Chereads / ELIKYA Number Zero : The Unknown Brave Hero / Chapter 21 - Arc 1 - Chapter 20 (Rencananya akan aku mulai sekarang)

Chapter 21 - Arc 1 - Chapter 20 (Rencananya akan aku mulai sekarang)

"Jadi...ee..apa yang Bapak ingin katakan kepada saya?" Tenza akhirnya dapat berbicara, setelah sekian lama membeku atas negosiasi Nick kepada Pak Leone, akhirnya Tenza dapat berbicara.

Di samping Tenza terdapat temannya Nick yang sudah selesai dengan urusannya dan di depannya terdapat Pak Leone yang memanggilnya ke dalam ruang guru ini. Beberapa guru seperti Pak Bailey sudah keluar dari sini karena mereka harus mengajar di kelas lainnya. Suasana di ruangan ini kian menghening dimakan waktu.

"Ahh tentang hal itu..." Pak Leone menggaruk rambutnya, senyum masam terpampang di diwajahnya. Tenza hanya menatap sambil menunggu jawaban darinya dan untuk Nick, dia hanya menunggu Tenza selesai dengan urusannya.

"Maafkan saya, sebenarnya saya memanggil nak Tenza hanya karena ingin memberikan formulir tujuan yang lupa saya berikan sebelumnya." Katanya sambil tersenyum kecut.

"Hanya itu?" Tenza mengkerutkan keningnya ketika mendengar alasannya, itu karena hal ini cukup aneh. Seharusnya saat ini adalah ketika Tenza dan Pak Leone berbicara tentang 'apakah dia memiliki keterpaksaan masuk ke Elikya oleh kedua orang tuanya atau tidak.' Tapi entah kenapa pada pengulangan ini berbeda, tenza mencoba untuk mencari jawabannya. 'Apakah karena ada Nick disini?' Pikirnya.

Dan tentu saja Tenza tidak memiliki keterpaksaan seperti yang ia pikirkan sebelumnya, karena mendiang ibunya telah meninggal dan ayahnya yang entah kemana meninggalkan mereka berdua.

Tapi bukan itu yang terpenting, Tenza masih mengingat tujuannya. Tujuannya saat ini adalah menyelamatkan Reina dari pembunuhan besok sekitar tengah malam, dan untuk saat ini hal seperti ini bukanlah yang terpenting. Selama tidak mengganggu rencananya hal ini bukanlah masalah untuknya.

"Maafkan saya." Kata Pak Leone menanggapi Tenza yang mengkerutkan keningnya. Pria paruh baya itu merasa tidak enak kepada muridnya karena hal ini, dia hanya bisa meminta maaf kepadanya.

"Eee..baiklah." Tenza tidak tahu harus berkata apa. "Jika begitu...Kami izin keluar dari sini." Nick menambahkan hal itu lalu berdiri dari tempat duduknya. Tenza menoleh kearah Nick, lalu menyusulnya dengan berdiri juga.

"Ahh...ada satu hal lagi." Pak Leone memberhentikan mereka berdua, seketika Tenza dan Nick kembali memperhatikan Pak Leone. "Tolong ajaklah Chad, dia adalah orang yang penyendiri. Saya pikir mengajaknya akan sedikit merubah sifat buruknya itu."

Nick dan Tenza yang mendengarnya hanya mengangguk, Tenza yang ingat akan luka lebam pada mata kirinya karena ulah Chad, tidak ingin melakukannya dan Nick yang tidak tahu apa apa hanya akan mencobanya.

Dengan begitu mereka berdua beranjak dari sana lalu keluar melewati pintu aluminium yang mereka lewati sebelumnya.

Saat ini mereka berdua berdiri di depan pintu masuk yang berada di lorong, terlihat sudah lumayan sepi disini. Beberapa murid ada yang sudah pulang ke rumahnya, ada juga yang sedang berada di dalam kelas tujuannya dan mungkin beberapa murid lainnya sedang berada dalam perjalanan menuju sekolah, karena jadwal belajar yang mereka dapat adalah pada siang hari ini. Tenza tidak tahu apakah ada beberapa kelas yang menjadwalkan siswa di dalamnya untuk belajar pada siang hari, selalu ada kemungkinan untuk itu.

"Syukurlah kita dapat pergi besok." Tenza memulai kekosongan topik di lorong yang hening.

"Tentu saja, bukankah sudah kukatakan kemungkinan berhasilnya cukup besar." Tutur Nick dengan nada yang terdengar sombong.

"Meskipun kau terpojok sebelumnya?" Tenza diam diam memicitkan matanya.

"Itu memang rencananya, waktu, kondisi dan kemungkinan lainnya sangat menentukan keberhasilannya...." Nick tiba tiba terdiam, sesuatu muncul dalam kepalanya. Matanya tampak kosong tiba tiba. Dia memutar kepalanya tiba tiba ke arah Tenza.

"Apakah kau mengenal Pak Leone?" Pertanyaan yang tidak masuk akal terucap dari Nick.

"Apa maksudmu? Tentu saja bukan, beliau adalah guru kita."

"Bukan itu maksudku, apakah kau pernah bertemu dengannya sebelumnya?"

"Aku tidak mengerti maksudmu. Aku baru sampai ke Elikya kemarin malam dan bertemu dengannya pagi ini."

Nick menatap ke arah Tenza, membuat Tenza merasa tidak nyaman dengan tatapan itu. "Nick?" Ucap Tenza singkat, Nick masih saja menatapnya dengan tatapan, sejujurnya tatapannya itu agak membuatnya jengkel.

Nick tersadar, dia menutup matanya, menghadapkan kepalanya kembali ke depan, sedikit menggelengkan kepalanya lalu membuka matanya.

"Tentu saja, tidak mungkin itu terjadi. Ini hanya perasaanku saja dan jika ini benar benar terjadi, aku pikir hal ini akan cukup menarik." Nick mulai melangkah, Tenza mengikutinya dari belakang.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" Tanya Tenza kepada temannya.

"Tidak ada, bukan hal yang penting...Ngomong ngomong setelah pulang tolong katakan kepada Chad perihal kita yang akan pergi berlibur." Nick sepertinya mencoba untuk mengganti topik dengan meminta kepada Tenza melakukan tugas yang diberi oleh Pak Leone sebelumnya.

"Aku pikir itu ide buruk." Tenza mencoba untuk menolak permintaan darinya. Nick dari depan memutar kepalanya ke belakang, melirik Tenza dari sana. Tatapan memberi tahu Tenza untuk mengatakan alasannya dia berkata demikian.

Tenza dengan cepat mengatur kata kata, dia tidak ingin terkena hantaman pukulan dan injakan pada perutnya sekali lagi. Dia harus mencoba untuk menghindar dari tugas ini.

"K..Kau tahu seperti apa Chad itu orangnya kan? Aku pikir lebih baik kau yang melakukannya, k.kau tahukan alasannya?"

Nick masih saja melirik Tenza dari sana, beberapa saat matanya masih tertuju kepadanya. Setelah beberapa saat dia kembali menghadap kedepan.

"Meskipun baru mengenalnya beberapa jam, tampaknya kau seperti telah mengenalnya cukup lama dari yang bisa dibayangkan."

"Begitukah?" Tenza sedikit ketakutan dengan intuisi Nick. Dia tanpa sadar mengeluarkan senyum yang terlihat memaksa, keringat keluar dari samping dahinya. Jantungnya berdegup kencang karenanya.

"Baiklah aku akan melakukannya." Nick mengangguk dalam diam, dia berbalik kebelakang mengarah kepada Tenza. "Dari sini kita akan pisah, kelasku mengarah ke sana." Katanya sambil menunjukan telunjuknya jarinya ke belakangnya.

Tenza sedikit mencondongkan kepalanya ke samping, mengintip ke arah belakang Nick, tidak ada siapapun di sana karena saat ini sepertinya semuanya telah masuk ke dalam kelas mereka masing masing, hanya ada Tenza dan Nick yang dapat terlihat dari lorong ini. Tenza membenarkan posisi tubuhnya.

"Baiklah kalau begitu, aku akan pulang lewat sini." Ucap Tenza menunjuk kepada tangga yang ada di sebelah kanannya. Nick hanya mengangguk, dia kembali memutar badannya ke depan lalu melangkah menjauh dari Tenza.

"Kalau begitu sampai jumpa."

"Tenza mengangguk kecil. "Sampai jumpa." Lalu berjalan menuju tangga tersebut. Tenza melangkah pelan melewati anak tangga satu persatu. lalu berputar ke arah kiri menuju anak tangga selanjutnya.

Menutup matanya lalu menarik nafas panjang, Tenza mencoba untuk mengingat dam mengatur sekali lagi rencananya. Lalu menghembusnya secara perlahan.

Tenza membuka matanya, tatapan penuh tekad tertampang pada wajahnya. Tenza menguatkan alisnya, menekankan langkahnya dengan kuat, sekali lagi dia menarik nafas.

"Rencananya akan aku mulai sekarang."

***

Rencananya sangatlah sederhana, sama seperti sebelumnya yang pernah dijelaskan. Tenza cukup bertemu dengannya sebelum dia menemukan Reina lalu melaporkannya kepada polisi tanpa sepengetahuan Pria itu. Apa yang dimaksud Tenza dengan bertemu dengannya adalah berpapasan dengannya saat mereka berada di luar rumah. Tenza akan berpura pura tidak mengenalnya dan melapor polisi secara diam diam.

Pertama tama Tenza harus memastikan rute mana yang Pria itu lewati menuju rumah Reina. Dan hasilnya adalah...

"Sempurna...." Tenza melebarkan senyumnya dengan mantap.

Tenza telah berkeliling dan memastikan setiap sudut perumahan yang ia tinggali. Hasilnya Tenza menemukan hanya ada satu rute yang bisa di lewati, yaitu adalah rute yang biasa ia lewati untuk pergi berangkat dan pulang sekolah.

Perumahan ini di kelilingi dengan Tembok beton polos yang pada atasnya diberikan kawat berduri yang tajam. Dia tidak mungkin melewatinya dengan cara melompat karena tingginya saja sekitar dua kali tinggi pria tersebut, dan mungkin akan menjadi tiga kali untuk tinggi Tenza.

Artinya mau tidak mau dia harus melewati gerbang yang biasa Tenza lewati. Mungkin akan bahaya jika menunggunya tengah malam sendirian di luar, akan tetapi menjadi tidak berbahaya jika ia menunggu di depan gerbang. Karena di sana terdapat petugas yang mengawasi orang asing yang masuk kemari.

.....

34 orang telah berhasil dilumpuhkan oleh polisi di tempat persembunyian mereka, namun sayangnya terdapat 6 orang yang berhasil kabur dari tangkapan polisi. Kami akan menampilkan foto dua dari orang yang berhasil teridentifikasi kabur dari tangkapan polisi.

Tenza dengan cepat mempause streaming berita yang ia tonton. Foto dari kedua Pria tersebut muncul dari smartphonenya yang berteknologi hologram. Salah satu dari kedua orang itu Tenza mengenalnya, tentu saja dia adalah orang yang pernah hampir membunuhnya dua kali.

"Apakah kalian mengenal mereka?" Tenza menyodorkan smartphonenya kepada kedua temannya, Reina dan Alex. Alex sedikit mendorong tubuhnya dan Reina tampak berhenti menulis.

"Hmmm....aku tidak mengenalnya." Ucap Alex dengan cepat. Namun bukan jawabannya lah yang Tenza tunggu, Tenza memandang Reina, matanya masih tertuju kepada smartphonenya, nampak keningnya sedikit mengkerut.

"Aku tidak yakin....sepertinya dia adalah orang prancis, sama sepertiku." Ucap Reina sepertinya menjelaskan sesuatu.

"Begitukah? apakah kau mengenalnya?" Timpal Tenza, dia berusaha untuk membuat Reina menjawab pertanyaannya. Reina tampak sedikit terdiam melihat smartphonenya, kerutan pada keningnya semakin terlihat ketika dia mencoba mengingatnya.

"Tidak yakin...sepertinya aku pernah melihatnya."

Tenza yang mendengarnya sedikit melebarkan matanya. 'Apakah ini ada hubungannya?' Kata Tenza dalam pikirannya.

Saat ini adalah hari keduanya di Elikya tanpa memperhitungkan pengembalian waktu. Berbeda seperti sebelumnya, Tenza mencoba untuk berangkat bersama Reina lagi pada pukul 06.00, mencoba untuk menonton berita tentang pria tersebut lalu menanyakan kepada Reina apakah dia mengenalnya.

"Tenza, kau terlihat seperti mengenalnya." Ucap Alex.

"Tentu saja tidak mungkin."

Tujuan Tenza melakukan hal ini adalah untuk mengumpulkan informasi.

Kau tahu...seharusnya aku sedang mengatakan perasaanku kepada perempuan yang aku sukai saat ini.

Jika Pria itu mengatakan demikian artinya dia seharusnya mengetahui Reina dan Reina mengetahui siapa Pria tersebut, mungkin saja Reina memiliki hubungan dengannya. Tenza berharap dia mendapatkan apa yang ingin ia dapatkan, namu hasilnya adalah...

"Tidak yakin...tapi sepertinya aku pernah melihatnya." Masih samar samar.

.....

"Apakah paman mengetahui orang orang ini?" Tenza sekali lagi menyodorkan smartphonenya. Hanya saja saat ini Tenza menyodorkannya kepada petugas yang menjaga gerbang perumahannya. Paman berkulit hitam tinggi itu sedikit menundukan tubuhnya, menatap ke layar smartphone milik Tenza.

Apa yang Tenza sodorkan adalah sebuah foto yang ia tangkap ketika sedang melihat streaming berita pagi tadi.

Saat ini adalah ketika Tenza kembali pulang kerumahnya pada hari keduanya di Elikya. Tanisa sang pembantu dan salad buah yang segar sedang menunggu Tenza pulang menuju rumah, namun sebelum itu Tenza harus memastikan sesuatu. Mungkin saja apa yang dia lakukan di atas terik matahari ini dapat mempermudahnya menjalankan rencana yang dia atur sebelumnya.

"Ahh...tentu saja kami mengenalnya." Tenza seketika terkejut mendengar jawabannya. Beberapa saat ia tertegun.

"APAKAH BENAR!!!" Dia melantangkan suaranya dengan cepat. Dia membelalakan matanya dan berteriak kepada paman tersebut, ditambah dia mengatakan 'kami' pada kalimatnya. Itu artinya bukan hanya dia mengetahui hal ini.

"Tentu saja, dia merupakan buronan polisi yang berhasil kabur kemarin bukan?" Katanya dan Tenza hanya bisa diam mengangguk.

"Kami, para petugas lainnya telah mendapatkan laporan dari atasan dan diberi tugas untuk melaporkan kepada polisi jika bertemu dengan mereka."

"Benarkah?" Dalam diri Tenza dia merasa senang, namun apa yang terjadi pada pengulangan tidak berkata demikian. Yang terjadi adalah Pria tersebut berhasil masuk bahkan membunuh Reina dan hampir membunuh Tenza.

"Tentu saja, tapi kenapa kau bertanya tentang hal ini?" Tanya paman berkulit hitam keriting yang ramah.

"Ahh tidak, tadi pagi aku mendengar berita ini, aku terkejut beritanya berasal dari Elikya. Karena itu aku mencoba untuk memberi tahu paman tentang hal ini. Namun sepertinya sia sia karena paman sudah mengetahuinya terlebih dahulu." Tenza tersenyum ramah, dia menyembunyikan keresahannya dalam dalam dari orang di sekitarnya.

Paman hitam yang mendengar tersebut tersenyum. "Tenang saja, kami akan melakukan tugas kami dengan sebaik baiknya." Kata paman membusungkan badannya.

.................................................................................. "Ahh rasanya tidak sabar sekali!"

Tenza memegang jam alaram dengan kedua tangannya, duduk dengan kakinya yang diluruskan di atas kasur yang empuk dan selimut yang menutupinya. Ruangan yang gelap dengan AC yang dinyalakan agar menyejukan ruangan, awan menggumpal banyak di langit sana dan angin sepoi sepoi yang berbunyi merdu terdengar hingga kedalam kamarnya.

Suasana yang mendukung untuk dirinya untuk segera menidurkan tubuhnya di atas kasur ini, namun tidak dengan suasana hatinya. Dirinya benar benar kegirangan saat ini, besok adalah hari disaat Tenza dan teman temannya berlibur menuju ke ETP.

Terdengar kekanak kanakan jika Tenza seorang pemuda berumur 16 tahun kegirangan hanya untuk hal seperti ini, dan sejujurnya dia menyadari perilakunya itu.

"Aku benar benar kekanakan sekali yaahh..." Tenza menertawai dirinya sendiri.

Dia menaruh kembali jam alaramnya di atas lemari kecil yang terdapat di sebelah kanannya. Setelah itu Tenza menoleh ke arah kiri, disana terdapat jendela kayu yang tertutup rapat. Dia sedikit menggeserkan tubuhnya mendekat ke arah sana, lalu membuka kunci agar dapat membuka jendela yang tertutup.

Dengan segera angin sepoi sepoi masuk dan terasa pada tubuhnya, rasa sejuk yang nikmat terasa pada wajahnya. Dia mengeluarkan kepalanya, memutar kepalanya memandang ke atas langit, tidak ada bulan di atas sana, awan yang tebal sepertinya telah menutupi pandangannya.

"Seperti yang dikatakan oleh ramalan cuaca, besok benar benar akan hujan yah?"

Tenza kembali memasukan kepalanya kedalam lalu menutup jendela dan menguncinya kembali. Tenza kembali melihat ke arah jam alaram, jam tersebut menunjukan pukul 23.15 artinya dia harus segera tidur atau ketika terbangun dia menyadari dirinya telah terlambat untuk sekolah.

Dengan begitu dia menarik selimutnya dan menidurkan tubuhnya, rasa empuk nan nyaman membelai tubuhnya seketika. Matanya langsung tertutup ketika dia melakukannya.

"Semoga tidak ada hal yang mengganggu kegiataan kami esok hari." Gumamnya dalam hati memohon.

"TOLONGGG!!!" Suara teriakan keras dengan nada tinggi khas perempuan terdengar dari arah samping rumah Tenza, dari tempat Tenza terdengar agak pelan namun tetap jelas terdengar. Tenza yang mendengarnya dengan perlahan terbangun lalu mengangkat tubuhnya.

(Itu suara Reina bukan?) Katanya yang masih setengah sadar, Tenza mencoba untuk membuka matanya yang mengantuk.

(AAAAAHGKKKKKKK) Suara jeritan terdengar keras oleh telinga Tenza. Dengan seketika dia membelalakan matanya.

"Reina?..." Tenza hampir terbangun sepenuhnya. "REINAA!" Tenza tanpa sadar memutar tubuhnya ke samping kanan menurunkan kakinya lalu berdiri dan berlari. Namun Tenza lupa dengan selimutnya, ketika dia mulai berlari, kakinya tersandung oleh selimut dan membuatnya terjatuh.

"Ahgk." Tenza meringgis pelan karena terjatuh. Nyeri pada mata kirinya yang lebam kembali terasa sakit karena terjatuh. Tenza meringgis menahan sakit, tangan kirinya terangkat menyentuh ke sekitar bagian mata kirinya tersebut.

Dengan cepat dia menyingkirkan selimutnya dan berjalan cepat keluar kamar, menuruni tangga lalu berjalan lebih cepat lagi menuju pintu keluar. Tangan kirinya masih menyentuh ke sekitar mata kirinya. Tenza meraih kunci dengan tangan kanannya, lalu memutar searah arum jam agar dapat membuka kunci pintu agar dapat keluar.

"berisiikkkk!!!!!!!!!...ini semua salah mu!!!!! jika kau tidak menikahi keparaat itu!!!!!! akuu tidak akan melakukan hal seperti ini!!!!" Samar samar Tenza mendengar suara seseorang yang sedang marah dari sana. Tenza mulai panik dengan apa yang ia dengar saat ini, keributan muncul dari rumah temannya.

Namun di lain sisi, pikir Tenza merasa seharusnya dia tidak harus pergi kesana, karena keributan itu bukanlah urusannya, bagaimana itu hanyalah sebuah masalah keluarga biasa? Tenza pikir dia tidak harus ikut campur dalam permasalahan milik orang lain.

Tenza berusaha menutup minatnya, dia kembali memutar kunci dengan arah yang sebaliknya, kembali mengunci pintu.

"kau telah membunuh putrikuuu!!!! apa kau tidak menyadari kesalahan mu!!!???"

"khhhkhkkkkahahaaahahahahaaahahaaaaaaahuaaaaaaa"

Tenza dapat mendengarnya secara jelas, dia sentak terkejut dengan apa yang di katakan oleh seorang perempuan disana. 'Membunuh?!' Ucap Tenza penuh tanda tanya dalam pikirannya. Tenza sudah tidak tahu menahu lagi, dia dengan cepat memutar kembali kuncinya lalu membuka pintu keluar berwarna putih.

'Apa apaan yag sekarang ini aku pikirkan?' Tenza menyalahkan pikirannya. Sudah jelas sebelumnya dia mendengar Reina berteriak minta tolong dan suara jeritannya muncul setelahnya, alasan apa lagi yang dibutuhkan Tenza untuk tidak ikut campur dengan masalah ini?

Tak lupa memakai sepatu Tenza segera beranjak menuju pagar hitam rumahnya. Mencari satu persatu kunci yang cocok dengan gembok pada pagarnya. 'Ayolahh.' Cukup lama bagi Tenza untuk menemukannya.

'CLak..' Bunyi kunci yang terbuka. Tenza segera terburu buru membuka pagar dan berlari secepatnya menuju rumah yang berada di sebelah kirinya. Segera setelah itu Tenza melihat pagar tetangganya yang tidak terkunci. Tenza memerika gembok disana, gemboknya telah rusak dibobol masuk dan terkapar di atas tanah. Dan dari depannya Tenza melihat pintu putih yang terbuka setengah.

"DASAR KEPARAATTTT!!!!"

'BRUAKKTT'

Tiba tiba suara teriakan terdengar diiringi dengan suara kayu yang terhantam patah. "KYAAAAGHHHHHK...UGHKKKKK. AAaagghhhh." Segera setelah itu Tenza mendengar seseorang menjerit kesakitan. Keringat keluar mengalir melewati pipinya, nafasnya menjadi cepat ketika mendengar suara itu.

Tenza terkejut dia mendelikan matanya, mulutnya ternganga dan membeku disana. Tanpa ada yang harus dipertimbangkan Tenza dengan cepat berlari masuk kedalam rumah, berlari melewati teras dan mendobrak masuk pintu yang telah terbuka. Pemandangan yang pertama ia lihat hanyalah ruangan yang cukup mirip dengan rumahnya.

Ruang keluarga di sebelah kiri dan ruang tamu di sebelah kanan, ada beberapa prabotan yang membedakannya dengan rumahnya. Tenza melepas sepatunya dan membiarkannya disana tanpa dia tata dengan rapih.

Segera dia berjalan masuk melewati kedua ruangan itu, tidak ada siapa siapa disana. "Reina kau dimana?!" Teriak Tenza kepada teman pertamanya.

"Reina dimana kau?....Kau tidak apa apa?" Tenza berteriak, suaranya menggema diantara ruangan gelap yang sedang ia telusuri ini. Dia mulai menaiki lantai dua melewati tangga.

Kakinya dengan cepat dan hati hati menaiki anak tangga satu persatu, berbelok kearah kanan lalu menaiki anak tangga lainnya.

"REINA!!!....Tidak mungkin..." Segera setelah tenza menaiki anak tangga terakhir dia mencondongkan penglihatannya ke ujung lorong yang redup. Genangan darah meluber disana, di ujungnya terdapat perempuan terduduk lemas dengan mata yang kaku terbuka setengah. Tangannya tergeletak lemas tak berdaya diatas lantai, wajahnya miring penuh darah disana. Leher yang robek dapat terlihat dari sana, cairan merah terus keluar hingga menggenang di atas lantai.

Tenza berjalan cepat menghampirinya, lalu berhenti dan sedikit mundur ketika sampai pada genangan darah yang semakin melebar. Rupa yang menjijikan untuk dilihat oleh Tenza, dia menutup mulutnya dengan kedua tangannya, sepertinya ada sesuatu yang akan membludak dari lambungnya.

Suara langkah terdengar dari belakang, Tenza mencoba untuk menoleh kesana.

"!!!??!" Dengan cepat pisau meluncur pada leher Tenza sebelah kanan, merobek seketika dan darah keluar dengan deras. "AKHHKK!!" Jeritannya hanya menambah perih pada lehernya. Tubuhnya tiba tiba tumbang dan terjatuh pada genangan darah. Tangannya meraih pada lehernya yang sobek, darah langsung menodai tangannya. Tenza menarik tangannya dari sana, matanya melihat pada tangan yang penuh darah, panik dan takut menyerangnya. Memekik hanya akan menambah rasa perih pada lehernya.

"Sepertinya ada pengganggu disini. KHIIKHAAHAHAHAKHAAHAKAHAHAAA"

"HHGGGKKKHH!!!" Tenza menegangkan tubuhnya, nafas Tenza terasa tidak teratur. Dengan cepat tangannya meraih leher sebelah kanan. Memeriksa luka sobek disana, namun tidak ada satupun luka yang ditemukan di sana.

Segera setelah itu memeriksa luka pada matanya sebelah kiri, namun dia tidak menemukan apa yang dicarinya di sana.

"Ada apa? Mimpi buruk?" Tanya Paman Ando disebelahnya terkejut dengan kejutan Tenza yang tiba tiba.

Tenza yang nafasnya masih tidak atur segera menoleh ke sumber suara. Dia adalah paman yang sebelumnya Tenza ajak berbicara di siang hari, seorang penjaga gerbang dengan kulit hitam dan rambut keriting. Tenza menutup matanya, menundukan wajahnya lalu mengatur nafas.

Setelah itu dia mengangkat kepalanya, menoleh ke paman yang ada di sebelah kirinya lagi. Tampak Tenza yang mengantuk tanpa sadar tertidur pada bukan tempatnya.

"Hahaha begitulah." Tenza mencoba merubah suasana dengan tawa paksanya.

Tenza mengambil smartphonenya dari dalam saku, lalu menghidupkan tombol daya. "Sudah jam sepuluh yah?" Tenza melihat jam digital yang tertera pada layar smartphonenya, lalu mematikan daya dan menaruhnya kembali ke dalam saku.

"Kau sudah tertidur sekitar dua jam, aku lihat kau sepertinya kurang tidur." Kata paman Ando terlihat berusaha peduli.

"Apa saya terlihat begitu? Yah kemarin malam saya bermimpi buruk juga. Saya tidak bisa menyangkalnya." Tenza memegangi keningnya, menekan lembut dengan jari jarinya.

Sebelumnya Tenza juga pernah bermimpi itu sebelumnya. Sejujurnya Tenza merasa dirinya sedang diteror dengan penuh ketakutan akan kematian. Apa yang akan terjadi jika Tenza gagal menjalankan rencananya? Bagaimana jika dia salah memperhitungkannya? Sejujurnya Tenza merasa ini terlalu mudah mengingat rencana yang ia atur terasa sangat sederhana.

Jika dia gagal, lalu kematian sekali menjemputnya, apakah pengembalian waktu itu akan terjadi lagi? Apa yang memicu terjadinya fenomena tak masuk akal seperti itu?

Kematian? Tenza rasa tidak. Dia melihatnya waktu yang berjalan mundur, dia tidak benar benar dalam keadaan mati ketika pengunduran tersebut terjadi. Sekarat? Tenza tidak yakin, meski semuanya terjadi ketika Tenza tertusuk pada lehernya.

Sekarang adalah malam hari pukul 21.57. Sebelumnya dia pergi ke pos gerbang ini menawarkan diri untuk membantu petugas yang bernama Ando ini. Sebenarnya Tenza melakukan ini hanya untuk melaporkan Pria itu pada polisi.

Paman ini berkata kalau dia juga akan melaporkannya pada polisi, namun Tenza tidak merasa yakin dengan perkataannya. Tenza sudah melihat kematian Reina dua kali, tidak ada yang harus diragukan lagi kalau paman ini gagal melakukan tugasnya.

Tenza tidak bermaksud untuk mencurigainya namun melakukan hal ini setidaknya akan menenangkan Tenza.

"Lhoo...Tenza?" Suara perempuan terdengar dari depan pintu pos, Tenza yang mendengarnya mengenal suara itu, dia melihat kearah pintu keluar pos, terdapat Reina disana.

"Apa yang kau lakukan disini?" Tanya Tenza.

"Seharusnya aku yang bertanya demikian."