"Aku nggak mengerti," Ucapku kepada sang hantu bocah, Ellena. "Bukannya kalau jiwa keluar dari tubuh berarti orang itu sudah mati?"
"Memang biasanya begitu, namun tidak selalu." Balasnya tanpa sedikit pun menengok ke arahku.
"Aku nggak ngerti... ." Sahutku yang justru semakin kebingungan.
"Sedikit lagi kamu paham." Kali ini dia menengok ke arahku sambil sedikit tersenyum.
Sebuah cahaya putih tiba-tiba saja muncul, perlahan cahaya kecil itu bertambah semakin besar dan terlihat semakin mendekat.
"Pergi sana!" Ucapnya kembali dengan nada ketus.
"Apa ini? Salah satu kemampuan makhluk gaib?" Tanyaku, aku benar-benar tidak mengerti situasi di sini.
"Bukan lah. Aku tidak tahu persisnya, tapi aku sering lihat saat suatu jiwa akan pergi, ini lah tempatnya." Balasnya.
"Ini bukan untuk mu?" Tanyaku lagi,
"Aku aja gak bisa lihat itu, hahaha" Jawabnya sambil sedikit tertawa.
"Maksudnya? Kamu bilang sering lihat."
"Memang, salah seorang pernah bilang kepadaku kalau ada sebuah tempat berwarna putih terang di depan mukanya, dan sesaat sebelumnya orang itu menunjukkan ekspresi serupa denganmu barusan. Jadi aku tahu kalau tempat putih itu udah muncul di depan kamu, dan waktumu sudah tiba. Yang Aku tidak tau adalah, apakah selanjutnya kamu akan kembali ke dunia? Atau lanjut ke tahap berikutnya?" Jelasnya.
"Sudah berapa lama sebenarnya kamu di sini?" Aku jadi penasaran karena tampaknya dia tahu banyak hal.
"Hmm... entah lah, ratusan tahun, mungkin?" Jawabnya ragu.
"Sudah cepat sana pergi!" Ellena mengusirku.
Aku hanya mengangguk dan langsung berjalan ke arah cahaya yang dapat aku lihat. Sekelilingku seketika berubah menjadi putih total dalam sekejap, tidak ada tempat gelap dan Ellena di belakangku, seolah semua tertelan oleh terangnya cahaya yang ada. Cahaya putih ini sekejap juga menghilang, kini aku merasakan tangan dan tubuhku menyentuh sesuatu.
Aku juga merasakan kembali tubuh fisikku, aku mulai mencoba membuka mata, sebuah cahaya yang sepertinya berasal dari lampu seketika menyilaukan mataku. Tidak lama kemudian pandanganku mulai pulih, atap bangunan bercat putih dan lampu yang digantung di atasnya kini terlihat jelas. Aku menurunkan sedikit pandanganku, terlihat sebuah besi berwarna putih yang menjadi pembatas ranjang yang aku tempati, sebuah ranjang kosong di seberang beserta gorden berwarna biru kehijauan yang membatasi dengan ranjang lainnya.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah samping, terlihat gorden warna serupa yang membatasi ranjang tempatku dengan ranjang yang lain, aku pindahkan lagi arah penglihatanku, sebuah pintu besi dengan jendela besi yang memberikan pemandangan ruangan di balik pintu.
Aku tidak bisa melihat ada siapa pun di sini selain diri ku. Suasana sunyi, sepi menemaniku saat tiba-tiba.
*tring
Terdengar suara dering ponsel yang cukup familiar, aku melihat ke arah asal suara, sebuah meja dengan buket bunga dan sebuah ponsel langsung tampil secara jelas di mataku. Ponsel yang tidak lain adalah ponselku sendiri lah yang barusan menimbulkan bunyi.
Aku berusaha cukup keras mengambil ponselku yang tergeletak di meja, seperti yang aku duga, tubuhku masih belum benar-benar pulih. Aku membuka kunci ponselku, dan sudah terlihat ada sebuah pesan masuk di sudut atas layar. Sayangnya, aku tidak tahu siapa yang mengirim pesan karena nomernya belum terdaftar di kontakku.
"Bro, gimana kabar lu?" Begitulah bunyi pesan tersebut. Tepat saat aku akan mengetik balasan untuk bertanya siapa dia, sebuah pesan tambahan langsung muncul di bawahnya.
"Ini gua, Fadil." Lanjutnya yang ternyata adalah Fadil.
"Ooh Fadil," Balasku. "Gua udah sadar nih, tapi masih belum pulih banget."
"Syukur deh. Gua denger dari Ellena katanya lu udah pergi, tapi dia gak tau lu kemana, jadi gua mau pastiin aja kalo lu berhasil selamat." Balasnya cukup cepat.
"Jadi, Ellena sama lu beneran temen?" Tanyaku berusaha meyakinkan diriku yang sebelumnya ragu mengenai perkataan Ellena.
"Yap, biar lu gak sendirian di alam sana." Balasnya.
"Tunggu, jadi gua benar-benar sudah mati kemarin?"
"Iya, simpelnya begitu. Tapi lu masih beruntung, lu bisa hidup lagi."
Perkara yang berbelit-belit dan merepotkan.
"Terus, nasib Pak Jefri gimana?" Tanyaku, aku khawatir akan keadaan bosku.
"Oh, Pak Jefri udah berhasil kita selamatin juga. Tapi, gua gak tau dia dirawat di mana." Balasnya.
"Omong-omong, makasih ya udah bantu ngembaliin kalung itu. Kekuatan iblis yang ngerasukin Pak Jefri langsung melemah, apalagi setelah nyerang lu." Lanjut Fadil.
"Jadi gua tumbal nih?" Balasku sedikit bercanda.
"Bisa dibilang begitu, hehehe." Balasnya simpel ditambah emoji ketawa. "Oh iya, kalo lu udah sehat kabarin gua ya, ada yang perlu gua kasih tau ke lu soal kejadian waktu itu."
"Kenapa gak sekarang?" Balasku penasaran.
"Lu kan belum pulih, nanti aja." Fadil ngotot belum mau membuka pembicaraan tentang hal tersebut.
"Ya udah deh, iya." Jawabku malas.
"Ya udah gua pergi dulu." Balasnya mengakhiri percakapan kami di ponsel.
Aku melihat grup kerja yang ada di platform yang sama, terlihat Pak Rusdi sementara mengambil alih komando kantor karena ia lah yang paling senior. Saat sedang melihat perkembangan kerja rekanku selama aku tidak sadarkan diri, tamaknya Bang Andre melihat status profilku yang sudah kembali online.
"@Udin, udah sadar lu?" Dia mentag diriku di grup kerja, membuat yang lain juga tersadar kalau aku sudah kembali onlne.
"Alhamdulillah udah bang." Balasku sambil menggunakan fitur reply.
"Syukur deh kamu gak kenapa-napa." Bu Lilis menimpali.
"Iya bu, maaf ya jadi absen kerja."
"Kita udah denger kejadiannya, rumornya nyebar cepet banget di gedung kantor ini. Saya gak nyangka kamu sama Pak Jefri mau ngelakuin hal bahaya gitu." Pak Rusdi ikut muncul.
"Ada hubungannya dengan hantu Bu Risma yang ada di lantai kantor kita kah?" Pak Wisnu juga seketika muncul dengan pertanyaan.
"Ada pak, justru karena itu Pak Jefri minta saya buat ikut dia ke ruangan itu." Balasku.
"Ya udah, sampe sini dulu. Nanti kita jenguk kesana ya, din. Yang lain ayo fokus kerja lagi." Pak Rusdi langsung mengambil alih suasana grup chat.
Aku langsung memberikan semangat kepada rekanku yang masih bekerja, dan menutup aplikasi lalu mematikan layar ponselku, layar ponsel yang gelap langsung memantulkan sedikit bayangan diriku. Walau tidak sejelas menggunakan cermin atau kamera depan ponsel. Tapi cukup untukku dapat melihat luka yang cukup jelas di leherku.
Bekas luka lebam yang timbul karena cekikan kuat dari Pak Jefri yang kala itu dirasuki Hantu Bu Risma, tubuh dan tenaga Pak Jefri memang jelas lebih kuat dari ku, tapi aku juga tidak menyangka lukanya akan berbekas dengan jelas.
Sendirian di kamar rumah sakit seperti ini benar-benar membosankan, tidak ada teman untuk berbincang, bahkan tampaknya tidak ada orang lain di kamar ini. Aku memutuskan untuk tidur saja, mengistirahatkan tubuhku yang masih belum benar-benar pulih, terlebih area sekitar leherku yang masih terasa sakit.
Aku mulai memejamkan mataku, dan mulai berusaha tidur, tidak butuh waktu lama, akhirnya aku bisa terlelap. Namun, sekejap kemudian aku mendengar suara gaduh di luar kamar yang membuatku kembali membuka mata.
Terlihat melalui jendela yang terdapat di pintu, orang-orang berlarian dari arah kanan menuju arah kiri. Aku sempat melihat beberapa ekspresi wajah mereka yang ketakutan sambil berlari menjauh, tidak lama kemudian, terlihat sedikit penyebab orang-orang tersebut berlarian.
Dimulai dengan asap hitam dan tembok seberang kamar yang tiba-tiba saja muncul cairan berwarna hitam, disusul oleh kemunculan sosok yang sudah tidak asing, kulitnya yang pucat dan cairan hitam yang mengalir dari atas kepalanya yang patah ke arah kiri, sang Hantu legendaris, Bu Risma, kini sedang menatapku dari luar kamar tempatku dirawat.