Seunghoon tiba di rumah sakit milik grup Lee, namun ia tak berjalan menuju ruangan Jinwoo. Seunghoon justru berjalan menuju tangga darurat dan mulai melangkah naik ke lantai paling atas dengan gontai. Sampai di lantai paling atas, Seunghoon membuka pintu dan keluar, ia berada di atap gedung berlantai 12, terus berjalan hingga sekarang ia sudah berdiri di atas pembatas atas gedung.
"Oh, profesor Lee, tadi aku melihat direktur Kang datang. Karena raut wajahnya terlihat tak baik, jadi kupikir ia akan ke ruanganmu. Saat aku mengantar kopi ke ruanganmu, aku tidak menemukan direktur Kang di sana." seorang perawat menghentikan langkah Jinwoo yang baru kembali dari ruang perawatan Seunghi.
"Baiklah. Terima kasih." Jinwoo berlalu. Ia menelaah ucapan perawat Min tadi, jika tak berada di ruangannya. dengan raut wajah yang tak baik. Tiba-tiba saja Jinwoo mengambil langkah berlari seperti tahu dimana Seunghoon sekarang berada.
"Jangan lakukan hal bodoh, Kang Seunghoon." Jinwoo mengucapkannya berkali-kali saat berada di dalam lift menuju lantai teratas gedung milik keluarganya dan masih harus berlari satu lantai untuk tiba di atap gedung, tempat dimana Seunghoon berada.
Begitu tiba di depan pintu, Jinwoo menarik napas berharap tidak ada sesuatu yang buruk terjadi di baliknya. Jinwoo memegang gagang pintu, memutar dan mendorongnya hingga terbuka. Helaan napasnya terdengar panjang karena merasa lega setelah melihat Seunghoon duduk di pagar atap sambil menggoyang-goyangkan kakinya yang tergantung.
"Cih, kupikir dia sudah hilang akal, ternyata akalnya masih berfungsi." Celetuk Jinwoo sambil berjalan menghampiri sahabatnya.
"Kenapa tidak ke ruanganku, hah?" Jinwoo memecah lamun Seunghoon, membuat pria itu menurunkan kepalanya hingga menemukan Jinwoo tengah berdiri di hadapannya.
"Aku ingin melihat langit yang tidak bisa dilihat Seunghi selama ini." jawab Seunghoon ringan.
Jinwoo turut duduk di samping Seunghoon dan mencoba melakukan hal yang sama dengan Seunghoon, memandang langit yang kebiruan dengan awan putih tipis yang menjadi penghias kecil di tengah luasnya langit.
"Hyung." panggil Seunghoon.
"Hmm?" jawab Jinwoo.
"Apa yang harus kulakukan jika ternyata selama ini aku salah menilai seseorang?" tanya Seunghoon yang kembali melihat ke langit.
"Kau. hanya perlu memahaminya. Itu yang termudah." Jawab Jinwoo.
"Bahkan jika aku saja tak mampu memahami diriku sendiri?" tanya Seunghoon lagi.
"Belajarlah dengan mulai memahami orang lain dulu." Jawab Jinwoo kembali.
Jawaban Jinwoo membuat Seunghoon mengalihkan pandangannya dan menatap Jinwoo, "Kau sedang mempermainkanku dengan membolak-balikkan kata seperti itu, Hyung?" mendengar ucapan Seunghoon, Jinwoo tersenyum.
"Tentu saja tidak. Itu memang benar." Jawab Jinwoo.
"Jika kau sulit memahami diri sendiri, mulailah dengan memahami orang lain. Dari memahami mereka, kau bisa belajar memahami diri sendiri. Kita tidak bisa menilai diri sendiri, bukan? Jawaban orang lain tentang siapa kita adalah bagaimana kita belajar memahami diri sendiri. Jadi, kau harus memahami mereka dulu untuk bisa mendapatkan penilaian mereka tentang dirimu." Jelas Jinwoo sambil tersenyum lembut. Mendengar penjelasan Jinwoo membuat Seunghoon berpikir sesaat.
"Ah. Bagaimana keadaan Seunghi, Hyung?" tanya Seunghoon kemudian.
"Besok aku akan betemu dengan orang tuamu untuk membicarakan Seunghi. Setelah bicara dengan mereka, kau akan tahu keadaannya." Jawab Jinwoo sambil turun dari pagar gedung.
"Sekarang aku bukan hanya tidak boleh bertemu Seunghi tapi juga tidak boleh tahu keadaannya. Waaah. Tidakkah itu kejam, Hyung?" Seunghoon menyusul Jinwoo yang mulai berjalan menuju pintu keluarnya tadi.
"Hahaha, bukan begitu. Mereka harus menjadi yang pertama tahu kondisi terbaru Seunghi, lagipula ada sesuatu yang harus kusampaikan pada mereka." jelas Jinwoo.
* * *
Kediaman keluarga Kwon.
"Ibu, semalam aku lihat bibi Oh menyiapkan koper Ayah. Kemana Ayah?" Taehyun masuk ke dapur lalu duduk dan meneguk segelas orange juice dengan piama sutra biru muda. Sang Ibu tengah memotong kimchi dibantu seorang pelayan dan Eunsoo yang telah memutuskan untuk kembali kerumah itu.
"Ayahmu melakukan perjalanan bisnis ke Jepang." Jawab nyonya Kwon.
"Jepang?" ulangnya. Taehyun beranjak dan menghampiri Eunsoo setelah memperhatikannya daritadi.
"Aku akan ke rumah sakit Jinwoo hyung, Bu."
"Aigoo, menuangkan tepung saja bisa berantakan." Taehyun menyapu tepung yang lengket pada pipi kanan Eunsoo dengan lembut, membuat wajah gadis itu merona karena malu.
* * *
"Ah, professor Lee. Direktur Kwon menunggu anda di ruangan."
Seorang perawat menghampiri Jinwoo setelah ia kembali dari mengantar Seunghoon ke lobi utama rumah sakit grup Lee. Jinwoo mengucapkan terimakasih lalu mulai masuk ke lift untuk kembali ke ruangannya.
"Mereka semakin seenaknya datang kepadaku, seharusnya aku pasang tarif khusus untuk mereka." dumel Jinwoo sambil tersenyum. Jinwoo keluar lift dan berjalan menuju ruangannya. Ia membuka pintu dan melihat Taehyun tengah berdiri dekat rak buku sambil membaca salah satu buku yang ada di sana.
"Apa buku itu lebih menarik dari novel picisan yang selalu kau baca, Taehyun?" Jinwoo berjalan masuk dan duduk di kursi kerjanya.
Taehyun menaruh kembali buku dan menyusul Jinwoo, "Kadang aku membaca buku seperti itu hanya untuk menyegarkan kepalaku." jawabnya santai.
"Tumben kau mampir ke sini. Apa sesuatu terjadi?" tanya Jinwoo.
"Tidak. Apa aku hanya boleh ke sini jika memiliki masalah saja?" protes Taehyun.
Jinwoo tertawa mendengar protes Taehyun, "Aigoo, jadi kau ke sini karena merindukanku?"
"Bagaimana dengan Eunsoo?" sambung Jinwoo.
"Apanya yang bagaimana? Tadi saat kutinggal, dia sedang membantu ibu membuat kimchi pancake." Jawab Taehyun cuek.
"Ah, Taehyun, kau tahu wangi apa ini?" tanya Jinwoo tiba-tiba.
Taehyun menghirup pelan, "Lavender." Jawabnya singkat lalu mulai menguap.
"Benar, lavender. Karena itu mulai sekarang kau hanya akan mendengar kata-kataku, semua pertanyaan yang aku ajukan harus kau jawab dengan jujur. Kau mengerti kan, Kwon Taehyun?" Jinwoo mulai melakukan hypnosis pada Taehyun yang dijawab dengan anggukan, terlihat seperti Taehyun sudah berada dalam pengaruhnya.
"Setelah kembali dari Raja Ampat, apa kau pernah memikirkan Eunsoo?" Jinwoo membuka sesi dengan pertanyaan ringan.
"Tidak." jawab Taehyun singkat.
"Begitu. Jadi, kau tidak menyukainya seperti seorang pria yang menyukai seorang wanita?" tanya Jinwoo lagi karena tak puas mendengar jawaban Taehyun sebelumnya.
"Tidak sama sekali." Jawab Taehyun tegas.
"Baiklah." Jinwoo meniup lilin lavender yang membuat kesadaran Taehyun kembali.
"Hyung, aku harus pulang. Aku janji akan makan malam di rumah dengan ibu." Taehyun pamit pulang dan Jinwoo hanya mengangguk, "Ah kenapa kepalaku sedikit pusing." Taehyun memijat keningnya lalu menutup pintu ruang kerja Jinwoo.
"Kau pikir aku akan mudah terhipnotis olehmu, Hyung?" smirk Taehyun muncul saat tiba di depan lift.
"Kau pikir aku tidak tahu bahwa hypnosisku tidak bekerja padamu, Kwon Taehyun? Dan jawabanmu, apa kau pikir aku akan percaya? Jae sudah menceritakan semua padaku apa yang terjadi di Raja Ampat. Kau salah jika ingin membodohi seorang psikiater." Jinwoo tersenyum sambil memandang pigura dimana terpasang foto mereka berlima.
* * *
Hari ini, presdir Kang bertemu keempat presdir lainnya. Ia tidak tahu tujuan pertemuan ini, hanya menerima panggilan lalu segera ke sini. Saat tiba di tempat, Presdir Kang melihat presdir Kwon menatapnya masuk, pandangannya sedikit membuatnya tak nyaman. Sementara ketiga presdir lainnya tampak biasa.
Pandangannya kini berfokus pada sebuah kotak stereofom berukuran besar yang ada di tengah-tengah meja. Presdir Kang mendekat ke kotak itu, "Apa ini?"
"Hadiah." Jawab presdir Kwon singkat, "bukalah." Sambungnya.
Iris matanya membulat saat melihat apa yang ada di dalam kotak itu. Lututnya tak mampu menahan beban tubuhnya, presdir Kang terhuyung dan langsung mengambil tempat di kursi terdekat sambil menaruh sembarang tutup kotak itu.
"Ba-bagaimana bisa?" tanya presdir Kang gagap seketika.
"Kau kenal dia?" tanya presdir Kwon. Presdir Kang hanya diam tapi dari matanya tersirat bahwa ia tahu siapa yang berada di dalam kotak itu.
"Watanabe, pemimpin yakuza terbesar di Jepang, juga kakek dan paman dari berandalan yang kau bunuh enam tahun lalu. Orang yang membuatmu tega melakukan kejahatan dengan membuat anak-anakmu menderita hanya untuk melindungi kami." Sambung presdir Kwon tenang.
Presdir Kang mencoba mengatur napasnya melihat kepala manusia berada di atas tumpukan es dalam kotak stereofom itu. Presdir Choi, presdir Lee dan presdir Dong hanya menatap presdir Kang tanpa berusaha ikut bicara. Sementara presdir Kwon mengubah gestur tubuhnya, "Jika kepala pak tua ini saja bisa kuhadiahkan untukmu—"
"Berarti semua keluarga dan pengikutnya sudah kau habisi." Presdir Kang menyambung ucapan presdir Kwon. Ada rasa malu menyergap dirinya saat ini.
"Kau butuh waktu enam tahun untuk membuat mereka berhenti mengganggumu sedangkan aku hanya memakai waktu kurang dari seminggu. Tidakkah kau mulai berpikir sesuatu? 'ah, harusnya aku tidak perlu mengurung seunghi dan menyusahkan Seunghoon, tinggal bicara pada hyung kemudian semua selesai.'" presdir Kwon meniru cara presdir Kang bicara dengan mengutarakan pikirannya tentang presdir Kang.
"Maaf hyung." sesal presdir Kang.
"Pertemanan kita bukan lagi pertemanan seperti anak-anak kita, hyung. tiga puluh tahun bukan waktu yang sebentar, tapi kenapa kau masih meremehkan kami?" sambung presdir Lee yang semakin membuat presdir Kang menenggelamkan kepalanya, "Maaf." Ucapnya singkat.
"Daesung-ah, kita bersahabat bukan hanya untuk berbagi kesenangan dan mimpi saja, kita juga berbagi kesedihan dan kesusahan. Berhentilah khawatir bahwa kau hanya akan menambah beban kami jika kau menceritakan kesusahanmu." Ucap presdir Dong. Tidak ada jawaban dari presdir Kang tapi presdir Kwon dan yang lain bisa melihat bahwa presdir Kang tengah menyembunyikan isak tangisnya.
"Aku rasa kau sudah terlalu tua untuk terisak menangis kecuali kau ingin menggantikan tempat kepala pak tua itu." sinis presdir Kwon. Tentu saja sang presdir tidak serius dengan ucapannya, karena ia menarik kedua ujung bibirnya sedikit.
"Sudahlah. Daesung, sekarang kau tak perlu melunasi uang yang kau ambil dari Bank Swiss. Kami sudah menganggapnya lunas dan uang yang ada di bank itu sudah kami kembalikan." Presdir Choi angkat bicara.
"Yang perlu kau lakukan sekarang adalah menebus waktu 6 tahun yang kau ambil paksa dari Seunghi dan Seunghoon. Terutama Seunghoon, karena dia yang paling menderita selama ini." sambung presdir Choi yang disambut dengan anggukan dari presdir Kang.
"Tapi. kenapa kau menghabisi seluruh klan Watanabe, Jiyong?" presdir Kang sudah mengangkat kepalanya dan mulai menghapus sisa air mata dari wajahnya.
"Kau membayar mereka dengan enam juta poundsterling untuk dua mayat bocah itu, Kang Daesung. Terlalu mahal. Bahkan semua nyawa yang kuhabisi masih belum sebanding dengan enam juta poundsterling yang kau berikan pada mereka. Pantas saja hidup mereka makmur." Ucap presdir Kwon dengan wajah seriusnya.
"Oh iya, aku kesini ingin membicarakan sesuatu pada kalian." Presdir Kang tampak serius, membuat keempat sahabatnya yang tadi tersenyum langsung memasang wajah serius.
"Anak-anak kita, hyung." Presdir Kang terlihat seperti enggan berbicara apalagi ini soal anak-anak mereka.
"Ada apa dengan mereka?" tanya presdir Choi lebih dulu.
"Aku tidak yakin sebenarnya tapi." presdir Kang menggantung kalimatnya, ia sendiri masih bingung.
"Sepertinya anak-anak memegang Kiss Note." Sambung presdir Kang ragu.
"Jangan bercanda, Kang Daesung." Ucap presdir Dong.
"Buku itu sudah lama kita tinggalkan, bagaimana mungkin mereka memilikinya?" tanya presdir Choi.
"Saat itu Seunghoon bilang dia tak bisa berbuat apa-apa saat Taehyun bertanya pada sebuah buku tentang penghuni ruangan dimana aku mengurung Seunghi. Aku belum memeriksa dan memastikan apakah buku yang dimaksud Seunghoon adalah Kiss Note atau bukan, tapi jika buku itu buku biasa kenapa Seunghoon tidak berkutik?." Presdir Kang memngutarakan logikanya.
"Kita harus memastikannya, dimana anak-anak itu sekarang?" tanya presdir Choi.
* * *
"Hyung, kau kenapa? Wajahmu terlihat pucat, apa kau sakit?" Seungyoon langsung bertanya saat melihat Jinwoo masuk ke dalam ruang utama villa musim panas mereka.
"Semua karena Dong Mino. Haaa." Jawab Jinwoo sambil menghela panjang.
"Aku? Kenapa karena aku?" protes Mino.
"Ooouuhh." Jinwoo mengangkat tangan kanannya bersiap memukul Mino, "Apa kau tidak bisa menggunakan perasaan saat menghadapi pasien dan keluarga pasien?" tanya Jinwoo sambil berjalan mengambil gelas yang berisi orange jus lalu meneguknya beberapa kali.
"Aku tidak mengerti maksudmu, hyung." ucap Mino polos.
"Jangan sembarangan bersikap di depan pasien dan keluarganya. Kau ingat Oh Jihyuk?" tanya Jinwoo lagi.
"Entahlah, aku lupa. Kenapa dengannya?" tanya Mino santai.
"Suami yang kau seret saat persalinan istrinya." Jawab Jinwoo.
Mino mengingat-ingat kembali keluarga pasien yang dimaksud.
"Aaahh, maksudmu pasangan yang punya anak di luar pernikahan?" tanya Mino mencoba meyakinkan, sementara ketiga teman mereka hanya memperhatikan Jinwoo dan Mino sembari memakan salad tuna dan nachos buatan Seungyoon.
"Benar." Sahut Jinwoo kesal.
"Hahaha, wajahnya pucat pasi saat kuperlihatkan vagina istrinya 10 kali lebih besar saat terjadi pembukaan terakhir sebelum anaknya lahir." Mino menceritakannya dengan santai malah sambil terkekeh.
"Kau tahu apa yang kukatakan waktu itu?" tanya Mino lagi.
"Apa?" sahut Seungyoon.
"'Kau lihat?! Lubang yang kau nikmati kemarin, sekarang merekah 10 kali lebih besar. Calon istrimu menahan rasa sakit itu demi melahirkan bayi hasil perbuatanmu, tuan Oh. Masihkah kau berpikir untuk melakukan seks pra-nikah dengan wanita lain?'" Mino menirukan caranya bicara saat itu.
"Dan kau tahu apa yang terjadi sekarang?" Jinwoo balik bertanya yang dijawab Mino dengan mengangkat bahu seperti enggan peduli.
"Karena kau mengatakan itu, tuan Oh sudah enam bulan ini tidak mau berhubungan intim dengan istrinya karena trauma. Ssshhh, setiap pasien yang selesai berobat denganmu, berujung dengan menjadi pasienku." Keluh Jinwoo.
"Nyonya Lee, seorang ibu muda yang menjadi pasienku karena bersikeras tidak mau membeli baju yang baru lagi untuk anaknya meski pakaian anaknya sudah usang dan robek karena kau berkata dia tak pantas menjadi ibu." Keluhan lain diutarakan Jinwoo karena sikap Mino.
"Aku berkata benar, hyung! Untuk apa punya anak jika baju saja malas dicuci apalagi baju yang baru dibeli. Anaknya masih beruntung kulitnya bukan diserang oleh bakteri MRSA yang mematikan." Mino membela diri dan Jinwoo hanya menghela napas.
"Kau tahu, hyung, mangga bisa membantumu untuk kasus tuan Oh sebenarnya. Kenapa kau cerewet sekali." Celetuk Mino.
"Mangga? Bagaimana?" Seungyoon, Taehyun dan Seunghoon menyela.
"Aigoo, kalian kompak sekali." Goda Mino.
"Aiissh, sudah jawab saja." sahut Taehyun malas.
"Baiklah. Buah mangga memiliki senyawa aktif untuk meningkatkan gairah seks seseorang. Karena itulah, seseorang yang menyukai buah mangga sudah bisa dipastikan dia memiliki gairah seks yang tinggi. Suruh saja nyonya Oh menyiapkan juice mangga setiap kali mereka makan, aku jamin kejantanan tuan Oh akan kembali." Jawab Mino.
Saat yang lain tertawa mendengar penjelasan Mino, ponsel Seungyoon berbunyi. Ia mengangkat telponnya setelah melihat nama yang tertera di sana.
"Ya, ada apa?." panggilnya, "pakai pengeras suara." Jawab presdir Choi.
Seungyoon menatap teman-temannya lalu mengucapkan kata 'Ayahku' sehingga keempat temannya memberi perhatian pada ucapan presdir Choi selanjutnya, "Kalian jangan beranjak sejengkalpun dari tempat kalian sekarang. Mengerti?" kelima pemuda itu hanya saling bertukar pandang menelaah kebingungan ini.
Bersambung......