Pak Rusdi mengantar Rivaldi ke meja kerjanya, terlihat rekan kerja kami yang lain sudah berada di posisinya masing-masing, dan Pak Jefri juga terlihat sedang sibuk dengan komputer di ruangannya. Aku memperhatikan Pak Rusdi yang menemani Rivaldu sampai ia akhirnya duduk di bangkunya kembali, namun semangat bekerjanya tampak belum pulih. Kasihan dia, Rivaldi jarang berurusan dengan makhluk menyeramkan seperti itu.
"Sudah, Rivaldi bakal baik-baik aja, yuk kerja lagi." Pak Rusdi tiba-tiba saja sudah berada di depanku kembali, ia menyadarkanku yang tanpa sadar sedang melamun ke arah Rivaldi.
"Eh iya, Pak. Tapi kasian, Pak. Dia kan belum kebiasa." Kataku.
"Nanti juga normal lagi, yuk lah." Pak Rusdi langsung kembali membalikkan arah dan berjalan di depanku.
Aku berjalan di belakangnya, dan saat akan berbelok menuju meja kerjaku, Pak Jefri tiba-tiba saja membuka pintu ruangannya dan ia memintaku untuk masuk ke dalam ruangannya.
"Udin, bisa ke ruangan saya sebentar?" Pak Jefri memanggilku dengan hanya memunculkan kepalanya dari balik pintu ruangannya sendiri.
Awalnya aku sedikit heran, seingat ku belakangan ini tidak terjadi masalah apa pun yang melibatkan Pak Jefri, meskipun begitu, aku tetap memasuki ruangannya tanpa bertanya terlebih dahulu tentang penyebabnya memanggilku.
"Kamu udah ngobrol sama Fadil kan waktu kamu dirawat?" Tanya Pak Jefri setelah aku dipersilakan duduk di kursi yang ada di hadapannya.
"Iya, Pak. Kok Bapak bisa tahu?" Aku balas bertanya, karena seingatku, aku tidak pernah bilang kalau aku dan Fadil sempat terlibat percakapan saat aku dirawat.
"Fadil yang kasih tau, anak itu... ," omongannya terhenti seketika, seolah sedang memikirkan kata yang tepat untuk menggambarkan sosok Fadil. "Dia berbeda dari kebanyakan anak seusianya, jarang saya bisa ketemu anak kaya Fadil."
"Mungkin karena kelebihan yang dia punya, jadi dia sedikit beda." Balasku.
"Yaa bisa jadi, omong-omong, Fadil penasaran dengan masa lalu Bu Risma dan kehidupan pribadi kaya keluarganya Bu Risma dan lain sebagainya." Pak Jefri mulai menjelaskan alasan dia memanggilku dan aku mulai paham arah pembicaraan ini.
"Iya, waktu itu dia juga minta saya kasih tau dia, kalau saya dapet info soal itu." Balasku.
"Nah, waktu itu saya sadar, kalau selama ini saya gak tau apa-apa tentang kehidupan pribadi Bu Risma, malahan saya juga gak tau status Bu Risma saat itu sampai ulang tahunnya juga, aneh kan? Orang sebaik itu benar-benar nutupin hidupnya bahkan dari rekan kerjanya sendiri." Kata Pak Jefri.
Aku hanya mendengarkan kali ini tanpa membalas omongan Pak Jefri. Aku penasaran dengan sudut pandang Pak Jefri mengenai Bu Risma yang menutup kehidupan pribadinya dari rekan kerjanya sendiri.
"Belakangan ini, akhirnya saya cari tahu, din. Semua yang saya rasa perlu buat saya cari tahu. Saya hubungin mantan bos sebelum saya, karena saya pikir dia punya berkas lamaran Bu Risma. Seengaknya saya harap bisa nemuin sedikit info dari orang itu."
"Terus gimana, Pak?" Aku semakin penasaran kali ini.
"Mungkin karena sudah terlalu lama, berkas surat lamaran dan riwayat hidup Bu Risma sudah menghilang. Saya kepikiran mungkin surat-suratnya ketinggalan di kantor dan terselip di dokumen lainnya, tapi tenyata sia-sia. Surat-surat itu benar-benar udah hilang." Pak Jefri menjelaskan dengan nada sedikit lesu.
"Akhirnya saya coba cari dari media sosial, saya ketik nama lengkapnya, dan ketemu. Akhirnya saya tau tanggal ulang tahun dan statusnya. Ditampilkan disitu beliau udah nikah, tapi gak ditampilkan siapa suaminya." Jelasnya.
"Pas jam istirahat, saya tanya ke security senior yang lebih dulu ada di sini dibanding saya. Dia bilang beberapa kali liat Bu Risma dianter pake mobil dan pernah sekilas liat laki-laki di mobilnya, tapi dia gak pernah tau identitasnya, dia ngaku gak pernah liat orang itu masuk ke dalam gedung ini." Lanjutnya, Pak Jefri terlihat benar-benar bersemangat menceritakan apa yang sudah dia lakukan.
"Saya minta dia buat jelasin ciri-ciri cowo itu. Saya gambar sebisa saya. Nih gambarnya, ada tulisannya juga biar makin gampang buat kamu paham gambarnya." Pak Jefri menyodorkan kertas berisi gambar seorang pria yang sedikit sulit untuk dipahami karena kualitas gambarnya yang ala kadarnya.
Untung saja ada tulisan yang membuatku bisa tahu ciri-ciri pria ini. Berambut pendek dengan sedikit uban yang mulai terlihat, memakai kacamata, berhidung tidak begitu mancung, kulit sawo matang dan anehnya, saat memegang setir mobil pria ini terlihat memakai sarung tangan.
"Maksudnya pakai sarung tangan apa ini, pak?" Tanyaku.
"Saya gak tau, saya cuma tulis berdasarkan apa yang security itu liat." Jawabnya.
"Bapak udah tau siapa cowo ini, pak?" Tanyaku.
"Belum. Tapi kalau saya gak salah ingat, saya ngerasa pernah liat cowo kaya gini." Jawabnya .
"Saya udah minta tolong kenalan saya di kepolisian sih, tapi belum ada info lagi." Lanjut Pak Jefri.
"Ngapain ke polisi, Pak?" Tanyaku.
"Ya buat cari tau lah. Kali aja polisi bisa bantu cari orangnya." Jawabnya.
"Kalau udah tau orangnya?" Tanyaku kembali.
"Saya mau ngobrol sama dia." Jawab Pak Jefri simpel sambil bersandar pada kursinya dan sedikit tersenyum.
"Saya juga udah coba hubungin bos-bos yang ada di sekitar sini, kebetulan saya punya kontak beberapa bos perusahaan. Tapi, gak ada satu pun dari mereka yang merasa kenal sama orang yang punya ciri-ciri itu." Wajah Pak Jefri kini berubah menunjukkan ekspresi kekecawaan.
"Jadi sekarang kita cuma bisa nunggu dari kenalan bapak yang polisi itu?" Aku kembali bertanya.
"Buat sekarang iya." Jawabnya.
"Hmm, saya bilang ke Fadil aja atau gimana?" Aku penasaran dengan peranku.
"Oh, saya udah hubungin dia ko. Katanya dia bakal coba bantu cari dengan info seminim itu." Jawabnya.
Sepertinya kali ini aku hanya menjadi figuran saja, Pak Jefri dan Fadil benar-benar menganggap serius mimpi yang aku dan Pak Jefri alami pada malam kami dirawat. Meskipun begitu, kalau ternyata apa yang mereka fikirkan benar, aku harap bisa membawa kami semua ke titik terang agar Bu Risma tidak lagi mengganggu kami.
"Ya udah, Pak. Saya izin balik ke meja kerja saya lagi ya, sambil nunggu info lanjutannya." Balasku.
Pak Jefri mempersilakanku, aku membuka pintu, dan mulai berjalan kembali ke meja kerjaku saat mataku menangkap Bu Lilis yang diam membeku di bangkunya. Bu Lilis berada di deretan meja kerja Rivaldi, tepatnya di pojok kanan ruangan. Jika aku berjalan menuju meja kerjaku, aku bisa melihat Bu Lilis dengan jelas.
Bahkan aku hanya perlu memiringkan kepalaku jika aku mau melihat ke arahnya saat sedang bekerja, dan tentunya aku tidak akan pernah berharap untuk melihat Bu Lilis mematung seperti sekarang.
Sekilas dia tampak hanya sekedar melamun, tapi aku merasakan ada yang aneh. Matanya terbuka lebar, mulutnya sedikit menganga, seolah dia terkejut karena melihat suatu hal. Tapi, apa yang dilihat di dalam layar komputernya? Di siang hari yang terang ini, tidak mungkin kan para makhluk dunia lain sudah kembali menebar terornya? Atau mungkin--