Clareta tidak mungkin salah lihat.
"Itu Daniel!" cetus Clareta tertahan.
Reyfa menatap Clareta dengan bingung, tidak berapa lama kemudian dia menoleh dan celingukan mencari sosok yang di cari-cari majikan mudanya.
"Di sebelah mana, Nona?" tanya Reyfa yang tidak dapat menemukan sosok yang dicari Clareta.
"Itu!" tunjuk Clareta ke arah sosok yang familiar dengan pria yang selama inu dia idam-idamkan. "Arah jam dua belas! Sepertinya dia akan pergi!"
Clareta kelabakan sekarang, dia berusaha memasukkan ponsel dan tablet dengan serampangan sementara Reyfa membantu sebisanya meskipun dia tidak tahu persis siapa sosok pria yang dimaksud Clareta.
"Ayo cepat, Rey!" seru Clareta dengan nada panik. "Sebelum dia menghi ..."
Clareta berdiri dengan menjinjing tasnya.
"... lang ..." Dia menoleh dan terkesiap saat melihat orang yang menurutnya mirip Daniel itu telah raib dari mejanya semula.
"Nona, ada apa?" tanya Reyfa heran sambil memandang Clareta yang hanya berdiri terpaku. "Katanya Anda melihat Daniel?"
Clareta mendadak melangkah dengan pandangan yang menyapu ke segala arah di penjuru kafe.
"Tadi dia di sini," katanya pelan kepada Reyfa yang hanya memandangnya dengan bingung.
Clareta menoleh kembali ke meja yang semula dia yakin ditempati oleh Daniel, dia tidak mungkin salah lihat.
"Nona, mungkin orang itu hanya mirip saja ..." komentar Reyfa logis.
Clareta menggelengkan kepalanya.
"Aku sangat yakin kalau itu Daniel," kata Clareta dengan nada putus asa. "Kita pulang saja ke rumah."
Reyfa tidak menunjukkan apa-apa selain menganggukkan kepala, dia segera mengikuti Clareta yang berjalan lesu meninggalkan kafe.
Setibanya di rumah, Clareta merasa tidak bersemangat melakukan apa pun selain hanya telungkup di atas tempat tidurnya. Dia terus memikirkan Daniel dan di mana dia berada sekarang.
***
Beberapa tahun berlalu hampa begitu saja, Clareta nyaris bisa hidup normal karena kesibukan di butiknya yang mulai meroket popularitasnya.
"Butik kamu tambah sukses," komentar Mervia yang kagum dengan ketegaran Clareta melanjutkan hidupnya setelah pernikahan dan perceraian yang menyesakkan itu.
Kini, hampir sepuluh tahun berlalu dan putrinya sudah mampu menata ulang kehidupannya yang sempat terpuruk.
"Semua ini karena Ibu yang selalu mendukungku memilih jalan hidupku sendiri," sahut Clareta yang secara khusus menyambut kedatangan Mervia ke butiknya yang sudah memiliki tiga cabang. "Silakan Ibu pilih baju yang Ibu suka, kebetulan aku punya koleksi impor terbaru ..."
"Tidak perlu, Sayang. Lebih baik kamu jual saja baju itu ke konsumen," tolak Mervia tanpa bermaksud menyinggung perasaan anaknya.
"Tidak, tidak, asistenku sendiri yang akan menemani Ibu melihat-lihat koleksi terbaru yang ada di butik ini." Clareta mendesak sang ibu untuk tetap berkeliling melihat-lihat koleksi terbarunya.
Sementara Mervia memilih-milih baju berkualitas tinggi yang ada di butiknya, Clareta memeriksa persediaan stok kemeja pria yang mulai menipis.
Ketika itu butik Clareta sedang lumayan ramai pengunjung, sehingga dia harus turun tangan untuk membantu karyawannya melayani beberapa tamu yang datang.
"Permisi, model yang ada di manekin itu ... apa bisa saya pesan satu lusin?" tanya salah saorang pengunjung yang berdiri di belakang Clareta. Wanita itu menoleh dan terkesiap saat tatapan matanya tertumbuk pada seraut wajah pria yang selama ini terus membayangi
pikirannya.
Yakni Daniel.
Seseorang yang selama ini tidak pernah pergi dari kehidupan Clareta meskipun Harris dengan kejam telah mengusirnya jauh-jauh dari jangkauannya, tetapi serasa hatinya tidak pernah bisa lepas dari nama itu.
Bahkan setelah sepuluh tahun berlalu.
"Clareta?" Daniel mengernyit heran. "Kamu ... belanja di butik ini juga?"
Clareta menggelengkan kepala.
"Enggak, aku pemilik butik ini." Dia memberi tahu. "Jadi kamu butuh berapa kemeja tadi?"
"Satu lusin," jawab Daniel apa adanya. "Pilihkan yang paling bagus kualitasnya, karena itu untuk hadiah."
Clareta mengangguk dan memilih sendiri kemeja yang ditunjuk Daniel tadi.
"Kamu bawa pakai apa, mobil?" tanya Clareta sambil memasukkan satu per satu kemeja ke dalam tas.
"Bukan, cuma gerobak sederhana saja." Daniel menjawab ringan.
Clareta menahan diri untuk tertawa karena khawatir itu akan menyinggung perasaan Daniel.
"Kalau pakai mobil, aku akan memberikan tas khusus pada masing-masing kemeja ini biar terlihat semakin cantik untuk diserahkan sebagai hadiah." Clareta menawarkan.
"Terserah kamu, biasanya perempuan lebih paham soal mempercantik sesuatu." Daniel mengangkat bahunya. "Kamu juga nggak perlu repot memikirkan dengan apa aku mengangkutnya, yang penting aku bisa membayar semua yang aku beli di butikmu ini."
Clareta mendengarkan semua ucapan Daniel sambil berusaha menyelesaikan pekerjaannya.Kebetulan hanya tinggal beberapa potong kemeja yang masih tersisa.
"Kamu kerja di mana sekarang, Dan?" tanya Clareta sambil lalu.
:Masih sama, hanya karyawan." Daniel menjawab dengan tenang.
Clareta tidak bertanya apa-apa lagi, sebetulnya ini bukanlah situasi yang dia harapkan untuk bertemu Daniel kembali setelah sepuluh tahun lamanya mereka berpisah.
"Berapa semuanya?" tanya Daniel sambil memandang Clareta.
"Kamu langsung ke bagian kasir saja," jawab Clareta yang enggan menyebutkan harga. "Aku antar kamu ke sana, ya?" Dia buru-buru menambahkan karena tidak ingin menyia-nyiakana kesempatan bertemu dengan pria yang sempat dicintainya ini.
"Maaf merepotkan," ucap Daniel sambil berlalu pergi setelah Clareta memanggil karyawannya untuk mengangkut semua belanjaan ke kasir.
Petugas segera menjumlah total biaya yang harus dibayar Daniel untuk menebus satu lusin kemeja yang dibelinya.
"Ambil saja kembaliannya," kata Daniel sembari menyerahkan sedikitnya sepuluh lembar uang kertas yang masih baru kepada petugas kasir.
"Terima kasih, Pak."
Clareta dengan sigap segera menyuruh dua karyawannya untuk mengangkut semua belanjaan Daniel ke luar. Di sana dia berharap bisa memastikan apakah mantan kekasihnya ini benar-benar membawa gerobak sungguhan atau hanya candaan saja.
Setibanya di luar, barulah Clareta tahu betapa bodohnya dia. Tentu saja Daniel tidak benar-benar membawa gerobak seperti yang dia katakan sebelum ini, melainkan sebuah mobil hitam mengilat setara dengan mobil-mobil Harris yang berjajar di garasi.
Setelah semua belanjaannya dimasukkan ke mobil, Daniel menghadap dua karyawan Clareta dan memberinya uang tip tambahan.
"Daniel?" panggil Clareta ketika pria itu akan berlalu pergi.
"Ada apa?" tanya Daniel kalem.
Clareta menunggu karyawannya pergi, setelah itu dia mendekat ke salah satu kaca mobil Daniel yang terbuka separo.
"Apa ... apa kita bisa bertemu lagi?" tanya Clareta penuh harap.
Daniel tersenyum singkat sebelum menjawab.
"Aku nggak mau bikin perkara sama istri orang," katanya kalem.
"Aku sudah bercerai dari Vico," sahut Clareta jujur.
"Oh ya?" tanggap Daniel terkejut. "Aku ikut sedih mendengarnya Cla, semoga ke depan kamu mendapatkan yang lebih baik dari Vico. Aku pergi dulu, ya?"
"Tunggu!" cegah Clareta. "Jadi ... apa kita masih bisa bertemu lagi?"
Daniel terdiam sebentar.
"Aku nggak tahu," gelengnya. "tapi lebih baik jangan berharap apa-apa dari aku."
Tanpa menunggu jawaban dari Clareta, mobil Daniel segera melaju pergi meninggalkannya.
Bersambung –