Maksud yang dibilang pak Jefri justru membuatku semakin kebingungan. Apa maksudnya penelusuran tersebut tidak sia-sia? Bukankah justru jadi berbahaya, dia bahkan hampir saja kehilangan nyawanya, begitu pula denganku. Aku lebih setuju kalau mimpi tersebut dikatakan hanya karena sebatas trauma.
"Begini Udin, selama ini kita gak tahu kenapa Hantu Bu Risma masih neror gedung dan lantai kantor kita. Dia sudah meninggal sejak lama, tapi kenapa belum tenang?" Jelas Pak Jefri melalui telepon.
"Jadi menurut bapak, selanjutnya kita harus ngapain?" Tanyaku.
"Ya kita selesaikan!" Balasnya penuh semangat.
"Caranya?" Tanyaku. Aku kaget juga Pak Jefri masih saja bersemangat, padahal waktu itu kita berdua baru saja mendaat pengalaman buruk.
"Saya kepikiran sama kalung kemarin, saya pikir kalung itu ada kaitannya sama kematian Bu Risma." Jawabnya, suaranya kini lebih tenang.
"Tapi, apa gak buru-buru? Kita berdua kan abis dapet pengalaman buruk malah hampir meninggal." Balasku ragu.
"Benar juga. Ya udah nanti kalau udah sembuh, kita omongin lagi." Balasnya lagi. "Bisa tolong kasih ke Rusdi lagi?"
"Eh iya, pak." Aku langsung memberikan kembali ponsel milik Pak Rusdi.
Pak Rusdi langsung mengarahkan ponselnya ke telinganya dan kembali melanjutkan obrolannya dengan Pak Jefri di luar kamar. Sementara yang lain hanya mampu memandangi penuh keheranan dan tampak tidak mampu mengikuti pembicaraanku dan Pak Jefri barusan.
"Mmm, jadi gimana?" Aku berusaha menghilangkan suasana canggung.
"Eh, iya sampe sini dulu aja kali ya. Biar Udin istirahat dulu." Bu Lilis memberikan usulan. Yah, suasana canggung memang sering membuat orang bingung. Namun, pada akhirnya mereka menyetujui usulan Bu Lilis dan berpamitan kepadaku sambil mendoakan agar aku cepat sembuh.
Terlihat melalui jendela di pintu mereka berbicara dengan Pak Rusdi yang masih sibuk di telepon, tidak lama kemudian Pak Rusdi membalikkan badannya dan melambaikan tangan sebagai tanda berpamitan.
Kini aku kembali sendiri, aku sedikit lega karena Hantu Bu Risma yang aku lihat sebelumnya ternyata hanya lah mimpi. Aku juga masih yakin kalau mimpi itu hanya karena rasa traumatis yang aku dan Pak Jefri alami, bukan merupakan pesan seperti apa yang dipikirkan Pak Jefri.
Sisa hariku di Rumah Sakit berjalan normal, tidak ada lagi gangguan dari Hantu Bu Risma, Fadil juga sempat menengok kondisiku dan ia bersyukur karena aku tidak apa-apa dan semakin membaik setiap harinya.
Fadil juga berkata sudah menjenguk Pak Jefri, dan sempat berdiskusi dengan Pak Jefri mengenai mimpi yang kami berdua alami, menurutnya mungkin memang hanya sebatas trauma, tapi ia juga tidak menyangkal kemungkinan kalau Hantu Bu Risma benar-benar menitipkan pesan untuk minta tolong.
Secara pribadi, dia meminta tolong pada Pak Jefri dan juga diriku untuk memberi tahunya lagi semisal Hantu Bu Risma kembali muncul di dalam mimpi kami atau di tempat lainnya. Namun, ada satu percakapan antara diriku dan Fadil yang membuatku benar-benar tertarik.
"Lu udah tau Ellena kan?" Tanyanya.
"Iya, kenapa?" Balasku.
"Jadi, gua sama Ellena tertarik sama kasus Bu Risma, kita sempat diskusi, dan gua sama dia bisa dibilang udah satu suara soal kasus ini." Jawabnya.
"Satu suara gimana?" Tanyaku ingin mendengar lebih jelas mengenai hasil diskusi Fadil dan Ellena.
"Kita berdua sama-sama yakin kalau Hantu Bu Risma yang muncul di ruangan bawah itu, bukan Bu Risma, melainkan makhluk lain yang mungkin tertarik dengan Bu Risma semasa hidup." Tatapan mata Fadil benar-benar serius kali ini.
"Tertarik gimana? Dan kenapa bisa itu bukan Hantu Bu Risma?" Aku masih tidak percaya, bagiku yang orang awam, masalah persetanan dan perhantuan seperti ini benar-benar rumit dan sulit dipercaya.
"Nah itu yang gua gak tau. Gua tanya Pak Jefri soal Bu Risma semasa hidup, tapi yang dia tahu cuman Bu Risma itu orangnya baik dan loyal di kantor, Pak Jefri gak tau sama sekali soal kehidupan lainnya Bu Risma. Padahal gua yakin, ada sesuatu yang bikin makhluk lain ini tertarik sama Bu Risma. Dan kenapa bisa itu bukan Hantunya Bu Risma? Padahal kan Pak Jefri aja tau sosoknya, iya kan?" Jelasnya, sambil diakhiri guna memastikan omongannya benar.
"Iya bener. Terus kenapa?" Sahutku.
"Simpel aja, aura yang dikeluarin dari Hantu itu waktu dia keluar dari tubuh Pak Jefri itu aura yang jahat banget. Jarang ada arwah manusia yang punya aura semenyeramkan itu, apalagi kan Bu Risma dikenal sebagai pribadi yang baik, gua sama Ellena ngerasa gak mungkin orang sebaik itu punya aura menyeramkan." Jelasnya yang ternyata lebih rumit dibandingkan perkataan awalnya yang berkata 'Simpel'
"Eeh... Gak ngerti gua dah." Jawabku penuh kejujuran yang memang sulit untuk mengerti maksudnya, terlebih untuk orang biasa sepertiku.
"Ya intinya gitu dah." Balasnya kali ini benar-benar simpel, tapi tetap tidak membuatku mengerti apa pun.
Setelah pembicaraan yang membuatku semakin tidak mengerti kasus ini. Fadil langsung berpamitan, ia baru ingat kalau ia juga ada janji dengan temannya untuk belajar bersama, karena akan ada ujian di kuliahnya.
Besoknya, seorang dokter masuk ke kamarku, dan berkata kondisiku sudah pulih dan boleh kembali ke rumah. Biaya perawatanku menurut keterangan dokter juga sudah dibayar lunas oleh seseorang yang tidak ingin namanya disebut.
Aku pun lantas segera berpamitan dan tidak lupa juga mengucapkan terima kasih kepada jajaran dokter dan perawat yang sudah merawatku selama waktu tersebut. Motor kesayanganku yang biasa menemaniku bepergian rupanya sudah menunggu di parkiran rumah sakit, aku tidak tahu siapa yang membawanya dan bagaimana ia bisa memasukkan motorku ke parkiran rumah sakit ini.
Meski pun begitu, aku bersyukur karena ada orang yang repot-repot mau membawakan motorku, dibanding meninggalkannya di parkiran kantor. Perjalanan pulang pun juga lancar, jalanan sedang tidak macet, dan aku berhasil sampai di rumah dengan selamat.
Setibanya aku di rumah, aku langsung mengabari orang tua dan teman-temanku, mereka semua lega mendengar kabar tersebut dariku. Aku juga berkata akan kembali masuk kerja mulai besok karena merasa tubuhku sudah benar-benar segar, dan juga karena aku benar-benar rindu dengan suasana kantor.
Suasana sepi Rumah Sakit benar-benar membuatku bosan, dan kini aku bisa kembali meregangkan ototku yang kaku karena harus terus berbaring di ranjang Rumah Sakit. Aku menarik punggungku yang terasa pegal, saat tiba-tiba saja aku dikejutkan oleh anak kecil perempuan yang tiba-tiba saja muncul entah dari mana.
"Kamu gak lupa aku kan?" Ucapnya tiba-tiba yang membuatku terkejut.
"Huuff, Ellena kan? Bikin kaget aja." Balasku sambil menghela nafas akibat rasa terkejutku.
"Syukur lah masih ingat, malas aku kalau harus kenalin diri lagi." Sahutnya masih dengan nada jutek.
"Kok bisa tau rumah aku? Dan ngapain kamu ke sini?" Tanyaku.
"Susah dijelasin kenapa aku bisa tau rumah kamu, dan aku ke sini karena disuruh Fadil buat pastiin kamu emang udah pulih. Udah ya, aku pamit." Ellena kembali menghilang seketika.
Anak kecil itu walaupun tidak menyeramkan seperti Hantu Bu Risma, tapi firasatku mengatakan kalau ia juga bukanlah hantu biasa. Aku yakin ada suatu hal yang dia sembunyikan dariku walau aku tidak tahu pasti apa itu.
Penyebab dari firasatku tersebut adalah, adanya hawa yang seperti bercampur antara hawa damai, tapi juga sedikit mengintimidasi. Dia memang tidak menyeramkan, tapi ada sesuatu dari Ellena yang membuatku takut dalam berbicara dan bersikap di hadapannya.
Siapa sebenarnya hantu bocah ini?