka membiarkan warna kayu tanpa di cat sedikitpun. Di lain sudut ruangan ini terdapat kasir lain yang menjual beraneka minuman. 'Ahh mungkin itu sebabnya dikatakan kafe buku.' pikir Tenza.
Terdapat buku dimana mana, jumlahnya cukup banyak. Tenza tidak bisa memastikan berapa jumlahnya, dia hanya bisa menggambarkan jumlahnya hanya dengan kata 'banyak.' di setiap sisi ruangan ini selalu terdapat buku berjejer rapih di atas rak.
"Apakah kita bisa membaca semua buku di sini?" Tenza menoleh ke arah Reina.
"Tentu saja." Jawabnya singkat.
Reina segera bergegas pergi ke salah satu rak, mengambil buku disana tanpa memilih milih terdahulu, karena sebelumnya dia telah membacanya setengah dan dia berencana akan menyelesaikannya malam ini. Sedangkan Tenza yang hampir tidak pernah membaca buku yang seperti ini, dia tidak tahu harus memulai dari mana.
Reina meninggalkan Tenza disana lalu melangkah menuju kursi kosong terdekat. Tenza masih kebingungan dalam memilih buku, sehingga dia dengan terpaksa mengambil buku yang sepertinya kurang tebal dengan yang lainnya.
Tenza segera melangkah mendekati Reina, kemudian duduk menghadap kearahnya. Suasana yang tenang di antara mereka berdua, Tenza menaruh bukunya di atas meja putih ini, dia belum membuka bukunya sedangkan Reina sedang mencari halaman terakhir yang ia baca sebelumnya.
"A..Ada banyak sekali yah buku disini." Tenza mencoba untuk membuka topik dengan berbasa basi. Tenza tidak yakin dengan ini, dia baru saja mencoba untuk berbicara kepada seseorang yang sedang mencoba untuk membaca buku. Dia pikir dia sedang mengganggu.
"Tentu saja, itu karena ini adalah kafe buku." Jawab Reina tanpa merubah pandangan matanya ke arah buku.
Sepertinya Tenza berhasil untuk membuka pembicaraan singkat. Kemudian setelah itu keadaan kembali hening. Tenza gagal meneruskan.
"Buku apa yang kau suka?" Tenza sekali lagi mencoba.
"Aku tidak tahu, semuanya terlihat sangat menakjubkan untukku." Jawab Reina yang masih belum menemukan halaman yang ia baca terakhir kali.
"Ngomong ngomong..." Mulut Tenza tertahan tiba tiba, Reina menatap kepadanya tanpa menggerakan kepalanya sedikitpun, karena itu Tenza menarik kembali kata katanya.
"Ada apa? Lanjutkan saja." Kata Reina, matanya kembali berputar ke arah buku.
"Maaf..." Tenza terdiam sejenak. "Ngomong ngomong, kenapa kau pergi ke tempat ini malam malam?" Tenza bertanya.
Beberapa saat setelah itu Reina tampak menghela nafas menutup matanya, kepalanya sedikit menurun karena hal itu. Lalu dia menarik nafas, tubuhnya tampak mengembang. Matanya kembali terbuka "Bukankah sudah kubilang sebelumnya? Aku menyukai tempat yang sepi ketika membaca, dan kafe buku pada malam hari adalah saat yang tepat."
"Apa ada alasan lain?" Tenza bertanya.
"Apa maksudmu?" Kemudian Reina menjawab dengan pertanyaan pula dia melirik Tenza dengan tatapan yang tajam, namun tatapan Tenza tidak kalah tajam.
"Bukankah ini aneh?" Tenza mengangkat kedua tangannya sejajar dengan pundaknya. "Maksudku, seorang perempuan pergi keluar sendirian saat malam hari tanpa ditemani oleh siapapun. Maksudku, apakah kau selalu melakukan hal ini di negaramu dulu?" Tenza sedikit menekankan perkataannya, menurunkan kedua tangannya dan meninggikan suaranya lalu menekankan alisnya kepada Reina.
"Aku melakukan hal ini setiap hari bahkan sebelum tinggal di Elikya. Hanya saja, biasanya aku pergi bersama ayahku, tapi saat ini ayahku masih berkerja di Prancis sana. Jika kontrak kerjanya telah selesai, maka dia akan terbang ke sini." Reina mencoba untuk menjelaskan secara singkat yang ia bisa.
Tenza menghela nafas. "Artinya selama seminggu ini kau pergi sendirian ke kafe buku, malam malam tanpa ada yang menemanimu?" Dia memegang kepalanya, sedikit memijit kepalanya yang terasa agak pusing karena efek 'jet lag' dan kurang tidur.
"Yah begitulah." Mata Reina kembali menghadap ke bukunya, sepertinya dia sudah menemukan halaman yang ia cari.
"Jika seperti itu, aku akan pergi bersamamu ke sini hingga ayahmu sampai ke Elikya." Tenza masih memijit mijit kepalanya.
Reina tampak menahan senyumnya. "Yah selama kau ingin membayar setengah biaya masuk, aku pikir ini akan menjadi keuntunganku." Katanya dengan senyum yang ia tahan.
"Yah aku pikir....TUNGGU DULU...Jangan bilang kau mengajakku hanya agar bisa membayar setengah harga?" Tenza memprotes membelalakan matanya, dia berdiri lalu membanting telapak tangannya ke atas meja dengan keras.
Reina menahan tawanya, menyimpulkan jarinya lalu menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya. Memberitahu Tenza untuk tidak berisik dalam perpustakaan sambil menahan tawa yang hampir pecah.
Tenza menoleh kesegala arah, dari arah kasir tampak dia sedang memberi tahu Tenza untuk tidak berisik dari sana. Tenza dengan malu menurunkan tubuhnya lalu menempelkan wajahnya diatas meja. Dari depannya Reina menekan mulutnya dengan kedua tangannya, menahan tawanya yang sudah pecah.
***
Sudah hampir satu jam Tenza duduk berdua bersama Reina di dalam cafe buku ini. Mereka berdua tidak memesan apapun selama hampir satu jam ini. Pada akhirnya Tenza tidak membaca buku yang sebelumnya ia ambil dari rak buku.
Tenza hanya memutar mutar pandangannya kepada ruangan ini, terlihat CCTV yang berada di seluruh sudut ruangan. Penjagaan yang ketat, sepertinya pihak kafe buku benar benar tidak ingin ada pencuri yang diam diam mencuri buku mereka. Karena buku, merupakan benda yang agak langkah akhir akhir ini.
Tenza berdiri dari tempat duduknya, kembali menaruh buku yang ia ambil sebelumnya ke tempat dia menemukannya. Ada banyak sekali buku di sini. Beberapa tampak masih baru dan sudah ada yang lusuh. Tenza menyentuh lembut buku yang lusuh tersebut.
"Itu adalah bukti bahwa buku sudah berkerja keras memberikan ilmunya." Dari belakang Tenza, Reina tiba tiba berkata. Tenza segera menarik tangannya lalu menoleh kearahnya.
"Sudah selesai membaca?" Tanya Tenza.
"Sudah, ini sudah jam 11 malam, aku tidak ingin membuat ibuku khawatir karena terlambat pulang." Reina meletakan buku yang ia baca ke dalam rak, bukunya diletakan tidak jauh dari buku yang Tenza ambil sebelumnya.
"Lagi pula, besok kita harus sekolah. Kau seharusnya tidur yang cukup agar tidak terlambat masuk sekolah." Ucap Reina.
"Itu seharusnya menjadi perkataanku." Tenza membalas. Reina hanya tersenyum dengan jawaban Tenza.
Mereka segera beranjak dari sana, berjalan kearah pintu yang ia lewati sebelumnya lalu bertemu kembali dengan sang kasir. "Terimakasih atas kunjungannya." Kata sang kasir ramah ketika mereka sedang berjalan keluar melewati pintu kaca. Tenza dan Reina berbalik sedikit mengarah ke sang kasir dan maenganggukan kepalanya lalu kembali berjalan keluar Kafe buku.
"Haahhh..." Reina menghela nafas, itulah yang ia lakukan ketika keluar dari tempat sana. "Ada apa?" Tenza yang mendengar helahan nafasnya bertanya.
"Tidak ada..." Reina menjawab dengan singkat, "Aku hanya berpikir tentang buku yang sedang aku tulis saat ini." Mendengar itu Tenza hanya diam.
"Sebenarnya, aku sudah mulai menulis buku sekitar sebulan yang lalu. Aku pikir, bagaimana cara aku menulis sebuah kalimat terlalu jelek sehingga aku memutuskan untuk mulai membaca novel sebagai refrensi menulis." Reina melanjutkan perkataannya.
Tenza hanya berjalan disampingnya tanpa tahu harus berkata apa. "Sejak saat itu aku mulai pergi ke kafe buku, awalnya aku pergi disaat hari masih terang. Namun karena cukup banyak orang yang datang saat itu, aku memutuskan untuk pergi ketika hari sudah gelap."
"..."
"Setelah itu, aku mulai kembali menulis, namun...." Reina tiba tiba berhenti berbicara, Tenza hanya terdiam penasaran dengan lanjutan dari kata katanya.
"Tenza...Kau ingat bukan, sebelumnya aku mengatakan ceritaku tentang kepahlawanan bukan?" Reina menoleh ke arah Tenza dan Tenza hanya mengangguk mengiyakan. "Hanya saja, saat ini aku merasa cerita yang awalnya berniat menjadi kepahlawanan, menjadi ke pecundangan." Lanjut Reina.
"Apa maksudmu?" Tanya Tenza ia tidak paham dengan perkataan Reina, sejujurnya Tenza cukup menyukai cerita yang bernuansana kepahlawanan, meskipun dia jarang menonton film ataupun buku komik. Karena itu, buku yang Tenza tunggu keselesaiannya ini malah terdengar seperti buku yang gagal menceritakan kehebatan super heronya.
Saat ini mereka berdua berjalan di malam hari, langit yang gelap dengan bulan yang tertutup awan mendung di mana mana serta angin sepoi sepoi yang berhembus dingin. Tenza menengadahkan kepalanya ke langit malam, berjalan di pertengahan kota yang sudah sepi, lampu jalan menerangi jalan mereka dan beberapa kendaraan seperti mobil terkadang terlihat sedang lewat ketika mereka menyusuri jalan menuju rumah mereka.
"Cerita yang saat ini aku tulis saat ini adalah berdasarkan apa yang sedang kepalaku pikirkan. kau tahu? ceritanya selalu berjalan di kepalaku begitu saja. Ceritanya tidak bisa berhenti bergerak dari dalam kepalaku. Karena itu, aku pikir untuk menuangkannya kedalam buku cerita atau novel."
Angin sepoi sepoi berhembus dari arah belakang mereka, Reina mengakat tangannya, menjaga rambutnya yang tak terikat agar tidak menghalangi pandangannya terhadap jalan. "Kenapa tidak membuat cerita sesuai dengan apa yang kau mau?" Tiba tiba Tenza bertanya sambil memberi saran.
"Dan mengkhianati apa yang ada dalam pikiranku? Itu tidak mungkin, dari awal aku berniat menulis berharap cerita yang sedang aku pikirkan saat ini berhenti menghantuiku."
Mendengarnya membuat Tenza berpikir menjadi penulis tidak semudah yang ia bayangkan. Namun ada satu hal yang mengganggu kepalanya saat ini, perkataan Reina mengingatkannya terhadap sesuatu.
"Apakah kalian mengisi formulir yang diberikan tanpa pikir panjang?" Tenza pernah bertanya seperti itu kepada mereka. Dan pada pengulangan ini, dia tidak melakukannya.
"Tunggu! Apa maksudmu, kau mengisi formulir yang diberi dengan asal?"
"Tentu saja tidak." Reina menekan suaranya. "Sudah cukup lama aku ingin menjadi penulis. Dan ketika aku sedang ingin memulainya, cerita tersebut muncul dan menghantui kepalaku tanpa bisa berhenti." Reina menjawab kecurigaan Tenza lalu di akhiri dengan helaan nafas.
Beberapa menit mereka berhenti berbicara. Tidak ada yang Tenza ingin bicarakan kepadanya saat ini, kepalanya hanya dipenuhi dengan teror yang semakin lama semakin mendekat. Tenza meraih smartphone hologramnya di dalam saku celana, waktu sudah menunjukan pukul 23.01. Artinya beberapa menit lagi pada pengulangan sebelumnya Tenza menemukan Reina mati tergeletak di ujung lorong rumahnya.
Jika diingat kembali, jaket yang ia kenakan saat ini sama dengan apa yang Tenza lihat dengan Reina yang mati di ujung lorong pada pengulangan sebelumnya. Jika Tenza diperintahkan untuk menebak apa yang terjadi saat itu, Tenza hanya menyimpukan bahwa pria itu mengikuti Reina ketika Reina sedang menuju perjalanan pulang menuju rumahnya.
Tenza dapat berkata demikian karena saat ini dia merasa seseorang sedang mengikutinya, entah kenapa Tenza baru menyadarinya. "Ada apa Tenza?" Reina bertanya kepada Pemuda itu yang tiba tiba berhenti berjalan.
Tenza memutar tubuhnya, melihat kesegela arah, adakah seseorang selain mereka berdua saat ini. Malam yang gelap dengan lampu jalan yang menerangi mereka di tengah tengah kota, hanya itu yang dapat Tenza temukan dengan kedua matanya. "Tidak ada...hanya perasaanku saja." Tenza kembali berjalan, matanya masih menengok ke sana dan ke sini.
Pikirannya masih terpaku kepada pria itu. Di tambah dengan perasaan sedang diikuti, Tenza tidak bisa mendiamkan matanya. "Tenza...ada apa? Kau terlihat seperti seseorang yang sedang dikejar sesuatu!" Reina sedari tadi merasa tidak nyaman dengan tingkah Tenza, matanya yang bergerak gerak seperti sedang ada sesuatu membuat Reina tidak tahan harus bertanya.
Tenza kembali mengambil smartphonenya. "Reina apakah kau mengenal pria ini?" Lalu menunjukan foto yang sebelumnya ia tangkap ketika sedang menonton streaming berita di sekolah.
"Lagi? Sudah aku bilang bukan, aku tidak..."
"Bagaimana dengan ibumu?" Tenza langsung memotong perkataannya dengan ucapan yang agak lantang. Dia memasang wajah serius, Reina yang mendengar suara dan ekspresi serius Tenza, perutnya tergelitik karenanya.
"Hahaa...kau benar benar khawatir yah, hanya karena berita." Katanya sambil menahan tawanya dengan jari jemarinya.
"Mungkin kau benar tentang hal itu." Tenza menarik smartphonenya, menaruh kembali ke dalam sakunya. "Tapi, sebelumnya kau pernah berkata 'seperti pernah melihatnya.' Jadi aku pikir apakah orang tuamu mengetahuinya atau tidak. Aku hanya sedang memastikan."
Namun mendengar keseriusan Tenza hanya membuat Reina semakin tergelitik perutnya.
"Tentu saja itu ti...."
"Ahh tentu saja, saya mengenalnya."
"Tidak mungkin!!!" Reina membelalakan matanya, Tenza melirik kearah Reina yang duduk di depannya dengan tatapan yang puas akan kemenangan. "Bisakah ibunya Reina menjelaskan siapa dia?" Tenza bertanya kepada perempuan yang ada di depannya.
"Pertama tama panggil saja saya nyonya Mirabelle, itu nama marga kami. Dan kedua tentang dirinya, namanya adalah Jason." Tenza melirik kearah Reina yang menganga, 'Ahh nama panjangnya Reina Mirabelle yah.' Kata Tenza dalam pikirannya.
Beberapa saat sebelumnya, Tenza dan Reina masih dalam perjalanan kembali menuju rumah Reina. "Reina, aku benar benar ingin memastikan hal ini, aku ingin bertemu ibumu sekarang juga!"
"Ehh...Harus malam ini? Apakah tidak besok saja?" Reina yang sudak berhenti tertawa sepertinya berusaha menghindardari permintaan Tenza, dan Tenza sendiri menyadari perlakuannya ini agak tidak sopan untuk orang lain.
Tenza melakukan hal ini tiba tiba tidak didasari dengan tanpa alasan yang jelas, namun dia tidak bisa menjelaskannya kepada Reina perihal dia yang telah mengalami pemunduran waktu dan melihat temannya yang ada dihadapannya ini mati mengenaskan dengan kedua matanya sendiri.
"Sudah selesai membaca?"
"Sudah, ini sudah jam 11 malam, aku tidak ingin membuat ibuku khawatir karena terlambat pulang."
Reina sebelumnya mengatakan itu di kafe buku, ditambah.....
"KAU TELAH MEMBUNUH PUTRIKUUU!!!! APA KAU TIDAK MENYADARI KESALAHAN MU!!!???"
Pada mimpinya seseorang telah berkata demikian. Awalnya Tenza pikir itu adalah suara Reina, tapi sudah pasti itu tidak mungkin. mimpinya berkata tidak demikian.
Tenza mendengar perkataan yang penuh dengan emosi pada rekaman kejadian. Setelah hampir mati pada pengulangannya pertama, Tenza benar benar takut dengan hal ini, mimpi buruk itu selalu meneror dalam tidurnya. Namun Tenza harus memberanikan diri, dirinya sudah bersumpah akan menyelamatkan Reina dari bahaya pada malam ini.
"Kau tahu...seharusnya aku sedang mengatakan perasaanku kepada perempuan yang aku sukai saat ini. Sayangnya kau datang dan mengganggu kami, Jadi....yah karena suasananya jadi kacau karena ulahmu....aku membunuhnya."
Pria itu mengatakan hal itu pada pengulangan pertama, dia ingin mengatakan perasaannya pada perempuan yang ia sukai. Awalnya Tenza pikir yang dimaksud adalah Reina namun, mendengar perkataan Reina sebelumnya menjelaskan segalanya.
Pria itu sedang mengincar Ibunya Reina, kemungkinan ibunya mengenalnya dan karena Elikya sangat tertutup bagi orang luar, maka dia terpaksa menyusup hingga saat ini dia telah menjadi buronan. Hal ini cukup menguntungkan Tenza karena dia akhirnya punya alasan untuk menelpon polisi.
Namun tidak semudah itu, dia harus benar benar melihatnya dengan kepala dan matanya sendiri. Jika tidak, maka itu akan menjadi laporan palsu. Awalnya Tenza berpikir harus menemani paman Ando disana, namun mengingat Reina yang terbunuh dan paman Ando yang gagal dalam menjaga gerbang masuk, Tenza pikir dia telah menemukan satu rencana yang lebih efektif.
"Aku mohon kepdamu Reina..Izinkan aku bertemu dengan ibumu sebentar." Tenza menajamkan pandangannya, menunjukan kesungguhannya. Tapi dari pandangan Reina, Tenza hanya terlalu khawatir dengan berita harian pagi yang ia dengar tadi pagi di sekolah.
Reina mendecakan lidah. "Baiklah, jika urusanmu sudah selesai, maka sebaiknya kau langsung kembali kerumahmu dan tidur." Reina terpaksa mengizinkan Tenza.
"Baiklah...terimakasih." Tenza menjawab ditambah dengan anggukan.
"Namanya adalah Jason. Saya mengenalnya saat masih berada di bangku SMA dan kami melanjutkan kuliah di tempat yang sama. Jadi sudah lebih dari 10 tahun yang lalu saya sudah tidak menemuinya." Nyonya Mirabelle berkata, senyuman ramah menempel pada bibirnya.
Saat ini Tenza sedang berada di rumah Reina, bertamu pada malam hari dan duduk di sofa hitam ruang tamu. Di depannya, Tenza duduk saling berhadapan dengan Reina dan ibunya disebelahnya. Semua lampu dimatikan, hanya lampu yang berada diruang tamu yang dihidupkan.
"Ada apa, apa kau mengenalnya." Kata Nyonya Mirabelle, dia sedang mengenakan gaun putih tidur, terlihat matanya terkantuk kantuk. Tenza datang pada saat yang kurang tepat, padahal jika dia sudah memperkirakan ini lebih cepat, maka pembicaraan ini bisa dilakukan lebih dini dari yang sekarang. Tenza berencana akan kembali ke pos yang berada di gerbang masuk setelah pembicaraan ini selesai.
"Saya tidak mengenalnya. Tapi tadi pagi, saya sedang menonton acara berita dari smartphone saya, lalu Reina berkata seperti pernah melihatnya. 'Mungkinkah orang tuanya mengetahuinya?' Saya pikir begitu, hanya saja saya baru memikirkannya sekarang. Maafkan saya karena mengunjungi anda malam malam seperti ini." Tenza menundukan kepalanya, meminta maaf kepada Nyonya Mirabelle atas sikapnya.
"Tidak apa apa." Nyonya Mirabelle melambaikan tangannya. "Ngomong ngomong, Reina memang pernah bertemu dengannya saat masih kecil." Tutur Nyonya Mirabelle, diam diam Reina menoleh ke arah ibunya. "Apakah hanya itu yang kamu ingin tanyakan?" Lanjut perkataannya.
"Tolong jelaskan kepada saya, seperti apa Jason sebenarnya." Ucap Tenza. Dia mencondongkan kepalanya ke depan, mengkerutkan keningnya dan membuka telinganya lebar lebar, berusaha mengingat segala kata kata yang akan diucapkan Nyonya Mirabelle.
"Hmm..." Nyonya Mirabelle tampak sedang mengingat ngingat, sudah lebih dari sepuluh tahun dia terakhir kali bertemu dengan pria itu. beberapa saat terdiam, sepertinya beliau sudah mulai mengingatnya. "Jason adalah laki laki yang suka menyendiri, hmm...." Nampak ingatannya kembali pudar. "Beberapa kali aku pernah melihatnya dirundungi oleh teman temannya, dia jarang sekali terlihat berkumpul bersama teman temannya. Meskipun begitu, dia adalah orang yang baik."
Tenza menyimak mendengar setiap kata yang dikatakan oleh Nyonya Mirabelle, dan apa yang baru saja dikatakannya benar benar berbeda dengan apa yang Tenza lihat dengan mata kepalanya sendiri.
"Sejujurnya, saat ini Jason sedang berada di Elikya, dia menyusup namun ketahuan oleh polisi. Namun dia berhasil kabur dari tangkapan polisi dan menjadi buronan saat ini." Tenza menjelaskan apa yang sedang terjadi oleh Pria itu.
"Begitukah? Kalau begitu aku akan melapor polisi." Nyonya Mirabelle segera beranjak dari sofa, meninggalkan mereka berdua di ruang tamu.
"Melapor polisi?" Tenza bergumam pelan. 'Apakah bisa semudah itu menelpon polisi?' Lalu ia melanjutkan perkataannya dari pikiran.
"Ahh tunggu dulu." Tenza memberhentikan Nyonya Mirabelle. "Gunakan saja ponselku." Tenza mengambil Smartphonenya dari dalam saku celana. Dengan begitu Nyonya Mirabelle kembali menuju ruang tamu dan duduk di samping Reina kembali.
"Aku benar benar tidak menyangka, perkiraanmu benar benar tidak meleset Tenza." Reina yang terdiam dari tadi akhirnya angkat bicaram terkagum dengan kekhawatiran Tenza yang terbukti. "Ahh itu bukan apa apa." Tenza menjawab pujian Reina.
Tenza mengulurkan tangannya, memberikan Smartphonenya ke Nyonya Mirabelle. 'Ngomong ngomong, aku tidak mengetahui nomor polisi.' Tenza baru saja menyadari satu kesalahannya lagi, diam diam dia membelalakan matanya atas kecorobohannya yang fatal.
Nyonya Mirabelle mengambil smartphone milik Tenza, lalu menekan nomor layanan polisi lalu menghubunginya.
"Tuutt...tuut...." Suara Smartphone yang berbunyi.
"Clk.."
"Halo polisi....Yah saya dari kediaman keluarga Mirabelle, ingin melaporkan sesuatu....Kami mendengar dari berita tentang buronan yang berhasil kabur tadi pagi...salah satu dari buronan itu, adalah kenalan saya....Saya ingin memberi laporan kepada anda tentang dirinya yang saya ketahui....Alamat lengkap?...Saya tinggal di perumahan Almond Flower nomor 34...Kira kira berapa lama anda akan sampai kemari?...Begitukah?...Baiklah, terimakasih."
Nyonya Mirabelle mematikan panggilan. "Hanya begitu saja?" Tanya Tenza tidak menyangka dengan apa yang ia lihat. Rasanya sangat mudah sekali dari yang ia bayangkan.
"Tentu saja. Polisi kira kira akan datang sekitar 10 menit." Ucap Nyonya Mirabelle. "Cepat sekali." Reina berkata singkat. "Kantor polisi tidak terlalu jauh dari sini. Dengan menaiki mobil, kira kira hanya memakan waktu 10 menit." Jelas Nyonya Mirabelle kepada Tenza dan Reina.
'Dengan begini bukankah artinya urusanku sudah selesai?' Pikir Tenza. Dia menyembunyikan bibirnya dengan kedua tangannya, menyembunyikan senyuman bahagia yang terukir dari bibirnya.
'Itu artinya janjiku sudah ditepati bukan? Itu artinya tidak ada yang akan mati bukan? Itu artinya Reina dan ibunya berhasil diselamatkan bukan? Itu artinya Aku tidak akan di bunuh bukan? Itu artinya, aku sudah bisa tidur dengan nyenyak bukan?'
Hatinya benar benar tidak percaya akan realitanya saat ini. Tenza sudah dua kali hampir mengalami kematian, teror akan rasa perih dari sayatan pisau di lehernya menghantuinya selama ini, setiap detik selalu menghantuinya, setiap detik terlewat artinya saat dimana kematiannya selalu mendekat. Namun saat ini Tenza berhasil melewatinya, polisi akan datang kemari, lalu melihat Pria itu dan menangkapnya.
"Karena urusanmu sudah selesai, apakah kau akan pulang Tenza?" Reina berucap di depannya. Tenza tersenyum lalu berkata dengan senang"Tentu saja." Setelah itu dia beranjak dari sofa lalu mengambil tongkat base ball yang ia beli sebelumnya. "Maafkan saya karena mengganggu malam anda." Tenza menundukan kepalanya, senyum bahagia terpampang jelas dari wajahnya.
"TIdak apa apa, lagi pula saya harus menunggu sebentar lalu berbincang dengan polisi sebentar." Nyonya Mirabelle melambaikan tangannya lalu menguap menahan kantuk.
Tenza segera melangkah ke pintu keluar, namun berhenti di pertengahan jalan kembali menghadap ke mereka. "Terimakasih, karena malam ini anda sudah menerima tamu seperti saya."
"Tidak apa apa." Jawab Nyonya Mirabelle dengan lembut.
"Kalau begitu, samp..."
'Tok.. tok.. tok..' Tiba tiba dari arah pintu keluar seseorang mengetuk pintu.
Tenza membelalakan matanya. Seketika tubuhnya bergetar, dia membalikan tubuhnya ke arah pintu putih di belakangnya. Mata dan mulutnya terbelalak, ekspresi ketakutan terpampang jelas pada wajahnya.
"TIdak mungkin bukan?" Tanpa sadar Tenza memundurkan langkahnya.
"Apakah polisinya sudah datang?"
"Cepat sekali."
Hanya Tenza yang mengetahui keadaan yang sebenarnya sekarang. Nyonya Mirabelle melangkah mendekat ke arah pintu keluar. Tenza mengangkat tangannya, menghalangi jalan Nyonya Mirabelle.
"Tenza?"
"Ini tidak baik, seseorang yang ada di balik pintu tersebut bukanlah polisi."
"..." Nyonya Mirabelle tentu saja tidak paham dengan perkataan Tenza.
"Ini sangat gawat." Tenza membludakan kecepatan berpikirnya, sel sel dalam kepalanya di paksa untuk mencari jalan keluar dari takdir yang sudah dia lihat dengan mata dan kepalanya sendiri.
"Saya punya rencana, tolong lakukan saja dengan sebaik baiknya..."