Campuran dari suara teriakan Pak Ustad dan Fadil menggema memenuhi ruangan. Ingin rasanya aku melihat, namun aku juga takut kalau aku akan melihat hal yang tidak aku inginkan. Aku memutuskan untuk tetap berlari mengembalikan kalung tersebut menuju laci meja resepsionis. Anehnya, meja resepsionis yang sebelumnya terasa dekat dari pintu depan, kali ini terasa begitu jauh.
Akhirnya, aku berhasil mencapai besi yang melintang di tengah ruangan, dan melewatinya. Aku berhasil mencapai meja resepsionis tanpa gangguan apa pun, namun tenagaku rasanya sudah habis karena jarak yang terasa begitu jauh. Aku langsung membuka lacinya, dan lagi-lagi hal ganjil terjadi kepadaku.
Laci meja tempat seharusnya aku mengembalikan kalung ini seolah tersangkut sesuatu. Aku mencoba menariknya, namun tetap tidak bisa. Padahal sebelumnya laci ini bisa dibuka dengan lancar. Sial, ada apa ini? Kenapa sekarang? Aku tidak bisa melihat dengan jelas kondisi Fadil dan Pak Ustad saat ini, walaupun aku melihat ke arah yang sama, namun terhalang oleh besi di depanku.
Aku menarik nafas, mengumpulkan sisa tenaga, dan kembali membuka sekuat tenaga.
*Prak!!
Terdengar sesuatu yang patah, seiring dengan laci yang berhasil terbuka. Aku tidak tahu suara patah itu berasal dari mana, aku langsung menaruh kalung di laci tersebut dan kembali menutupnya. Aku jatuh terduduk di balik meja resepsionis, tenagaku sudah habis rasanya. Kalau sampai Hantu Bu Risma datang kepadaku, aku tidak akan sanggup untuk berlari lagi.
Aku masih terduduk diam di balik meja resepsionis, entah kenapa, aku bisa merasakan hawa menyeramkan dari Hantu Bu Risma yang sedang merasuki Pak Jefri. Aku berharap Fadil dan Pak Ustad berhasil menjalankan tugas mereka. Beberapa kali aku mendengar erangan dari arah mereka, namun aku tidak yakin, siapa yang membuat suara erangan tersebut?
Sesaat setelah tenagaku perlahan sedikit kembali, aku berjalan perlahan meninggalkan meja resepsionis, menunduk untuk melewati besi yang jatuh melintang, dan kini dari kejauhan aku bisa melihat Pak Jefri, Fadil dan Pak Ustad.
Pak Jefri sudah dalam posisi tiduran, sulit untuk memastikan apakah dia sudah berhasil diselamatkan atau belum? Fadil dan Pak Ustad terlihat terduduk, mereka kelihatan seperti kehabisan tenaga, bahu mereka terlihat naik turun untuk mengatur nafas. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?
"Fadil!" Teriakku, berharap ia mendengar.
Ia mengangkat kepalanya, dan menatapku, sedikit senyum tipis terlihat di wajahnya, namun raut wajah kelelahan juga terlihat melalui matanya yang sedikit sayu. Mulutnya terbuka, dan seolah sedang mengatakan sesuatu, namun aku tidak mendengar apa pun. Suaranya terlalu pelan, atau justru dia memang tidak bersuara?
Fadil tetap menggerakkan mulutnya, tampaknya ia masih berusaha untuk berkomunikasi denganku. Sayangnya, aku tetap tidak bisa mendengar apa pun, aku memutuskan untuk mulai berjalan untuk mendekati Fadil. Aku memberanikan diri untuk melewati Pak Jefri yang sedang tiduran, dan mungkin dia sedang pingsan saat ini.
"Jangan!" Suara wanita terdengar di telingaku. Aku berbalik secepat mungkin, namun tidak ada siapa pun. Suara wanita ini berbeda dengan suara Hantu Bu Risma yang serak dan penuh aura kematian.
Suaranya seperti wanita muda, dan sama sekali tidak ada hawa menyeramkan dari suara wanita tersebut. Namun, suara siapa itu? Kenapa tiba-tiba saja saat aku baru mulai melangkah berusaha mendekati Fadil?
Dilanda kebingungan, aku akhirnya kembali memantapkan diriku untuk lanjut berjalan, dan lagi-lagi suara wanita tadi kembali terdengar.
"Jangan berjalan mendekati orang yang tiduran itu!"
Sial, suara siapa ini? Dan apa maksudnya? Aku berbalik, dan mulai menyahut suara tersebut. Mungkin, aku akan terlihat gila di mata Fadil dan Pak Ustad.
"Siapa kamu? Apa mau kamu?" Balasku bertanya pada kekosongan ruangan, berharap aku mendapat balasan dari suara wanita misterius tersebut.
Hening...
Hanya ada angin dingin yang mengelilingiku, tidak ada jawaban balasan. Sialan, mengganggu saja wanita itu. Kalau wanita yang menyuruhku tadi hanya berbicara saat aku berjalan mendekati Pak Jefri. Baiklah, bagaimana kalau aku coba berlari secepat mungkin dengan sisa tenaga yang baru pulih? Sekalipun dia melarangku, aku akan tetap bisa melewati Pak Jefri kan?
Aku mulai mengambil ancang-ancang, bersiap untuk berlari, dan dengan sisa tenagaku, aku berlari secepat yang aku bisa. Tidak ada suara wanita yang mencegahku lagi, semuanya berjalan lancar. Setidaknya, itu lah pikiranku.
Tepat saat kakiku hanya berjarak beberapa jengkal dari Pak Jefri, tiba-tiba saja ia bangkit, dan seketika melompat ke arahku. Aku berusaha menepis dengan tanganku, tapi usahaku hanya sia-sia, sebab Pak Jefri menerjang dengan seluruh badannya. Kejadian yang begitu cepat, aku terjatuh, dan Pak Jefri mencekikku tepat diatas badanku.
Cengkraman Pak Jefri begitu kuat, sehingga sulit bagiku untuk melawan dengan sisa tenaga yang ada, pandanganku memudar, aku mensugesti diriku untuk tetap tersadar, namun cekikan dari Pak Jefri benar-benar membuatku kehabisan nafas.
Derap langkah kaki terdengar, seiring pandanganku yang semakin memudar. Aku juga mendengar suara orang lain memanggil namaku.
"Udin!! Bangun Udin!" Suara-suara tersebut bergantian terdengar di telingaku. Aku tidak tahu persis siapa yang memanggilku, penglihatanku kini bukan lagi memudar, melainkan juga semakin gelap.
Cengkraman Pak Jefri terasa melemah, namun aku rasa, semua sudah terlambat. Aku sudah tidak bisa melihat apa pun. Semuanya gelap, hanya suara orang yang terus memanggilku yang terdengar. Meskipun begitu, suara mereka seperti menggema di telingaku, bahkan semakin lama, suara mereka semakin hilang.
Apakah aku mati? Secepat ini? Karena kecerobohanku yang tidak menghiraukan larangan dari suara wanita misterius. Memori-memori dari yang pernah aku alami kini mulai muncul satu per satu di hadapanku. Aahh, sepertinya memang benar, waktuku sudah habis rupanya.
"Bangun!" Suara wanita misterius itu lagi.
Aku berusaha membuka mataku, dan aku yakin mataku kini telah terbuka. Tapi, kenapa semuanya gelap? Tidak ada apa pun.
"Aku di sini." Suara Wanita itu terdengar dari sebelah kiriku. Aku memalingkan wajahku untuk melihat sesosok wanita mungil telah berdiri menatapku.
Wanita bertubuh mungil, bahkan bisa dikatakan seperti anak kecil, berkulit putih pucat, dan bergaun hitam dengan model jaman dulu tengah menyilangkan lengannya dan berdiri menatapku.
"Sudah kubilang supaya jangan mendekat. Apa yang kau pikirkan saat berusaha berlari melewati lelaki yang tiduran itu? Kamu itu bodoh atau apa?" Anak kecil tidak tahu sopan santun, seenaknya saja memanggilku bodoh.
"Temanku sudah berjuang menyelamatkan kenalanmu itu, kamu malah menambah beban temanku. Apa mau kamu sih? Dan kenapa juga dia menyuruhku untuk menemuimu di sini? Menyebalkan!" Ucapnya.
Teman? Siapa yang dia maksud temannya?
"Maaf, tapi kamu siapa?" Aku bertanya.
"Hmm? Aku yang melarangmu untuk mendekat karena aku tahu temanku masih berusaha untuk mengembalikan kenalanmu." Jawabnya.
"Iya, tapi kamu itu siapa? Kamu itu apa?" Tanyaku, suaraku serak, ah pasti karena dicekik dengan kuat.
"Oh, aku Ellena, aku adalah teman hantu dari Fadil. Kamu sekarang berada di duniaku." Ucapnya.
"Fadil?" Aku merasa heran.
"Ya." Jawabnya ketus.
"Apa maksudnya aku di duniamu?" Tanyaku.
"Oh, kamu berada di dunia arwah. Singkatnya, kamu baru saja terbunuh." Jawabnya.
"Jadi, aku sudah mati... ."
"Aku tidak tahu soal itu, aku bukan malaikat pencabut nyawa, apalagi tuhan. Aku tidak bisa memastikan kamu benar-benar akan mati atau tidak. Tapi untuk sekarang, jiwamu sudah terpisah dari tubuhmu." Balasnya.
Aku merenung memahami maksud perkataannya. Bukankah kalau sudah terbunuh, dan jiwa yang lepas dari tubuh, berarti otomatis sudah meninggal? Kenapa dia tidak bisa memastikannya?