Chereads / My: Second Life / Chapter 9 - Perpisahan yang Diinginkan

Chapter 9 - Perpisahan yang Diinginkan

Awalnya Harris terlihat tidak peduli dengan apa yang akan ditunjukkan Clareta kepadanya, tapi dia mulai mengernyitkan keningnya saat melihat rekaman perlakuan semena-mena Vico saat bersamanya.

Termasuk bagaimana cara Vico menggaulinya dengan tidak manusiawi, di mana dia langsung bermain kering tanpa melakukan pemanasan terlebih dahulu hingga membuat Clareta merasakan trauma.

"Sayang, kenapa kamu baru cerita sama ibu sekarang?" tanya Mervia dengan nada miris, segera dipeluknya Clareta dengan begitu erat seolah menyesalkan apa kejadian naas yang telah menimpa putrinya.

"Ayah nggak akan percaya sama aku, Bu ..." ungkap Clareta pedih.

"Tapi ibu percaya!" angguk Mervia buru-buru sambil melepas Clareta. "Ibu selalu percaya dengan apa yang kamu katakan ... Vico sudah keterlaluan, kelihatannya saja dia begitu terpandang ... tapi serendah inikah kelakuan menantu kesayangan kamu itu, Harris?"

Mervia menoleh memandang suaminya dengan tatapan menyalahkan.

"Aku sengaja menunjukkan semua yang telah aku alami, biar ayah tahu betapa menderitanya aku selama menjadi istri Vico ..." Clareta berucap pelan. "Tapi nantinya aku hanya akan membawa rekaman yang masih pantas dilihat, sedangkan saat dia ... dia ..."

Clareta menghentikan ucapannya, rasa sesak mendadak memenuhi kerongkongannya hingga dia tidak sanggup untuk berkata apa-apa lagi.

"Puas kamu, Harris?" tanya Mervia berang saat melihat Clareta terlihat sangat tertekan. "Ini kan yang kamu mau?"

Harris tidak menjawab dan masih menunduk memandang rekaman yang ditunjukkan Clareta kepadanya.

"Bu, aku mau ke kamarku dulu ..." Clareta kelihatan sudah tidak sanggup untuk berlama-lama di ruangan Harris.

"Tentu saja, Sayang. Reyfa akan menemani kamu istirahat di sana," angguk Mervia cepat-cepat sambil menggandeng Clareta dan mengantarnya ke kamar.

"Aku akan tetap menggugat cerai Vico meskipun ayah melarangku, Bu ..." ujar Clareta saat Mervia menyuruh Reyfa mengganti seprai dan sarung bantal baru karena kedatangan putrinya yang begitu mendadak.

"Ibu akan mendukungmu, Sayang. Kali ini ibu tidak akan tinggal diam melihat kamu menderita terus seperti ini," ucap Mervia menahan nestapa. "Ibu sangat mendukung perceraian kamu dengan Vico, karena dia tidak pantas mendapatkan kamu."

Clareta tersenyum lemah di antara tangisnya.

"Aku sangat berterima kasih sama Ibu, cuma Ibu yang selalu percaya sama aku selama ini ..."

"Shh, jangan bicara yang tidak-tidak. "Ibu akan terus percaya sama kamu, Sayang."

Clareta mengangguk dan memeluk ibunya erat.

Tidak butuh waktu lama, prahara rumah tangga itupun berlanjut. Bahkan Clareta sendiri yang mendaftarkan gugatan cerainya ke pengadilan dengan ditemani Mervia.

Betapa pun Harris berusaha untuk membuat Clareta agar memikirkan dua kali keputusannya, dia sama sekali tidak tergoyahkan.

"Aku benar-benar berharap semoga proses perceraianku dengan Vico bisa cepat selesai," ujar Clareta berharap kepada ibunya saat mereka berdua sedang menikmati udara segar di kafe.

"Ibu yakin kalau hakim akan mengabulkan perpisahan kalian, kamu kan punya cukup bukti." Mervia mengangguk setuju. "Kamu hanya tinggal menyiapkan diri, karena ibu tahu ini adalah masa-masa yang berat untuk kamu."

Clareta mencoba tersenyum untuk menutupi semua luka di hatinya.

"Ayah memang sudah berhasil membuatku kehilangan Daniel, Bu." Dia mengakui. "Tapi kali ini aku nggak akan membiarkan ayah membuatku kehilangan kehidupanku ... nggak akan."

Mervia menarik napas, sejujurnya dia senang karena Clareta mulai berani menunjukkan prinsipnya.

"Ibu akan selalu mendukung kamu apa pun yang terjadi," ujar Mervia penuh kasih. "selama itu masih di jalan yang benar."

Clareta mengangguk kemudian menyesap kopinya perlahan, dia percaya bahwa pada akhirnya semua akan baik-baik saja.

"Tolong Cla, kita jangan bercerai!" Tanpa diduga, Vico mendatangi meja Clareta dan ibunya dengan wajah memohon.

Tentu saja kedua wanita itu sangat terkejut dengan kedatangan Vico yang tiba-tiba.

"Keputusan aku sudah bulat, Vic. Aku nggak mau terjebak dalam pernikahan durjana ini lebih lama lagi," geleng Clareta tegas. "Sebaiknya kamu pergi dan jangan ganggu aku."

Mervia memandang menantunya dengan tak kalah garang.

"Saya minta kamu segera pergi dari hadapan anak saya," suruhnya. "Nanti kalian juga akan bertemu di pengadilan, saya pastikan kamu akan mendapat ganjaran yang setimpal saat itu."

Vico terlihat gusar dengan sikap kedua wanita yang ada di hadapannya ini.

"Bu, tolong beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya ..."

"Terlambat," potong Mervia. "Harris mungkin sudah banyak memberi kamu kesempatan, tapi saya tidak akan memberikan kesempatan yang sama buat kamu."

"Tolong Vic, pergilah!" mohon Clareta, hatinya masih sangat sakit kalau teringat semua kekerasan yang pernah Vico lakukan kepadanya. Entah itu kekerasan verbal maupun kekerasan fisik.

"Clareta, aku mohon ..."

"Pergi!" usir Clareta yang tidak dapat menahan diri lagi.

Vico tersentak sedikit, sebelum ada orang yang melihatnya dipermalukan seperti ini, dia memilih untuk pergi saat itu juga dari hadapan mereka berdua.

"Dia sudah pergi ... dia tidak akan mendekati kamu lagi," ujar Mervia sembari merangkul bahu Clareta yang sedang rapuh.

Clareta mengangguk sambil menyeka kedua matanya, kedatangan Vico yang mendadak sempat membuat mentalnya menurun.

Namun, dia percaya bahwa pengadilan akan berpihak kepadanya dengan setumpuk bukti nyata yang dia serahkan.

Waktu terus bergulir dan perceraian Clareta dengan Vico akhirnya dikabulkan oleh pengadilan. Kedua bahunya yang semula begitu terbebani, kini seakan menjadi seringan kapas ketika dia telah resmi berpisah dari Vico.

Clareta mungkin hanyalah salah satu dari segelintir wanita yang justru jauh lebih berbahagia ketika bisa berpisah dari sang suami.

Hingga bertahun-tahun kemudian, Clareta menjalani kehidupannya seperti biasa setelah dia berusaha keras memperbaikinya dari nol. Semua itu tidak lepas dari dukungan penuh ibunya dan juga tekad kuat untuk mengubah masa lalunya yang suram menjadi masa depan yang jauh lebih baik lagi.

"Orange juice satu," pinta Clareta kepada salah seorang pelayan resto yang muncul di hadapannya. "Kamu pesan saja apa yang kamu mau, Rey."

Dia mendongak menatap asisten pribadinya.

"Iya Nona, saya orang juice juga kalau begitu." Reyfa menyebutkan pesanannya kepada pelayan resto.

Siang itu Clareta dan Reyfa sedang berada di salah satu resto langganan Harris untuk membahas prospek butik yang belum lama ini berdiri.

"Menurutmu apa aku perlu menambah produk untuk fashion pria di butik itu?" tanya Clareta ingin tahu sambil meriset pasar melalui gawainya.

"Kalau Anda mau menambahkan item untuk pria, itu berarti slogan butiknya harus diubah." Reyfa menyarankan. "karena sudah bukan butik khusus wanita lagi."

Clareta mengangguk dan mempertimbangkan pendapat yang disampaikan Reyfa kepadanya.

Saat sedan asyik berdiskusi, tanpa sengaja mata Clareta menangkap siluet seseorang yang sangat dia kenal di meja yang berada jauh di ujung sana.

"... akan lebih bagus lagi kalau Anda menambahkan ..."

Clareta hampir tidak mendengarkan apa yang sedang diucapkan asisten pribadinya, karena dia lebih fokus menatap siluet yang begitu familiar di matanya meskipun dalam jarak yang begitu jauh.

Bersambung -