Chapter 4 - Bab IV

"Terkadang apa yang pernah kita tinggalkan adalah alasan mengapa kita ingin datang."

***

Saat matahari sudah mulai naik keatas. Jalanan kota Jakarta yang tidak pernah berhenti itu kini semakin ribut. Suara klakson merdu dari berbagai mobil mahal mencuat kemana mana. Saling bersahutan dan tak mau mengalah. Banyak asap dari berbagai benda canggih itu terangkat keatas. Perlahan namun pasti mulai mempertipis atmosfer yang melindungi bumi.

Nampak dari tengah jalan yang dipenuhi kendaraan itu ada sebuah angkot. Warnanya biru dan suasana didalamnya pelik. Semua orang didalam sana mulai kepanasan. Teriknya matahari menjadi alasan mobil tak ber AC ini bergitu panas. Di sana seorang perempuan sedang mengipaskan tangannya pada wajah. Mencoba melakukan hal yang orang lain lakukan.

Semua itu hanya untuk berharap bahwa dia bisa menghilangkan rasa panas yang menyengat tubuhnya. Merasa tidak ada gunanya berkipas dengan tangan dia mengambil hpnya. Memandang wajah yang begitu candu baginya. Dia tersenyum senang setiap kali melihat wajah seorang yang tertidur itu.

Seberkas memori muncul lagi setiap dia melihat wajah itu. Saat dia dengan pria di foto itu menjadi sopir dan kenek angkot seperti ini. Bukannya mendapat uang, tapi malah sebaliknya. Pasalnya tidak ada pelanggan yang mau naik angkot dengan supir baru seperti mereka.

Belum lagi mereka harus membeli bensin yang habis karena berkeliling mencari pelanggan. Dan hal paling sialnya lagi adalah saat dimana ban angkot itu pecah dan harus ditampal. Banyak hal yang terjadi dalam kisah sederhana itu. Senang baginya bisa mengingat memori itu dengan pasti tanpa buram.

Tanpa ia sadari angkot itu sudah berhenti di perhentian terakhirnya. Dia turun dengan banyak barang belanjaan di kantung kresek miliknya. Dapat terlihat jika itu adalah bahan bahan dapur, dari sayur buah, Ikan dan banyak lainnya yang tidak bisa dilihat oleh mata. Dia menghela nafas kasar, melihat belanjaannya lalu memandang kearah depan.

Rasanya cukup berat saat harus membawa barang belanjaan yang banyak ini. Belum lagi dia harus berjalan dari sini ke apartemennya. Jika dihitung dari sini mungkin berkisar 20 meter lagi. Dia tersenyum kembali dan berjalan dengan hati yang puas. Entah kerena apa tapi dia sudah kuatkan dalam hati jika dia tidak akan terlalu banyak mengeluh.

Baginya adalah sebuah keberuntungan dia masih bisa ada disini saat ini. Dia hanya ingin melihat dan menjenguk seseorang. Dia ingin tahu apa kabar dari orang yang selama ini menjadi beban rindunya. Dia membawa barang itu dengan langkah ringan. Seakan semua barang itu tidak berat sama sekali.

Dia percaya, " Apapun yang dilakukan dengan ikhlas dan senyuman akan terasa lebih ringan~" Dan prinsip inilah yang membuat dia tidak berputus asa dari seberapa berat pun beban yang harus ia tanggung. Baginya semua pekerjaan itu sama, hanya cara menanggapi yang berbeda.

"Meski ini awal yang berat aku tidak akan menyerah! Karena yang lebih berat bagiku adalah mengembalikan kepercayaan darimu yang telah aku renggut. Walau tujuanku datang hanya untuk menjenguk, tapi tak ayal jika hati ini ingin mendapat kesempatan kedua!" gumamnya sembari terus berjalan dengan rileks.

Di perjalanan pulang dia sesekali menyeka keringat di dahinya. Sungguh terik matahari siang di kota ini sedang sangat mengila. Dengan langkah yang kian turun dari semangat, akhirnya ia sampai! Dia mengetikkan beberapa digit ke pintu apartemen. Lalu pintu terbuka dan dia menaruh semua belanjaannya di dapur.

Dia membuka lemari es dan mengambil satu botol air minum. Dia meneguknya rakus seakan dia tidak pernah minum satu tahun. Duduk sejenak di kursi yang ada di dapur, dia lantas memandang sayur yang sudah mulai melayu dimakan sinar leser sang cahaya panas.

Melihat sayur yang tadi dalam keadaan prima kini telah kau membuatnya sedikit kecewa. Dengan susah payah dia membawa sayur segar dari pasar dan hasilnya malah seperti ini. Jika dia tidak memasaknya segara apa sayur ini masih bisa bermanfaat?

"Aku harap usahaku tidak mengecewakan layaknya sayur yang sudah layu ini!" ujarnya sedikit lirih.

Entah mengapa hanya dengan membayangkan dia yang jadi seperti sayur itu sudah membuat dia putus asa. Apalagi berjuang meminta kesempatan kedua, sangat mustahil! Mana ada orang yang mau memaafkan orang yang telah menghina dan meninggalkan nya hanya kerena dia miskin?

Kalaupun ada maka dia benar benar telah dilatih untuk jadi suci tanpa debu. Dan dia akan beruntung jika orang yang telah ia singing adalah orang yang seperti itu. Tapi dunia berkata lain, surga tahu apa maksudnya!

Melihat jam yang terpampang ditangannya. Dia bergegas memasak karena sudah hampir waktunya makan siang. Perutnya pun sudah meronta kerena sedari tadi dia hanya makan sedikit roti bakar sebagai sarapan. Dan itu tidak sepadan dengan dia yang harus keliling pasar mencari semua benda ini.

Energi yang dikeluarkan dan energi yang dimasukkan sangat tidak seimbang. Dan itulah mengapa saat jalan pulang tadi dia serasa akan pingsang. Tapi syukurlah karena dia sekarang punya tubuh yang kuat dan tidak lemah lagi!!!

Selesai membuat beberapa hidangan membuat dia bersiap akan makan. Tapi semua itu harus tertunda karena ada bel pintu yang laknat. Dan ingatlah bahwa siapapun yang memencetnya bukan orang yang patut di baiki. Dia adalah seorang pengganggu angannya yang sudah lapar dan minta di isi.

Kepalanya berkecamuk mencoba memerintahkan untuk mengabaikan bel itu. Dia pun setuju akan usul dari otak cerdiknya, sungguh saat ini perutnya lebih penting dari apapun. Namun saat hendak menyuap makanan ke mulutnya ada suara seseorang menginterupsinya.

"Barulah kali aku memencet bel dan hal itu membuat tanganku sakit, tapi kau malah enak enakan makan disini!" ujar orang itu.

Didengar dari suaranya semua orang akan tahu jika itu adalah suara seorang pria. Dia berbalik dan melihat kaki seorang pria itu lalu berangsur naik kebadannya, lehernya dan berakhir pada wajahnya. Wajah yang begitu tampan dan sangat menawan. Kulitnya putih seputih susu, hidungnya mancung besar, sorot matanya setajam elang, dan rahangnya sekeras kapak.

Dia tersenyum mengejek saat ingat kata kata dari pria berjas hitam lengkap dengan pakaian formal lainnya. Dia berucap sarkas dan penuh penekanan, "Jika kau tau sandinya, lalu untuk apa memencet bel dan mengganggu jam makanku yang begitu berharga! Lagipula tanganmu itu tidak akan patah hanya karena memencet bel!"

"Aku hanya suka ke sopan santunan! Siapa yang tahu jika aku masuk tanpa memencet bel dan ternyata kau sedang berduaan dengan seseorang! Atau mungkin aku sedang berganti baju diruang tengah, atau juga kau sedang duduk didepan TV dengan baju dan celana pendek! Oh dan jangan lupakan bekas air liur yang mengalir diwajahmu~" ujarnya tanpa henti.

"Berhentilah mengoceh hal yang mengacoh!" sunggutnya.

Entah mengapa tapi dia merasa jika di hidupnya ini dipenuhi oleh berbagai macam orang yang begitu cerewet. Dimulai dari pemilik cafe kemarin, cewek yang kemarin memanggilnya, dan sekarang pria laknat yang sedang berdiri didepannya.

"Ayolah Xera aku hanya bercanda, dan makanlah jika kau lapar aku tau jika saat ini kau sedang begitu laparnya sehingga kau begitu suka marah padaku!" ujarnya kelewat santai.

" Tanpa lapar pun aku akan selalu emosi jika melihat wajahmu yang begitu memuakkan!" ujranya menimpali lalu makan dengan cara yang entahlah. Sangat tidak pantas di sebut car makan seorang wanita yang menawan pastinya.

.

.

.

.

***