Chereads / Misteri Gedung Kantor / Chapter 10 - Bab 10

Chapter 10 - Bab 10

Hantu Bu Risma selalu muncul dengan menghadap ke dinding. Begitu pula pada malam ini, dengan kepalanya yang patah ke sisi kiri tubuhnya, ia tetap menangis sambil menghadap dinding dan tangannya yang bergerak seolah mengelap air mata yang keluar karena tangisannya. Tidak berapa lama, tangannya mulai menjuntai ke bawah, tangisannya terhenti. Aku menelan ludah dan menahan nafas, bulu kudukku meremang, firasatku mengatakan yang terburuk baru saja akan dimulai.

Sial, posisi ku adalah yang terdekat dengan Hantu Bu Risma dibandingkan posisi Pak Jefri dan Pak Wawan yang masih berada di dekat pintu masuk. Sosok hantu menyeramkan itu mulai membalikkan badannya dibarengi dengan renteran bunyi tulang yang terdengar memenuhi ruangan. Kini ia sudah menatap kami semua dengan matanya yang hitam dan kosong. Ia memperhatikan satu per satu dari kami, bagaikan seekor predator yang sedang memilih mangsanya dengan berdiam diri.

Sebuah momen hening tercipta, tidak ada satupun diantara kami bertiga yang berani bergerak, sementara Hantu menyeramkan itu sedang menatap kami silih berganti. Bau busuk tercium dari arah sang hantu, tanpa aku sadari sosok tersebut sudah melayang perlahan mendekatiku. Tubuhku menjadi kaku, tidak bisa digerakkan, bau busuk yang ditimbulkan juga membuat nafas menjadi sesak, ditambah lagi perawakannya yang sangat menyeramkan dengan cairan hitam yang terus mengalir dari atas kepalanya. Sosok itu mendekat ke arahku, aku hanya bisa menutup mata seiring dengan mendekatnya Hantu Bu Risma.

Sebuah keajaiban karena kesadaranku tidak menghilang walaupun bau busuk yang tercium sangat kuat, aku tidak berani membuka mata, namun aku tahu dari baunya yang begitu kuat kalau Hantu ini sedang berada tepat di depan wajahku, seluruh tubuhku tidak berhenti gemetar, berharap sosok ini segera menjauh dariku.

"Tolong... Saya... ." Suara lirih perempuan terdengar dari depan wajahku. Ingin rasanya mengintip, tapi aku juga begitu takut untuk melihat wajahnya.

Bunyi dari tulang-tulang yang patah kembali terdengar memenuhi ruangan, ditengah kesunyian total, bunyi nafas dapat terdengar cukup jelas. Aku mendengar suara nafas seseorang dari belakangku. Entah itu Pak Wawan, atau Pak Jefri. Bau busuk Bu Risma juga perlahan memudar, saat itu lah aku mencoba sedikit membuka mata. Sosok itu tidak lagi di depanku. Aku memutar badanku perlahan, terlihat Pak Wawan dengan wajah yang tidak kalah pucat dengan Sang Hantu.

Kini Bu Risma mendekati Pak Wawan. Ekspresi ketakutan yang ditampilkan beliau sungguh nyata, matanya melotot lebar, mulutnya menganga, tangannya menegang, dan kakinya gemetar hebat. Aku mengalihkan pandangan ke Pak Jefri. Dia sedang berjalan perlahan menjauhi Pak Wawan dan Hantu Bu Risma. Ingin aku membantu Pak Wawan, sayangnya aku pun bingung, tak tahu harus berbuat apa.

Semakin menjauh Hantu Bu Risma dariku, semakin mendekat pula dia dengan Pak Wawan, dan aku kembali mendapatkan tenaga untuk berjalan. Aku mundur perlahan ke arah belakang. Sementara Pak Wawan sudah mematung. Hantu Bu Risma bagaikan Medusa yang mampu membuat orang yang menatapnya berubah seketika menjadi batu. Sementara Pak Jefri, dia tetap bergerak dengan tubuh yang gemetar, dan kulit yang tidak kalah pucat.

Saat aku melihat Hantu Bu Risma tampak hanya berjarak satu jengkal dari wajah Pak Wawan, tiba-tiba saja kepalanya berpaling begitu cepat, saking cepatnya aku sampai ngeri membayangkan kalau kepala dari hantu itu bisa lepas begitu saja. Hantu Bu Risma sudah mengalihkan pandangannya , terlihat jelas dia sedang memperhatikan Pak Jefri, dan kemudian...

"AAAAAAA!!!!" Teriakan nyaring langsung memenuhi seisi ruangan, dan angin kencang tiba-tiba saja muncul dari arah pintu yang juga seketika terbuka. Hantu Bu Risma berteriak begitu kencang sambil menunjuk Pak Jefri. Pintu yang terbuka itu juga seolah memberikan kami tenaga untuk berlari. Pak Wawan yang paling pertama berlari keluar ruangan. Aku melihat Pak Jefri, kini giliran ia yang terkena efek Medusa dari Hantu Bu Risma.

Terlihat jelas kulitnya yang menjadi semakin pucat, keringat mengucur deras dari kepalanya. Matanya sedikit melirik ke arahku, seolah meminta tolong, meskipun begitu, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, yang ada di kepalaku hanya lah, aku harus segera memanggil Pak Ustad. Aku segera memutuskan keluar dari ruangan. Berlari secepat mungkin, memanggil Pak Ustad yang ditugaskan memantau.

Baru saja aku sampai di ruangan depan, Pak Wawan sudah kembali berlari masuk membawa Pak Ustad dengan tiga orang berpakaian security berbadan besar.

"Oh, syukur lah." Ucapku.

"Kamu... Kamu cepat lari ke ruangan security!" Perintah Pak Wawan sambil menunjukku.

"Tolong bantuannya, pak." Ucapku kepada mereka, siapa pun yang mendengar. Aku lalu berlari ke luar gedung.

Sesaat sebelum aku mencapai pintu keluar, teriakan berat seorang lelaki yang bercampur dengan suara perempuan terdengar sangat kencang. Siapa pun yang teriak itu, aku merasa ia bisa saja menghancurkan pita suaranya.

Aku membuka pintu, dan terlihat kelompok lain dari security yang sudah berjaga di depan pintu, mereka langsung mendekatiku dan berusaha menenangkan diriku. Tidak lama kemudian, teriakan berikutnya kembali terdengar, teriakan tersebut kini terdengar lebih pilu. Aku diarahkan salah seorang dari kelompok security tadi untuk ke ruang security dan menenangkan diri.

Aku diberi minum, dan mereka berkata sesaat sebelum Pak Ustad berlari ke dalam ruangan, minuman ini sudah dibacakan dengan doa-doa, dan kata mereka mampu menetralkan energi negatif. Aku tidak mengerti satu pun maksudnya, namun aku paham kalau air itu untuk membantu menenangkan diri.

Di ruangan ini juga terdapat layar monitor yang digunakan untuk memantau keadaan di dalam ruangan. Terlihat di salah satu layar monitor, Pak Wawan, Pak Ustad dan tiga security lain sedang menyeret Pak Jefri keluar. Namun, ada yang aneh dengan Pak Jefri. Dari yang terlihat di monitor, tubuhnya benar-benar menegang, kuku di tangannya juga tampak patah, dan terlihat sedikit cairan yang seperti mengalir di tangan Pak Jefri. Aku tidak bisa memastikan cairan apa itu melalui layar monitor.

"Astaga, kondisinya sangat gawat." Ucap salah seorang security yang ikut memantau dari layar monitor. Keringat dingin tampak membasahi dahinya.

Aku kembali menatap layar monitor, mulut Pak Jefri tampak sedang menggeram. Anehnya, tiga orang security berbadan besar, seolah tidak cukup untuk membawa Pak Jefri keluar dari ruangan. Tiba-tiba saja, Pak Jefri mengamuk, membuat tiga orang security itu terpental. Salah satunya bahkan sampai mengenai Pak Wawan.

"Ini jauh lebih parah dari waktu kesurupan kamu." Kata security itu sambil sedikit melirik ke arahku.

"HEI, SIAPA KAU?" Teriakan juga terdengar dari luar ruangan security. Aku memutuskan untuk melihatnya secara langsung.

Terlihat seorang anak muda berkacamata, dengan hoodie hitam dan celana jeans, berkulit sawo matang sedang ditahan oleh para security. Anak muda itu tampak bersikeras ingin mendekati lokasi Pak Jefri.

"Biarkan saya melihatnya! Saya bisa bantu!" Dia semakin ngotot, dan semakin melawan. Namun, tubuhnya terlalu kurus untuk menerobos begitu saja.

Ia melirikku, tapi kemudian dia kembali berusaha menorobos.

"Maaf, pak. Maaf eee... Orang yang nggak dikenal. Kamu siapa? Kenapa kamu maksa masuk ke sana?" Kataku sambil mendekat ke arah mereka.

"Orang ini maksa masuk, kita gak tau dia siapa! Yang jelas, Pak Jefri bilang jangan biarin orang luar ikut terlibat!" Salah seorang security membalas.

"Saya yakin saya bisa membantu, jadi biarkan saya lewat!" Balas si anak muda.

"Tunggu sebentar, pak. Pak Jefri di dalam sana kayanya lagi kesurupan, diliat dari monitor, malahan Pak Ustad dan yang lain kesusahan, dan kamu. Kamu siapa? Kenapa yakin bisa bantu?" Tanyaku kepadanya.

Ia berhenti memaksa menggunakan tubuhnya untuk mendorong masuk.

"Saya ngerasain ada aura hitam dari arah ruangan itu. Nama saya Fadil, dan saya yakin saya bisa bantu dengan ilmu yang saya punya." Balasnya penuh keyakinan.