Clareta menyadari tatapan Vico yang berubah hanya dalam hitungan detik saja. Dia memang sengaja memperlihatkan wajahnya yang asli untuk membuat Vico menjadi tidak berselera kepadanya.
"Ini ... inikah kamu kalau malam?" tanya Vico sambil berdiri dari posisinya.
"Maksud kamu?" tanya Clareta balik.
"Kamu menghabiskan malam-malam kamu dengan menangisi Daniel?" Vico memandang Clareta dengan penuh selidik.
Clareta tidak segera menjawab, sejujurnya dia merasa hatinya sangat nyeri setiap mendengar nama Daniel disebut.
"Kita tidur saja," katanya singkat sambil duduk di tepi tempat tidur. "Ayahku sudah menyiapkan kamar ini untuk menyambut kamu, jadi aku harap kamu nyaman."
Vico menggelengkan kepalanya dengan tidak percaya. Malam pertama yang seharusnya dia idam-idamkan sejak perjodohannya dengan Clareta ternyata tidaklah berjalan sesuai dengan kehendaknya.
"Nggak bisakah kamu berdandan untukku malam ini?" tanya Vico dengan nada sedikit menuntut. "Ini malam pertama kita, kamu tahu kan? Seharusnya kamu bisa melayani saya dengan baik."
Clareta diam saja karena memang itu tujuan dia tidak mau berdandan untuk Vico, dia ingin suaminya itu kehilangan selera untuk menyentuhnya di malam yang bersejarah ini.
"Kamu tahu kan apa yang dilakukan oleh pasangan pengantin baru di malam pertama?" tanya Vico, kali ini dengan nada meremehkan.
Clareta balas memandang Vico dengan wajah lelah.
"Aku capek sekali. Mungkin besok aku baru bisa melayani kamu," katanya beralasan. "Jadi malam ini ... lebih baik kita istirahat saja, besok kamu juga masuk kerja kan?"
Vico berdecih.
"Tentu saja aku diberi cuti selama beberapa hari," tukasnya sambil melepas kemeja putihnya dengan begitu kesal dan kecewa.
Vico pikir dia bisa sangat bahagia setelah akhirnya menikahi Clareta, perempuan yang juga sebelumnya menjadi kekasih sahabatnya Daniel.
Namun, ternyata menjadi suami Clareta tidaklah semenyenangkan yang Vico pikir. Apalagi setelah dia gagal mereguk indahnya malam pertama yang seharusnya menjadi haknya bersama Clareta.
"Aku akan bilang ini sama ayah kamu," ancam Vico tiba-tiba. Bagaimana mungkin dia tidak uring-uringan kalau begini kenyataan awal mula rumah tangganya.
Kalau kesan malam pertamanya saja sudah buruk, apalagi dengan malam-malam berikutnya.
"Jangan seperti anak kecil," kata Clareta pelan. "Ayahku nggak berhak tahu apa yang ada di balik rumah tangga kita."
Vico mendengus, emosinya mendadak muncul ke permukaan tanpa bisa dia tahan lagi.
"Kalau begitu berikan aku pelayanan lain sebagai pengganti malam pertama kita," tuntutnya.
"Aku kan sudah bilang kalau aku capek," sahut Clareta bosan, dia terkejut karena ternyata Vico sama sekali tidak menunjukkan sikap dewasa sebagai seorang suami.
"Kamu bilang kamu capek?" tanya Vico sambil mengangkat dagu Clareta. "Memangnya malam-malam kemarin kamu ngapain? Menangisi Daniel seperti yang aku bilang tadi?"
Clareta menyingkirkan tangan Vico dari dagunya.
"Apa seperti ini cara kamu memperlakukan istri kamu?" tanya Clareta tidak menyangka.
Vico berdecih tidak suka.
"Malam ini kamu menolak melayaniku dan memilih untuk tidur, sedangkan malam-malam sebelumnya kamu tidak tidur demi memikirkan Daniel." Dia menunjuk wajah Clareta dengan jari telunjuknya.
"Paling tidak beri aku waktu sampai besok malam," kata Clareta pelan. "Apa kamu tidak bisa memberiku kelonggaran waktu?"
Vico menggeleng dengan tegas. Mengesampingkan wajah letih istrinya, dia menarik tubuh Clareta dan mengempasnya keras demi memenuhi api geloranya yang menyala-nyala.
***
"Kamu keterlaluan, Clareta."
Subuh itu para pelayan berdatangan ke kamar pengantin Clareta untuk mengangkut tubuh Vico yang sedang dalam kondisi tidak sadarkan diri.
"Vico memperlakukanku dengan sangat kasar, Yah ..." ucap Clareta sembari menahan tangis sementara Mervia mengusap-usap bahunya dengan wajah miris.
Harris tentu saja menjadi pihak yang paling marah besar karena insiden ini. Apalagi ketika dia tahu bahwa putrinya sendiri yang telah menghajar suaminya tepat di malam pertama mereka.
Malam di mana seharusnya pasangan suami istri mereguk kebahagiaan bersama-sama, tapi yang dilakukan Clareta justru sebaliknya.
Dengan sadar dia malah menghantam kepala Vico dengan botol minuman yang semestinya mereka nikmati agar semakin memperindah suasana.
"Tapi ayah melihat hal yang sebaliknya," ucap Harris dengan nada menghakimi. "Kamu yang menganiaya suami kamu sendiri, Clareta."
"Sudahlah Harris, anak kita sudah bilang kalau dia diperlakukan kasar oleh Vico!" sela Mervia tidak terima karena suaminya menyudutkan putri mereka yang masih shock dengan apa yang baru saja dia alami.
Clareta masih ingat betul bagaimana kejadian itu. Vico tiba-tiba berubah beringas dan ingin menguasai dirinya.
Betapapun memelasnya Clareta memohon untuk tidak disentuh, tapi Vico tetap saja berusaha menuntaskan hasratnya yang sudah memuncak.
Wajah sembab dan mata bengkak Clareta seolah sudah tidak ada artinya lagi bagi Vico. Dia hanya ingin segera mendapatkan haknya sebagai seorang suami, itu saja.
Dan Clareta yang sudah merasa posisinya tersudut, dengan spontan meraih botol minum dan menghantamkannya tanpa ampun ke arah kepala Vico dengan sekuat tenaga.
"Anak kamu sudah mencoreng kehormatan kita," vonis Harris tajam. "Bukan salah Vico kalau dia ingin segera menuntaskan malam pertamanya, itu tandanya menantu kita normal."
Clarita hanya bisa sesenggukan saat mendengar Harris malah membela Vico habis-habisan dibandingkan dirinya.
Mervia juga sangat tidak suka saat melihat Harris memperlakukan putri mereka dengan begitu tidak adil.
"Kalau sampai masalah ini sampai ke telinga orang tua Vico, maka ayah akan sangat malu." Harris meneruskan sambil bersiap pergi. "Ayah harus ke rumah sakit sekarang."
Harris melempar pandangan dingin ke arah Clareta sebelum beranjak pergi.
"Mervia, aku harap kamu bisa mendidik putri kita dengan lebih baik lagi." Dia berkata dingin kepada istrinya. "Ajari dia bagaimana caranya menjadi seorang istri yang baik dan benar."
Mervia tidak menjawab dan memilih untuk membiarkan suaminya pergi. Setelah itu dia mengangkat wajah Clareta dan menciuminya.
"Ibu percaya sama kamu, Sayang. Semua akan baik-baik saja," katanya meyakinkan.
"Ibu ..." isak Clareta dengan wajah bersimbah air mata. "Aku nggak akan kuat hidup berumah tangga sama Vico ... dia kasar, Bu ..."
Seketika Clareta teringat Daniel, seorang laki-laki yang sederhana tapi selalu mampu memperlakukannya dengan sopan dan hati-hati seakan menjaga sebongkah berlian.
"Sayang ..." Mervia tidak tahu harus berkata apa. "Ibu akan berusaha bicara sama ayah kamu, sudah ya ... kamu harus istirahat. Kamu baru saja mengalami hal yang buruk, jangan sampai kesehatan kamu menurun."
Clareta mengangguk di sela tangisnya, dia bersyukur masih ada ibunya yang selalu percaya apa yang dia rasa dan katakan.
Selama Vico dirawat di rumah sakit, Clareta sama sekali tidak berkeinginan untuk menengok keadaannya. Ditambah lagi semua hal sudah diurus dengan sangat baik oleh Harris sendiri, sehingga dia merasa Vico tidak akan membuyuhkan kehadirannya.
"Clareta?" panggil Harris di saat dia sekeluarga sedang bersantap malam. "Ayah sudah mengambil keputusan, dan kamu harus kembali kepada Vico secepatnya."
Bersambung -