Chereads / My: Second Life / Chapter 11 - Bayang-bayang Kenangan

Chapter 11 - Bayang-bayang Kenangan

Sejak pertemuan pertamanya setelah berpisah sangat lama, Clareta tidak bisa mengenyahkan sosok Daniel begitu saja dari pikirannya.

Wajah Daniel yang tidak banyak berubah kini tengah menari-nari dalam kepala Clareta, memaksanya untuk mengenang kembali kebersamaan mereka dahulu.

"Nona?" panggil Reyfa. "Saya pulang dulu, kalau ada apa-apa silakan hubungi saya."

"Iya," angguk Clareta tanpa bersemangat.

Reyfa memandangnya dengan wajah maklum.

"Anda pasti terus memikirkan Daniel," komentarnya.

"Aku harus bagaimana, Rey?" keluh Clareta resah. "Aku senang bisa bertemu lagi sama Daniel setelah waktu sepuluh tahun ... tapi kenapa dia seakan nggak menghendaki pertemuan kami?"

Clareta balas memandang asisten pribadinya dengan merana.

"Nona, sepuluh tahun bukanlah waktu yang sebentar," ujar Reyfa lambat-lambat. "Banyak hal yang bisa terjadi dalam waktu sepuluh tahun itu."

Clareta menarik napas, sependapat dengan apa yang diutarakan Reyfa meskipun rasanya dia tidak ingin.

"Kamu bertemu Daniel?" ucap Mervia terkejut ketika Clareta bercerita kepada ibunya tentang pertemuannya dengan Daniel di butik. "Kerja di mana dia sekarang?"

Clareta menjawab pertanyaan ibunya dengan gelengan kepala.

"Aku nggak tahu, Bu. Tapi dia kelihatannya sudah sesukses yang ayah harapkan," ujar Clareta pelan. "Bu, apa aku ... masih punya kesempatan untuk memperbaiki hubungan aku sama Daniel?"

Mervia menatap Clareta lekat-lekat tanpa bisa menjawab pertanyaan putri semata wayangnya.

"Ibu nggak berani bilang apa-apa soal hubungan kamu sama Daniel, Sayang ..." kata Mervia. "Akan jauh lebih baik kalau suatu saat nanti kamu punya kesempatan untuk bertanya langsung kepadanya."

Clareta menghela napas.

"Aku juga nggak punya keberanian untuk bertanya apa pun seandainya aku diberi kesempatan untuk bertemu lagi sama Danie," katanya tidak bersemangat, dia masih ingat bagaimana Harris mempermalukan Daniel sampai seperti itu.

Waktu terus berlalu, dan Clareta harus merelakan dirinya tenggelam dalam bayang-bayang kenangannya bersama Daniel. Ada perasaan mendesak dalam hatinya untuk mencari tahu tentang di mana keberadaan mantan kekasihnya itu sekarang.

"Anda serius, Nona?" tanya Reyfa memastikan ketika Clareta meminta bantuannya untuk mencari Daniel.

"Aku sangat terusik sama pertemuan dulu itu," jawab Clareta sambil berjalan mondar-mandir dengan jari-jari tangan tak hentinya saling meremas kalut. "Aku harus bertemu sama Daniel lagi, seenggaknya untuk minta maaf."

"Tapi bagaimana kalau ternyata ... Daniel sudah memiliki tambatan hati yang lain?" tanya Reyfa logis.

Clareta seketika berdiri mondar-mandir dan menoleh memandang Reyfa.

"Maaf Nona, saya cuma tidak ingin melihat Anda ... kecewa. Apa saja bisa mungkin terjadi, kan?" ujar Reyfa hati-hati.

"Kamu benar," sahut Clareta sambil menganggukkan kepalanya. "Aku sebenarnya cuma mau menyelesaikan apa yang dulu belum selesai di antara kami."

Reyfa mengangguk mengerti.

"Tapi kalau Daniel memang sudah memiliki tambatan hati yang lain ..."

"Itu berarti dia memang mengangap kalau hubungan kami sudah benar-benar berakhir," sambung Clareta, menyela ucapan Reyfa.

Clareta duduk di kursinya sambil bertopang dagu. Setelah sekian lama dia tersiksa dengan kelakuan Vino dalam pernikahannya, sekarang dia harus lebih tersiksa memendam kerinduan yang membuncah kepada mantan kekasihnya.

Tanpa dia tahu apakah Daniel juga sama merindunya seperti dirinya.

"Clareta, apa kamu belum mau menikah lagi?" tanya Harris saat Clareta datang memenuhi undangan makan malam di rumahnya. "Ayah lihat kamu sudah cukup lama sendiri ..."

Mervia melirik Clareta, berharap semoga putrinya tidak terganggu dengan pertanyaan yang dilontarkan Harris kepadanya.

"Nanti kalau aku sudah bertemu dengan pria impianku," jawab Clareta datar.

"Seperti apa kira-kira pria impian kamu itu?" kejar Harris ingin tahu.

Clareta menghela napas sebelum menjawab.

"Seperti Daniel kira-kira," katanya.

Harris menggelengkan kepalanya tak percaya.

"Dia lagi, dia lagi ..." katanya dengan nada meremehkan. "Apa tidak ada lagi pria di dunia ini selain Daniel? Apa yang kamu harapkan dari dia?"

Clareta mengangkat wajahnya dan memandang Harris dengan berani.

"Aku berharap Daniel belum menemukan tambatan hati, sehingga aku bisa memperbaiki hubunganku kembali dengannya." Dia menjelaskan.

"Kamu pisah dari Vino untuk mencari pria lain yang lebih baik, tentu ayah akan sangat mendukung kamu." Harris berkomentar. "Tapi ini? Kamu malah mau kembali sama Daniel, apa pikiran kamu baik-baik saja?"

Mervia memutuskan masuk di antara percakapan suami dan anaknya itu.

"Harris, kamu bertanya dan Clareta menjawabnya dengan pendapat sendiri. Tolong hargai dia," pinta Mervia. "Sekali ini saja dengarkan apa yang diputuskan oleh putri kita."

Harris menoleh memandang istrinya.

"Apa gunanya aku menjadi orang tua kalau tidak bisa membimbing anaknya untuk tidak mengambil pilihan yang salah?" katanya tidak sependapat.

"Lalu menurut Ayah apakah semua keputusan Ayah itu sudah pasti benar?" sahut Clareta datar. "Lihat saja apa yang telah dilakukan Vino terhadapku."

Mervia mengusap bahu putrinya tanpa berkata apa-apa.

"Ayah tidak tahu lagi apa hebatnya Daniel sampai kamu terus memikirkannya," komentar Harris sambil memandang piringnya.

Usai jamuan makan malam, Clareta pamit undur diri untuk kembali ke rumahnya sendiri.

"Apa kamu tidak mau menginap semalam saja di sini?" tanya Mervia saat mengantar Clareta ke mobilnya. "Ini kan rumah kamu juga."

Clareta menggelengkan kepalanya.

"Tidak Bu," kata Clareta. "Aku masih sangat berseberangan sama ayah dan trauma jika ayah mengatur hidupku lagi."

"Sebenarnya niat ayah kamu baik, dia hanya salah mengungkapkannya." Mervia menjelaskan. "Menginaplah, bahaya malam-malam kamu menyetir sendiri."

Clareta menatap wajah ibunya sambil tersenyum.

"Aku sudah sering menyetir sendiri saat lembur di butik," katanya. "Ibu nggak perlu khawatir, aku pulang dulu."

"Hati-hati," ucap Mervia, yang tak kuasa lagi menahan kepergian putri semata wayangnya.

Hari sudah cukup larut ketika Clareta mengendarai mobilnya sendiri menuju rumahnya. Jalanan besar nampak lengang dengan satu-dua mobil dan motor yang sesekali melintas.

"Tumben sepi sekali," gumam Clareta sembari melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya.

Meskipun sedikit was-was, Clareta tetap berusaha mengemudikan mobilnya dengan tenang.

Mobil Clareta hanya tinggal berjarak beberapa kilo saja ketika dia merasakan laju kendaraannya berubah zigzag dan menjadi sulit dikendalikan.

"Astaga!" Clareta memekik tertahan ketika dia menginjak rem tiba-tiba sehingga mobilnya terhenti seketika.

Menahan perasaan was-was, Clareta turun dari mobilnya dan mendapati jika salah satu ban kendaraannya telah kempes.

"Ya ampun, kenapa di saat sekarang ..." keluh Clareta sambil menolehkan kepalanya ke sana kemari untuk mencari pertolongan.

Ketika itu suasana di sekitar tempat Clareta berada sudah sangat sepi, membuat wanita muda itu mulai merasa merinding.

"Butuh bantuan?" tanya sebuah suara, membuat Clareta terlonjak kaget.

Clareta menoleh dan pandangannya tertumbuk pada tiga orang pemuda berwajah seram yang berdiri di hadapannya.

"Oh, nggak usah ... terima kasih!" geleng Clareta buru-buru sambil tersenyum. "Teman saya sebentar lagi datang kok ..."

Salah satu dari ketiga pemuda itu melangkah maju.

"Sudah ditelepon?" tanyanya. "Bagaimana kalau saya bantu menelepon? Mana ponsel kamu?"

Clareta terdiam dan tidak segera merespons ucapan pemuda itu.

Bersambung -