Melihat Clareta yang hanya diam saja, pemuda yang lain mulai bergerak mendekati mobil wanita itu tanpa izin.
"Hm, ada sesuatu yang bisa digunakan tidak?"
"Sedang diperiksa ...."
Clareta menoleh ketika dua dari tiga pemuda itu mendekati mobilnya.
"Kalian ngapain?" tegur Clareta keras.
"Mau membantu kamulah," sahut seorang pemuda.
"Tapi kalian tidak perlu dekat-dekat mobil saya!" protes Clareta sambil berjalan mendekat, takut kalau-kalau mereka menyadari tasnya yang berisi barang dan surat-surat berharga siap untuk mereka rampas.
"Kami cuma mau membantu kamu," kata pemuda yang memakai anting di telinga kanannya.
"Di sini sepi sekali, Nona. Kami khawatir ada sesuatu yang akan melukai kamu ...."
Clareta mulai was-was berlebihan kala hidungnya membaui aroma alkohol yang menguar di udara.
"Tolong tinggalkan saya, sebentar lagi akan ada orang yang menjemput saya kok." Clareta menyuruh dengan nada sopan.
"Kamu mengusir kami, Nona?"
"Hargai sedikit niat baik kami ini ...."
"Kami cuma mau menolong ...."
"Kalau begitu jangan dekat-dekat mobil saya!" seru Clareta tegas. "Saya tidak mau ribut sama kalian, jadi saya minta baik-baik untuk segera pergi meninggalkan saya dan mobil saya."
Pemuda yang ada di belakang Clareta ikut bergabung dan menegurnya.
"Jangan menguji kesabaran kami, Nona." Dia mengingatkan. "Kalian berdua, cepat kalian bongkar isi mobilnya. Cari benda berharga apa saja yang bisa dijadikan uang!"
Mereka perampok, batin Clareta dengan wajah tegang.
"Tolong jangan!" cegah Clareta sambil memajukan langkahnya. Namun, pemuda yang ada di sampingnya langsung menarik lengan wanita itu dengan keras.
"Berani macam-macam, saya akan lebih macam-macam lagi sama kamu." Pemuda itu mengancam tegas.
"Kamu ... mereka ... kalian ternyata mau merampok saya ..." Clareta menyadari tujuan jahat mereka saat semuanya sudah terlambat.
"Responsmu sangat lamban sekali, Nona." Salah satu dari mereka mengejek. "Kalau saya jadi kamu, saya sudah dari tadi lari menyelamatkan diri."
"Dan meninggalkan mobil saya sendiri di sini untuk kalian jarah?" sentak Clareta.
"Memangnya kamu punya apa lagi selain mobil yang bisa dijarah?" tanya pemuda yang ada di samping Clareta. "Ah, saya paham."
Mendadak Clareta merasakan mata nakal pemuda itu menyapunya dari atas ke bawah di mana dua kaki jenjangnya muncul dari balik rok sepan yang dia kenakan.
"Saya bisa merampas harta lain yang kamu sembunyikan di sana," ucap pemuda itu lagi sambil mengarahkan pandangan laknatnya ke arah bagian bawah tubuh Clareta yang semampai.
"Jangan macam-macam!" seru Clareta memperingatkan. "Atau saya akan ...."
"Teriak? Silakan saja," potong pemuda itu dengan tatapan kurangajar. Tidak menunggu waktu lama, dia bergegas menarik Clareta ke dalam mobilnya sendiri.
"Beri aku jalan," perintah pemuda itu kepada dua temannya yang lain.
Saat keduanya menyingkir, Clareta segera dia empaskan masuk ke mobil itu.
"Hentikan, mau apa kamu?" seru Clareta dengan wajah mengerut ketakutan. "Kalau kamu macam-macam, saya akan teriak sekencang-kencangnya!"
"Coba saja," tantang pemuda itu dengan ekspresi lapar di wajahnya. "Kalian berdua, hei! Ayo kita nikmati nona ini bergantian?"
Clareta menggigit bibirnya dengan ngeri, dia memandang berkeliling dan berharap ada malaikat penolong yang kebetulan lewat di tempatnya sekarang.
"Tolong jangan lakukan itu ..." pinta Clareta dengan wajah memohon, saya akan berikan berapapun uang yang kalian mau. Tapi tolong
... jangan apa-apakan saya."
"Sudah terlambat, nona cantik ... kamu sudah membangunkan sesuatu yang ada pada diri saya ...."
"Jangan, saya mohon ...."
Pemuda itu tidak mempedulikan permohonan Clareta, dia merangsek masuk mobil sementara dua pemuda yang lain berjaga.
"Tolong!" Clareta berteriak sejadi-jadinya. "Tolong!"
"Diam, perempuan bodoh!"
"Jangan lakukan apa pun, jangan!" Clareta meronta ketika sepasang tangan menarik bahunya dengan kekuatan penuh.
"Tidak, saya mohon! Jangan sakiti saya!" Clareta berusaha mempertahankan harta terakhir yang dia miliki.
Pemuda yang sudah gelap mata itu tidak mempedulikan apa yang ditangiskan Clareta. Dalam kegelapan napsunya dia tetap ingin merenggut apa yang ada di balik rok sepan yang Clareta kenakan.
"Bedebah!" Sebuah teriakan menggelegar menyela niat laknat si pemuda yang mulai menyibak kulit halus Clareta.
Sejurus kemudian, Clareta merasakan pemuda itu ditarik mundur dengan paksa.
"Siapa kamu?"
"Jangan ikut campur!"
"Begini cara kalian? Laki-laki macam apa yang beraninya menyakiti perempuan tidak berdaya? Pengecut semuanya ...."
"Ck, banyak omong kamu!"
"Hajar!"
Clareta merapikan pakaiannya sementara suara ribut-ribut dan baku hantam mulai terdengar di luar.
"Kalian masih muda tapi kebanyakan tingkah!"
"Argh, ampuni kami, Pak!"
"Kami janji tidak akan mengulanginya ...."
"Enyah sekarang juga, atau saya akan jebloskan kalian semua ke penjara!"
"B-baik Pak!"
Clareta gemetaran di dalam mobilnya dan tidak berani bergerak satu sentipun saat pemuda-pemuda berandalan itu lari tunggang langgang meninggalkan kawasan.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya sebuah suara, diikuti dengan munculnya seorang pria di depan pintu mobil Clareta yang terbuka.
"Daniel?" ucap Clareta terkejut saat melihat seraut wajah yang diterpa cahaya remang-remang lampu jalanan.
"Clareta? Jadi kamu ... astaga!" Daniel menggelengkan kepala.
"Aku takut sekali, Dan!" seru Clareta antara lega dan ngeri saat Daniel membantunya keluar dari mobil.
"Apa yang terjadi? Bagaimana kamu bisa diganggu sama mereka?" tanya Daniel khawatir. "Untung saja aku kebetulan lewat, kalau tidak ...."
Clareta mencengkeram lengan Daniel, setelah itu dia menceritakan bagaimana bisa dirinya terjebak dalam situasi gawat tadi.
"Aku takut sekali, Dan!" ucap Clareta dengan suara bergetar. "Seandainya kamu nggak lewat, mungkin aku akan ... aku akan ...."
Daniel merengkuh bahu Clareta ke dadanya tanpa berkata apa-apa.
"Ban mobilmu sepertinya bocor," kata Daniel ketika dia memeriksa kondisi mobil Clareta yang mogok.
"Lalu aku pulangnya bagaimana?" tanya Clareta bingung. "Malam selarut ini, apakah ada taksi yang masih lewat?"
Daniel menimbang-nimbang sebentar.
"Aku akan mengantarmu pulang," katanya setelah terdiam sebentar. "Mobilmu biar diderek dan dimasukkan bengkel, biar aku yang urus. Kamu keberatan?"
"Tentu saja tidak," jawab Clareta. "Aku malah sangat berterima kasih."
Daniel mengangguk dan segera menghubungi seseorang melalui sambungan ponselnya.
"Ayo?" ajak Daniel ketika urusannya sudah selesai. "Aku akan mengantar kamu ke rumah Pak Harris ...."
"Nggak usah," geleng Clareta. "Aku sudah sewa rumah sendiri kok Dan, aku nggak tinggal sama ayah ibuku lagi."
"Oke," angguk Daniel sambil membawa Clareta ke mobilnya sendiri begitu orang yang menderek mobil Clareta telah pergi.
Selama menyetir, Daniel tidak mengajak Clareta mengobrol sepatah katapun. Dia terus mengemudi dalam diam, seolah membiarkan Clareta tenggelam sendiri dalam pikirannya.
"Kenapa kamu pulang sendiri malam-malam?" tanya Daniel akhirnya, memecah tembok keheningan di antara mereka berdua.
"Aku sudah terbiasa sendiri sejak bercerai dari Vico," jawab Clareta apa adanya. "Kebetulan tadi aku baru saja makan malam bersama ayah dan ibuku."
Daniel menganggukkan kepala sambil terus mengemudi.
"Dan?" panggil Clareta ragu-ragu. "Apa kamu ... masih suka memikirkan aku?"
"Tidak," jawab Daniel tanpa berpikir, membuat Clareta merasakan suatu pukulan yang teramat sangat di hatinya.
Bersambung -