Chereads / My: Second Life / Chapter 8 - Memaksakan Pernikahan

Chapter 8 - Memaksakan Pernikahan

Mervia mengusap-usap kepala putrinya sambil melempar pandang muram ke arah Harris.

"Ayah nggak pernah percaya sama aku ..." isak Clareta dengan hati tersayat-sayat. "Ayah selalu membela Vico seakan dia anaknya sendiri ..."

Mervia tidak tahan lagi jika harus berdiam diri sementara putrinya diperlakukan semena-mena oleh sang menantu.

"Kita harus menegur Vico," katanya geram. "Aku tidak terima dia memperlakukan putri kita seperti ini."

Harris tidak langsung menanggapi.

"Kamu tenang saja, Sayang." Mervia melepas pelukan anaknya dan memandang wajah Clareta lekat-lekat. "Ibu akan berusaha untuk mengeluarkan kamu dalam situasi ini."

Clareta mengangguk dan memilih untuk mempercayakan masalah ini kepada ibunya.

"Vico hanya berusaha mendidik anak kita agar bisa menjadi istri yang baik," ujar Harris lambat-lambat. "Apa itu salah?"

"Tapi bukan seperti ini caranya," sahut Mervia tegas. "Seorang suami seharusnya bisa mendidik istrinya dengan lemah lembut, penuh kasih sayang dan sabar. Bukan memakai kekerasan verbal apalagi fisik seperti yang dilakukan Vico."

Harris memandang istrinya sementara Clareta hanya diam mendengarkan tanpa berani bicara sepatah katapun.

"Lagipula siapa suruh kamu menikahkan Clareta dalam usia yang masih sangat muda?" tanya Mervia sambil menatap suaminya. "Sudah bagus dia berada dalam didikan kita sambil menunggu usianya matang dan siap kita nikahkan dengan pria pilihannya."

Harris balas menatap istrinya lurus-lurus.

"Jadi kamu mau bilang kalau aku salah memilih pendamping untuk anak kita?" katanya menuduh.

"Menurut kamu?" tanya Mervia berani. "Sejak awal, kamu yang memaksakan pernikahan ini. Clareta hanyalah korban dari keegoisan kamu saja."

Harris tidak segera menjawab, diliriknya Clareta yang duduk tertunduk di kursinya.

"Anak kita belum betul-betul siap untuk menjadi seorang istri," sambung Mervia lagi. "Tolong kamu pikirkan baik-baik, sebelum semuanya terlambat."

Clareta hanya mampu meremas kesepuluh jari tangannya, berharap jika Harris akan luluh hatinya dan memberi izin padanya untuk berpisah dengan Vico.

"Lama-lama anak kita juga akan siap," ucap Harris tenang. "Semua itu ada proses yang memang harus dijalani. Jadi Clareta, belajarlah untuk menjadi istri yang baik untuk Vico, dia pasti akan jauh lebih baik dalam memperlakukan kamu nantinya."

Clareta memberanikan diri untuk mendongakkan wajah dan menatap ayahnya.

"Aku tetap mau berpisah dari Vico," ucap Clareta pelan. "Aku sama sekali nggak mencintai dia, Yah ..."

Harris diam saja dan enggan berkomentar, dan Clareta harus menahan pil pahit kegagalan dalam membujuk ayahnya.

Setelah Harris tidak mengizinkannya untuk berpisah dengan Vico, Clareta menyuruh Reyfa untuk menyetok pil pencegah kehamilan sebanyak mungkin.

"Nona, saya rasa ini bukanlah keputusan yang baik ..." Reyfa mengingatkan. "Bagaimana kalau rahim Anda terganggu?"

"Aku nggak peduli,"geleng Clareta putus asa. "Sampai kapanpun aku nggak akan mau mengandung anak dari pria arogan seperti Vico."

Reyfa tidak berkata apa-apa lagi karena dia sudah membelikan stok obat pencegah kehamilan untuk majikan mudanya.

Bulan demi bulan terus berlanjut dan kehidupan rumah tangga Clareta bukannya membaik, justru semakin menjadi-jadi.

Clareta sudah berusaha untuk melakukan semua hal yang dikehendaki Vico, dari mulai melayani keperluan makan, baju kerja, hingga kebutuhan biologisnya meskipun dia melakukannya dengan sangat terpaksa.

Atau lebih tepatnya dipaksa.

Namun, Vico tidak juga merasa puas dengan pelayanan yang berusaha Clareta berikan kepadanya.

"Aku heran bagaimana sebenarnya ibu kamu mendidikmu," cemooh Vico sambil mengancingkan kemejanya lagi setelah dia menyalurkan kebutuhan biologisnya kepada sang istri. "Nggak ada istimewanya sama sekali."

Clareta yang tergolek lemah hanya bisa mencengkeram selimut yang menutupi tubuhnya tanpa membalas cemoohan Vico. Dia bahkan sudah terlalu lelah untuk sekadar mengambil napas terlalu sering.

Setelah kebutuhannya terpenuhi, Vico melenggang pergi begitu saja meninggalkan Clareta tanpa ucapan terima kasih sedikitpun.

"Dan ...?" rintih Clareta tertahan. "Kamu di mana ...?"

Begitu mengingat Daniel, harapan hidup Clareta seakan tumbuh kembali. Dia memaksa dirinya bangun dan mencari obat pencegah kehamilannya. Segera ditenggaknya obat itu dengan harapan apa yang ditembakkan Vico ke jalan lahirnya tidak akan berbuah.

***

Hampir satu tahun lamanya Clareta menjalani kehidupan rumah tangganya dengan siksa batin yang sungguh nyata. Apalagi sejak Vico mulai sering pulang malam dalam keadaan mabuk dengan beberapa bekas lipstik di lipatan kerah kemeja yang dipakainya.

"Vico?" panggil Clareta karena dia sudah tidak tahan lagi dengan kelakuan suaminya. "Kalau kamu memang sudah nggak berniat meneruskan pernikahan ini, lebih baik kita pisah saja."

Vico diam dan hanya memijat-mijat pelipisnya tanpa menanggapi ucapan Clareta.

"Pernikahan kita sudah nggak sehat," sambung Clareta lagi. "Kamu mulai berani mengkhianati aku di belakang ..."

"Aku mengkhianati kamu?" Vico mendongak menatap Clareta dan tersenyum miring. "Ngomong apa kamu ini? Apa kamu sedang mabuk?"

Vico berdiri dan berjalan sempoyongan di hadapan Clareta.

"Kamu jangan sengaja mengarang alasan hanya demi pisah dari aku," katanya memperingatkan, diangkatnya dagu Clareta hingga mendongak menatapnya. "Kamu pikir gampang apa bercerai? Ayah kamu nggak akan akan setuju."

Clareta balas menatap Vico lekat-lekat, dia tidak akan begitu bodoh sehingga akan menunjukkan kemeja yang ternoda bekas lipstik perempuan kepada suaminya sebagai barang bukti.

Vico bisa saja melenyapkannya untuk menghilangkan jejak kesalahannya.

"Aku ... aku pernah melihat bekas lipstik di kemeja kerja kamu," ucap Clareta pelan. "Kamu nggak bisa mengelak lagi, Vic."

"Ah ..." Vico terpaku sambil menatap manik cokelat mengilat milik Clareta. "Kamu bisa tunjukkan bukti itu?"

Clareta diam tidak menjawab.

"Kamu nggak bisa membuktikan apa-apa, Clareta!" tawa Vico sambil mengempas dagu istrinya. Kemudian dia berbalik dan membuka lemari pakaiannya dengan marah, segera dikeluarkannya beberapa potongan kemeja kerja miliknya di depan wajah Clareta yang memucat.

"Buktikan, cepat!" suruh Vico garang sambil membanting sepotong kemeja terakhir di dekat kakinya, setelah itu dia berjalan pergi meninggalkan Clareta sendiri di kamar.

Clareta menarik napas, Vico tidak tahu saja kalau dia sudah menyembunyikan barang bukti dan juga memasang kamera pengintai di kamar mereka.

Beberapa hari setelah itu, Clareta menyortir rekaman kamera pengawasnya yang menunjukkan dengan akurat bagaimana sepak terjang Vico selama ini dalam menjalani kehidupan berumah tangga dengannya.

Sebentar lagi, ayahnya akan tahu siapa sebenarnya menantu kesayangannya itu.

Clareta dengan tenang membawa rekaman dan kemeja berlipstik yang sudah dia siapkan di dalam tasnya menuju rumah sang ayah.

Pada awalnya, Harris dengan tegas menolak bahwa bekas lipstik di kemeja kerja Vico adalah milik perempuan lain dan berkeras jika itu milik Clareta sendiri yang sengaja dia rekayasa untuk menjatuhkan Vico.

"Ayah masih nggak percaya?" tanya Clareta sambil menahan rasa sakit hati di dadanya. "Oke, itu nggak penting lagi sekarang. Tapi akan jauh lebih bagus kalau Ayah tahu kelakuan Vico yang sebenarnya sama aku di rumah."

Mervia menatap putrinya dengan penuh tanda tanya saat Clareta mengeluarkan bukti rekaman tentang kekerasan yang sering diterimanya dari Vico selama ini.

Bersambung –