Chereads / My: Second Life / Chapter 6 - Kembali ke Neraka

Chapter 6 - Kembali ke Neraka

Hampir saja gelas yang dipegang Clareta jatuh ke lantai begitu dia mendengar ucapan ayahnya malam itu.

"Harris, tolong pikirkan sekali lagi." Mervia membujuk. "Anak kita masih trauma karena perlakuan kasar Vico."

Harris meraih selembar tisu dan membersihkan bibirnya, setelah itu dia memandang Mervia dan Clareta bergantian.

"Vico itu tidak seburuk yang kalian pikirkan." Dia menegaskan dengan tajam. "Kalian hanya perlu mengenalnya lebih jauh lagi."

Mervia kini menatap suaminya dengan mata menyipit.

"Kalau menurut kamu, aku dan Clareta belum mengenal Vico dengan baik, kenapa kamu bisa sampai hati menikahkan putri kita sama dia?" kecamnya.

Clareta menunduk menatap meja makan dengan kemarahan membuncah di dada.

"Tentu saja karena aku sangat mengenalnya," kilah Harris. "Aku tidak mungkin salah memilih pendamping hidup untuk anakku sendiri, Mervia."

Clareta mendongakkan wajah dan memandang Harris.

"Bisa jadi Ayah memang lebih mengenal Vico daripada aku, tapi aku yang akan menjalani semua ini." Dia berkomentar. "Bahagia atau enggaknya, aku yang akan merasakan semua itu dan bukannya Ayah."

Harris menarik napas.

"Ayah tidak mau dibantah," katanya dengan nada sangat tegas. "Setelah ini, Reyfa akan membereskan baju-baju dan semua keperluanmu. Besok pagi, ayah sendiri yang akan mengantarmu ke rumah yang sudah ayah siapkan."

"Harris, tolong ..."

"Aku tidak menerima alasan apa pun, Mervia." Harris menggelengkan kepala, kemudian dia berdiri dan berjalan pergi meninggalkan anak beserta istrinya meja makan.

"Bu?" Clareta memandang ibunya dengan penuh harap. "Aku nggak mau kembali sama Vico ..."

Mervia mengangkat tangan dan mengusap kepala putrinya dengan hati masygul.

"Sementara ini ibu belum bisa berbuat apa-apa untuk meluluhkan hati ayah kamu," katanya dengan nada menyesal. "Tapi kamu jangan khawatir, ibu akan sering-sering mengunjungi kamu."

Clareta hanya bisa mengangguk lemah karena dia juga tahu bahwa Mervia tidak cukup berdaya untuk melawan kehendak Harris.

Sisa malam itu dihabiskan Clareta dengan bermuram durja di depan Reyfa yang sibuk mengisi kopernya dengan baju-baju yang akan Clareta bawa ke rumah yang sudah disiapkan Harris.

"Nona jangan sedih," kata Reyfa, mendongak menatap majikan mudanya. "Saya akan ikut ke manapun Nona pergi, jadi kalau Tuan Vico macam-macam, saya bisa melaporkannya kepada Tuan Harris."

Clareta mengangguk lemah. Meskipun dia tidak yakin kalau ayahnya akan percaya, tetapi itu jauh lebih baik daripada dia hanya sendirian bersama Vico.

Keesokan paginya, Harris betul-betul menepati ucapannya. Dia yang menyetir sendiri mobil yang akan membawa putrinya kembali pada tangan Vico sang menantu kesayangannya.

Sepanjang perjalanan ke rumah yang dituju, baik Clareta ataupun Mervia sama-sama berwajah muram. Tidak ada satupun yang mau bersuara sekadar untuk mengisi kekosongan di antara mereka.

Setibanya di rumah, Vico menyambut kedatangan kedua mertuanya dengan senyum tersungging di bibirnya yang melengkung.

"Mampir dulu, Yah? Bu?" ajak Vico sembari memandang kedua mertuanya bergantian.

"Ayah tidak bisa lama-lama, Vico." Harris menggelengkan kepala. "Ayah ke sini hanya untuk mengantar Clareta kembali sama kamu ..."

"Tolong perlakukan putri saya dengan sebaik mungkin," sahut Mervia yang tidak tahan melihat sikap Vico yang begitu manis.

"Mervia," tegur Harris singkat.

"Tentu saja saya akan memperlakukan istri saya sebagaimana mestinya," sahut Vico masih sambil tersenyum.

Tentu saja Clareta tidak bisa percaya dengan ucapan manis Vico, termasuk Mervia yang rasanya begitu enggan untuk melepas putri semata wayangnya tinggal bersama Vico.

"Ibu pergi dulu, ya?" pamit Mervia sambil mengusap bahu Clareta. "Jangan lupa untuk sering-sering telepon ibu."

"Iya Bu," angguk Clareta.

Harris dan Mervia masuk kembali ke mobil mereka, setelah itu mereka berlalu pergi dari hadapan Clareta yang nyaris tidak bisa tersenyum.

"Ayo masuk," ajak Vico kepada Clareta dan Reyfa yang masih berdiri membisu.

"Saya permisi dulu," ucap Reyfa sembari mengangkut koper Clareta dan membawanya ke dalam rumah.

Vico menoleh memandang istrinya.

"Selamat datang kembali di neraka," sambut Vico sambil menyeringai ke arah Clareta. "Cepat masuk."

Clareta diam saja dan bergegas pergi tanpa menunggu suaminya.

Seharian itu Clareta melewatkan waktunya hanya dengan mengekor Reyfa ke manapun dia pergi sementara Vico berada di kantor.

Ketika malam hari tiba, barulah mimpi buruk itu dimulai.

"Garis jodoh tetap nggak bisa dihindari," kata Vico kepada Clareta saat mereka akan tidur bersama dalam satu kamar. "Pada akhirnya kamu juga kembali sama aku, kan?"

Clareta tersenyum sinis.

"Cuma karena ayahku yang minta," sahutnya sambil mengibaskan selimut yang akan dia pakai.

"Ayah kamu sangat menyayangi aku," kata Vico dengan nada berbangga hati. "Lihat saja apa yang dia berikan ke aku sebagai tebusan atas dosa besar yang diperbuat putri semata wayangnya."

Clareta mengernyitkan keningnya.

"Paling juga uang," komentar Clareta dengan nada meremehkan.

"Rumah dan seisinya," ralat Vico sambil melipat kedua tangannya di dada.

Clareta mendengus.

"Sekarang aku tahu apa motivasimu mau menikah sama aku," katanya datar. "Kalau cuma karena harta, kamu sudah mendapatkannya. Kamu nggak perlu minta apa pun lagi dariku."

Vico berputar di tempatnya berdiri dengan congkak dan memandang Clareta dengan penuh kemenangan.

"Tentu saja aku harus tetap mendapatkan hakku yang lainnya sebagai suami," kata Vico sembari mengernyitkan keningnya. "Dan kamu harus melakukan kewajiban kamu."

Clareta hanya bergeming.

"Malam ini juga," sambung Vico tegas.

Clareta tetap diam saja, dia merasa tidak punya jalan selain pasrah dan menerima apa yang kini sedang dia hadapi.

Sehingga dia hanya bisa membiarkan Vico mulai menjarah kemerdekaannya dan membuat banyak jejak cinta di sekujur tubuh moleknya.

Sedikitpun Clareta tidak mau membalas setiap belaian Vico yang mendarat di kulitnya. Dia memilih menjadi robot tak bernyawa yang membiarkan Vico bisa memperlakukannya dengan bebas.

Hingga malam yang tidak diinginkan Clareta itu berakhir setelah Vico mendapatkan haknya sebagai suami, meskipun di satu sisi ada istri yang merasa tersakiti akibat perlakuannya.

"Kenapa Anda tidak coba menjalaninya saja, Nona?" tanya Reyfa ketika Clareta memintanya untuk membeli pil pencegah kehamilan esok paginya. "Tuan Vico kan suami Anda yang sah."

Clareta menarik napas panjang.

"Kamu nggak akan mengerti," katanya putus asa. "Vico nggak sebaik itu, aku tetap nggak mau mengandung darah dagingnya. Jadi tolong hari ini juga kamu belikan obat itu untukku."

"Baik, Nona." Reyfa menganggukkan kepalanya dan tidak bertanya apa-apa lagi.

Setelah Vico berangkat ke kantor, Clareta segera membersihkan dirinya untuk menghilangkan bekas-bekas cinta yang ditinggalkan Vico di kulitnya.

Meskipun Vico adalah suami sahnya, tetap saja Clareta merasa jijik dan ternoda karena pria itu telah berhasil merenggut hartanya yang paling berharga.

"Daniel ..." gumam Clareta sambil memandang bayangannya sendiri di cermin. "Seharusnya aku melakukan itu sama Daniel, bukannya Vico ..."

Clareta mengerutkan wajahnya dan menangis menyesali nasibnya sekarang.

Bersambung -