Chapter 9 - Bab IX

" Kegagalan adalah sebuah kesuksesan yang tertunda!"

***

Berhari-hari telah berlalu, dan hubungan Xera dengan Dio semakin tak terkendali. Antara pandangan Dio yang selalu jijik menatap Xera sejak hari itu atau yang lain.

Xera tidak menyerah dengan muda, dia terus dan terus mengejar Dio. Satu hal yang memotivasinya meski dipandang jelek oleh Dio, dia hanya butuh satu kalimat pengakuan atau satu kalimat penolakan.

"Dio, kita tidak ada rapat ataupun lembur malam ini. Jadi, bisakah kamu menamaniku nonton?" tanya Xera dengan penuh harap.

"Tidak!" ujar Dio dengan dingin.

Tidak masalah bagi Xera, itu adalah hal biasa dan sudah lebih dari satu Minggu ini dia terus terusan ditolak oleh Dio. Tidak peduli apa, dia akan terus mencoba lagi.

Gagal berarti satu hal dan itu adalah sukses yang menanti!

"Bagaimana kalau makan malam?" tanyanya tak ingin menyerah.

"Tidak!" jawab Dio tetap tegas pada pendiriannya.

Dia tetap berjalan lurus ke depan, ke area parkir.

"Kalau jalan-jalan ke taman?" tanya Xera yang membuat Dio berhenti membeku.

Bukan hanya Dio, bahkan dia sendiripun dibekukan oleh kata-katanya.

Kata-kata itu adalah kata yang sedikit tidak boleh ada.

Taman!

Sebuah tempat yang penuh dengan campur aduk rasa. Hari dia melakukan kesalahan untuk menegakan kesuksesan seseorang.

Xera mengutuk dirinya didalam hati, dan dia hanya tidak berharap akan mengucapkan kata itu. Saat dia menduga Dio akan menolaknya secara membabi buta atau akan mengamuk padanya. Dio menoleh dan tersenyum miring, entah arti dari senyum itu, tapi itu bukan hal yang baik.

"Baiklah!" ujarnya dengan suara dingin yang dapat membekukan kapan saja.

"Tidak, tadi aku..." ujar Xera gugup dan latah.

Dio tidak mendengarkannya dan terus berjalan kedepan.

"Dio, tunggu! maksudku, tidak aku tidak ingin bermain ketaman, aku ingin akh, maksudku, hei dengarkan penjelasanmu dulu!" teriak Xera dan terus mengejar Dio.

Jalan itu cukup ramai, dan beberapa orang memandang mereka. Banyak sekali tanggapan orang lain. Dan sebagian menganggap mereka adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar untuk hal kecil.

"Dio, aku!" ujar Xera yang sudah mencapai mobil.

"Naiklah!" ujar Dio balik.

"Tidak! Kita akan ke bioskop, kita tidak akan ke tempat itu, kau setuju kan?" tanya Xera.

"Taman adalah tempat yang indah," ujar Dio dengan senyum licik.

"Tapi," ujar Xera yang langsung dipotong oleh Dio,"Cepatlah atau aku akan meninggalkan mu!"

Xera langsung bergegas masuk, Dio yang melihat itu menaikkan sudut bibirnya. Matanya penuh kerinduan.

Taman!

Meski itu adalah tempat yang menjadi sebuah kenangan terburuk tercipta. Tapi, disana jugalah berjuta bunga mekar dalam kebahagiaan. Awal sebuah perjalanan yang membentuk mereka pada kenyamanan alam.

Warna alami yang beribu kisah terbentuk, tempat yang dia rindu juga dia benci!

"Maaf, maaf karena pergi!" cicit Xera yang terdengar jelas di telinga Dio. Tapi, pemuda itu bertingkah seakan tidak mendengar.

"Apa Lo bilang?" tanyanya.

"Aku, maaf! Taman adalah tempat indah yang penuh kisah indah dan taman adalah tempat yang awalnya begitu kamu suka, tapi karena aku kamu jadi benci sama taman aku!" jelasnya dengan suara rendah dan serendah mungkin.

Meski begitu, Dio mendengar suaranya dengan jelas.

Entah mengapa, tapi sedikit rasa jijik dan benci itu menghilang saat melihat gadis itu menunduk polos dan meminta maaf. Tingkah Xera yang seperti ini kadang membuat Dio ragu. Apa yang akan perasaannya lakukan?

Xera membuatnya terjebak pada dua pilihan, antara memperkuat rasa benci, atau memperbaiki rasa yang pernah ada. Dia tidak tahu kemana arah tujuan Xera.

Mobil itu diam dengan udara yang bahkan berhenti bergerak. Cukup lama, sampai Dio memutuskan untuk melajukan mobil. Seperti biasa dia yang menyetir dan Xera sebagai sekertaris duduk di kursi co-pilot.

Xera yang sedari tadi diam mendongak dan menatap ke depan. Tapi, ada yang aneh! Ini bukan jalan kembali ke perusahaan. Ini jalan ke bioskop!

Menatap Dio dengan kaget, dia ingin berbicara tapi tidak tahu apa yang ingin dia ungkapkan.

"Tiga puluh menit lagi jam kerja habis, daripada membuang waktu di jalan, lebih baik menonton!" ujar Dio sok santai.

Dia juga berdegup kencang, dia berbohong walau apa yang dia ungkapkan memang benar. Tapi, kenyataan nya dia yang begitu ingin menonton. Dia tidak tahu apa alasannya! Dia hanya ingin menonton!

Seakan sesuatu yang menjadi beban telah hilang dengan melihat mata berbinar Xera, dia sedikit menarik nafas lega. Tangannya yang sempat mengencang pada setir menjadi rileks. Sampai sebuah benda kenyal hinggap di pipi kirinya.

Benda itu begitu lembut dan lembab, mengerem mobil mendadak, kepala mereka maju kedepan. Untunglah Dio memakai sabuk pengaman.

Tapi, Xera tidak, dia meringis dengan kepalanya yang sedikit berdarah.

"Aduh, kamu kenapa sih Dio, kok berhenti mendadak? Sakit tahu!" ujar Xera.

Dia mengelus kepalanya yang terpantuk. Sayangnya dia tidak tahu jika kepalanya berdarah, jadi darah itu menyebar dan menjadi berantakan. Seakan melihat ada yang aneh dengan kepalanya yang jadi kasar dan basah. Dia menurunkan tangannya dan melihat noda darah.

Tubuhnya bergetar!

"Darah!" ujar Xera seperti putus asa.

Seperti ada yang begitu besar terjadi, dia dengan panik membuka pintu mobil dan berlari keluar. Untunglah jalan ini sepi dan mereka menyetir di pinggir jalan.

Dio yang sadar hendak menghentikan Xera, tapi disaat yang bersamaan itu dua melihat sebuah mobil menyerempet Xera.

"Xera!" teriaknya.

Dengan tergesa-gesa dia berlari kesana. Mobil itu berhenti saat tahu dia menabrak seseorang. Didepan mobil, Xera tergeletak tak berdaya. Tubuhnya berlumur darah, dengan cepat Dio meraihnya dan memeluknya. Kerumunan disekitar mulai terbentuk dan bising.

Xera tidak tahu apa yang terjadi, dia hanya bisa melihat Dio, orang yang begitu dia cintai memeluknya dengan penuh kekhawatiran.

Tangannya dengan gemetar terangkat ini menghapus air mata Dio.

"Dio, Maaf!" ujarnya dengan senyum tak berdaya dan setelahnya dia jatuh pingsan.

Hari itu dia tidak tahu lagi apa yang terjadi! Tapi yang dia tahu, dia panik setiap kali melihat darah.

"Tidak Xera, kamu harus bertahan!" ujar Dio panik. Dia menepuk pelan pipi Xera.

Dari kerumunan, ada bunyi ambulans terdengar. Dengan tergesa-gesa, dia mengendong Xera dan menghampiri ambulans. Untunglah rumah sakit tak jauh dari sini, jadi ambulans dengan cepat datang.

"Pak saya akan ikut, karena saya turut bertanggung jawab!" ujar seseorang yang tidak Dio hiraukan.

Fokusnya hanya pada Xera!

Dia sangat panik, dia juga merasa bersalah. Dia seharusnya tidak membeku saat melihat Xera terluka.

Tidak, dia seharusnya tidak mengerem mendadak!

Tidak, ini salahnya karena lupa mengunci pintu mobil!

Dan ini salahnya karena lupa dengan Xera yang sering tidak terkendali setiap kali melihat darah.

Seharusnya dia ingat saat Xera menghilang satu hari satu malam karena panik melihat darah. Saat itu Xera terluka, karena tidak sengaja terjatuh.

Seharusnya dia ingat!

"***"

Sampai disini dulu dan jangan lupa tarik!