"Xelia, tiga hari lagi kita akan mengadakan wisata akhir semester, pastikan kau tak berulah!", ujar pak Rian sambil memberi Nerva sebuah laporan.
Kini sudah satu minggu berlalu semenjak kejadian itu, kebencian Nerva terhadap Ayana juga semakin kuat, ketidak pedulian Nerva dengan ocehan Ayana serta guru gurunya juga semakin berlanjut.
Nerva mengangguk faham, lalu ia berjalan ke arah kelas dan tak sengaja bertemu dengan Ayana.
"Hey, ternyata gadis bermasalah ini ada disini ... bagaimana keadaanmu? Sepertinya buruk sekali ya, hahaha", ujar Ayana disertai tawa.
Nerva hanya menghela nafas lalu menoleh ke arah Ayana. Terlihat dari sorot mata Nerva yang memaparkan kebencian terhadap Ayana, tatapan menusuk milik Nerva membuat Ayana terkejut.
"Bisakah kau diam? Aku seperti ini juga karnamu, sialan.", ujar Nerva dengan penuh penekanan.
Ayana membeku seketika mendengar perkataan Nerva yang penuh penekanan, beberapa detik kemudian Nerva pergi meninggalkan Ayana yang masih terpaku ketakutan.
"Apa apaan dia itu?!", ucap Ayana dalam hati.
Dia juga kesal karna kemarin, Kaiya mengatakan bahwa dia sudah keterlaluan. Mungkin Kaiya sadar dengan apa yang sudah mereka perbuat, tapi bagaimanapun juga mereka bertiga sudah dikendalikan amarah 'gadis itu'. Selain itu, Ayana juga tak ingin kedua temannya menerima 'nasib' yang sama sepertinya.
***
Setalah waktu istirahat selesai Nerva diperintah untuk pulang oleh para guru, karna para guru melihat keadaan Nerva yang semakin hari semakin buruk. Sudah satu minggu berlalu setelah orang tua Nerva memutuskan kepercayaan pada Nerva, dan keadaannya malah memburuk.
Memang benar Nerva ingin menjadi lebih baik lagi, tapi ini malah menyiksa dirinya, dan selama seminggu sudah bermacam macam rumor yang beredar dimana Nerva dituduh mencuri, menyobek berkas guru, merundung, dan kejadian buruk lainnya. Dan itu semua hanyalah tuduhan serta berita palsu yang disebarkan Ayana, Putri, dan Kaiya.
Saat perjalanan ke halte bus untuk pulang Nerva hanya melamun, memang ia semakin hari keadaannya semakin buruk. Mata yang setiap hari sembab, ia juga menjadi semakin pendiam, tak memperdulikan lingkungan sekitar, ia juga jarang tersenyum. Ia hanya sesekali tersenyum saat membaca novelnya dan membalas pesan dari Reygan.
***
Nerva PoV
Saat aku sudah sampai dipekarangan rumah, aku mempercepat langkahku agar cepat sampai rumah. Saat ini pukul delapan lebih tiga puluh menit, istirahat pertama sekolah pada pukul delapan pagi, itupun hanya untuk mempersiapkan acara tiga hari kedepan.
Tiga hari kedepan ya ... apakah ayah dan ibu akan percaya padaku jika ada wisata sekolah?
Kurasa tidak, kan aku sudah tak dipercayai siapapun lagi hahaha.
Aku harap ada bang Reygan disini, setidaknya dialah yang mempercayaiku ... tapi, apakah nantinya bang Reygan juga menghilang dariku? Kuharap tidak.
Saat ini rumah sudah sepi, karna kedua orang tuaku berangkat kerja dan adikku kesekolah. Untung aku membawa duplikat kunci.
Ah, aku rindu kasur.
Disanalah tempatku bisa menangis sepuasnya, segeralah kututup pintu rumah dan segera ke kamar.
Saat aku selesai membereskan semuanya, aku langsung menjatuhkan diri kekasur dan ... ya, tiba tiba aku menangis. Entahlah, aku tak tau menangis karna apa. Tapi karna aku ingin menangis, ya aku menangis saja untuk apa ditahan?
***
Normal PoV
Saat Nerva ingin terlelap, tiba tiba ponselnya berbunyi. Satu panggilan masuk dengan nama kontak "Bang Reygan". Dengan semangat Nerva langsung mengangkat panggilan tersebut, ia menghapus air mata nya dengan segera dan mengangkat panggilan.
Terdengar suara lelaki diponsel Nerva, saat Nerva membalas sapaan dari Reygan suasana menjadi hening. Saat Nerva ingin mempertanyakan sesuatu, Reygan sudah terlebih dahulu bertanya.
"Apa kau menangis, Nerva?", tanya Reygan khawatir.
Mata Nerva terbelalak terkejut kenapa orang yang bahkan tak ada hubungan darah bisa lebih mengerti perasaannya, tapi Nerva tak ingin membuat kakak laki laki yang ia sayangi itu khawatir, pada akhirnya Nerva berbohong pada Reygan.
"Aku tak menangis, hanya saja sedang flu ... HATCHIM", ucap Nerva dengan bersin yang dibuat buat.
Reygan kembali diam dia merasa aneh entah kenapa suara parau Nerva membuatnya khawatir, tetapi ia mencoba menyingkirkan prasangka buruknya. Ia berbicara dengan nada gembira, bahwa ia akan mengunjungi kota Nerva tiga hari lagi karna urusan pekerjaan.
Mendengar hal itu, Nerva tersenyum lebar dan dengan semangat ia bertanya kembali pada Reygan.
"BENARKAH?! BANG, KAU TAK BERBOHONG KAN?!", tanya Nerva antusias.
"Ehh, tidak mungkin orang tampan sepertiku berbohong.", jawab Reygan dengan bangga.
"Ya, terserah saja. Yang terpenting bang Reygan harus mampir kerumahku, akan kuberi alamatku. Jika tak datang, maka akan kupukul nanti.", ujar Nerva yang dengan kekehan pelan.
"Aku kesana itu juga demi dirimu ... Nerva", batin Reygan.
Reygan tersenyum tulus, walau tak bisa dilihat oleh Nerva.
"Baiklah, kau harus menyiapkan makanan yang enak untukku nanti ya!", ujar Reygan.
Nerva mengiyakan perkataan Reygan, walau tiga hari lagi ia wisata tetapi ia masih bisa bertemu dengan Reygan esoknya. Karna ia mengenali Reygan hanya lewat foto dan video call begitu juga dengan Reygan.
Mereka pun bercanda ria melalui telefon, tanpa mereka sadari empat jam lamanya mereka telefon. Karna Reygan harus segera kembali bekerja, Nerva pun menutup telefon dan tidur untuk mengistirahatkan tubuhnya sekaligus menenangkan hatinya yang sudah tak sabar bertemu dengan Reygan.
Malam harinya diruang makan, terlihat keluarga Nerva sedang makan dengan santai nya, tanpa memperdulikan Nerva yang belum makan dari pagi. Bahkan saat ibu Nerva, Karina mempertanyakan keadaan Nerva, Arga hanya menjawab dengan santai seolah tak terjadi apapun pada Nerva.
"Apa Lia baik baik saja? Kata wali kelasnya, keadaan Lia semakin memburuk semenjak satu minggu yang lalu.", ujar Karina khawatir.
"Karina, tidak usah khawatir mungkin Lia hanya mencoba memperbaiki dirinya ... jadi tenang saja.", ujar Arga menenangkan Karina.
Merekapun melanjutkan makan malamnya, suasana diruang makan menjadi hening sampai makan malam selesai. Saat membereskan meja makan, jatah makan Nerva langsung dibuang oleh Karina.
"Ibu, kenapa makanan kak Lia dibuang?", tanya Lili adik perempuan Nerva.
"Untuk apa disisakan? Lagipun Lia juga tak akan makan, jadi percuma saja jika makanannya dibiarkan.", ujar Karina tenang. Ia membuang jatah makan Nerva dengan santai, seolah tak peduli Nerva ingin makan atau tidak.
Mendengar jawaban dari ibunya, Lili mengangguk dan segera pergi kekamarnya disusul dengan Karina dan Arga. Saat mereka sibuk makan malam tadi, mereka tak sadar jika Nerva melihat dan mendengarkan semua percakapan mereka.
***
Tiga hari berlalu, saat ini Nerva akan berangkat ke tempat wisata nya. Nerva memasuki bus kelasnya dan saat ia melihat keluar jendela bus ia tak sengaja melihat seorang lelaki misterius dengan wajah tertutup tudung hoodie hitam, lelaki itu adalah lelaki yang selama ini mengikutinya tanpa dia sadari.
Bus berjalan. Dan seperti biasanya Nerva dikucilkan, tak ada satupun murid yang mau duduk bersebelahan dengannya. Walau begitu Nerva tak memperdulikannya sama sekali, ia memasang earphone dan mendengarkan lagu favorite nya sambil duduk di paling pojok belakang.
Tanpa ia sadari seorang gadis dengan rambut coklat yang dikucir serta memakai kacamata mendekatinya, lalu menyapanya, Nerva tau jika ia disapa oleh gadis itu, tapi ia malah mengabaikannya.
"Xelia, kenapa kau disini sendiri?", tanya gadis itu polos..
Nerva tak menjawabnya, ia sibuk memperhatikan jalanan dari dalam bus melihat kendaraan berlalu lalang. Gadis itu merasa diabaikan, tapi ia memaklumi hal itu. Ia pun duduk disamping Nerva dan langsung melepas earphone milik Nerva.
"Aku kurang suka diabaikan, jadi jangan abaikan aku ya!", ujar gadis itu sambil tersenyum saat Nerva ingin memarahinya.
Gadis itu berniat untuk menghibur Nerva dengan candaannya, tetapi Nerva tetap diam. Nerva mengurungkan niat memarahi gadis itu saat melihat senyuman tulus gadis tersebut.
"Aku yakin kau sudah tau jika aku dirundung kan, Salsa?", tanya Nerva.
Salsa Nesa, seorang gadis yang kini menjadi anggota tiga besar seangkatannya. Ia hanya tersenyum saat mendengar jawaban Nerva. Ia bisa mengerti perasaan Nerva karna terkadang ia juga dirundung oleh teman sekelasnya, tentu Ayana dan kedua temannya juga termasuk.
"Aku tau jika kau hanya dituduh oleh Ayana, Xelia ... aku tau semuanya karna aku mengetahui semua rencana Ayana.", ujar Salsa sambil menaikan kacamatanya hingga kepala.
Nerva sontak menoleh kearah Salsa, ia terkejut saat tau bahwa ada orang lain yang mengetahui rencana busuk Ayana. Ia menatap Salsa yang hanya bisa tersenyum sendu padanya.
"Tapi ... aku tak punya bukti untuk melaporkannya pada guru, padahal dulu kau sering menolongku Lia kau selalu memberiku saran, tapi ... saat kau dalam masalah begini aku malah tak bisa berbuat apa apa, aku terlalu takut dengan Ayana.", lanjut Salsa.
Tangannya bergetar, karna ia juga memiliki trauma terhadap Ayana. Nerva dapat memaklumi hal itu, ia mengerti perasaan takut Salsa. Begitu juga dengan Salsa yang sangat ingin membantu temannya, tapi karna rasa trauma dan rasa takutnya terhadap Ayana, ia pun tak bisa berbuat apapun.
Nerva tersenyum tulus pada Salsa, ia sangat berterima kasih karna setidaknya masih ada teman yang mempercayainya. Mereka pun saling berbagi cerita dan sesekali bercanda, tentu dengan suara yang pelan agar tidak mengganggu murid yang lain. Karna dibelakang tak ada siapapun, jadi tak ada yang tahu maupun mendengar perkataan dua gadis ini.
"Oh iya, Hans juga tetap mempercayaimu loh Xelia.", sela Salsa ditengah candaannya, Nerva menautkan sebelah alisnya karna ia merasa kurang mengerti dengan maksud perkataan Salsa.
"Hans Robert, sama seperti ku dia juga tak percaya terhadap tuduhan yang diberi Ayana dan tentu ia juga mempercayaimu loh, Xelia.", jelas Salsa.
Sekali lagi Nerva terkejut, karna Hans Robert dan Salsa Nesa adalah dua murid anggota tiga besar, dan saat ini dua orang ini mempercayainya. Ia benar benar bahagia karna masih ada oramg yang mempercayainnya.
Nerva pun memutuskan untuk menyuruh Salsa diam, ia tak ingin temannya terlibat dengan masalahnya apalagi harus berhadapan dengan Ayana. Awalnya Salsa keras kepala ingin menolong Nerva, tapi kepala Nerva lebih keras jadi Salsa mengalah agar tidak terjadi perdebatan.
Di kursi depan terlihat Ayana yang menatap Nerva dan Salsa secara intens, tapi tatapamnya lama kelamaan berubah menjadi tatapandatar dan biasa.
"Cih, sialan.", gumam Ayana pelan.
***
Sesampainya ditujuan, Nerva turun dari bus paling terakhir karna ia tak jngin berdesakan dengan teman sekelasnya. Saat ia turun, semilir angin sejuk datang sehingga membuat rambutnya berantakan.
"Ada apa ini? Kenapa aku punha firasat buruk disini.", batin Nerva sambil menata rambutnya kembali.