Arion melewati kelambu malam dengan hati yang gemetar. Pikirannya berat, dia kebingungan. Mengingat kembali wajah dan kalimat istri yang dia cinta, Arion hanya bisa merasakan salah di dada.
Akan tetapi, melihat wujud putranya seperti itu membawa amarah kepadanya. Jengkel dan frustrasi yang tidak tahu harus dia buang ke mana, tidak ada yang berada di pihaknya.
Napas berat dia buang ke udara, seakan meminta mereka untuk membawa pergi susahnya, tapi mereka tidak bisa. Arion tersenyum pahit, tidak percaya dia mengharapkan keberadaan seorang teman sekarang.
"Jenderal." Sesuatu yang rasanya dikabulkan oleh kedatangan dua orang prajurit kepadanya, "Kami baru saja akan ke rumah Anda." Wajah mereka datar dan tak berekspresi, menjaga hormat dan tubuh tegap.
"Ada apa?" Arion bertanya, tidak pernah sebelum dicari semalam ini.
"Para menteri dan Yang Mulia Raja menginginkan kehadiran Anda di ruang perang istana."
"Apakah ini tentang anakku lagi?"
"Kami tidak tahu." Keduanya menjawab cepat, berusaha menjaga ekspresi mereka agar tetap sopan, tapi Arion bisa membaca hinaan di mata mereka.
Ingin rasanya dia menghabisi mereka pada saat ini juga karena sudah menghina dirinya, keluarganya, anaknya. Namun Arion punya kontrol diri, dia hanya mengangguk mengerti kemudian mengubah haluan dari bar ke istana yang terletak di jantung ibu kota.
Perjalanannya ke sana sendirian, membiarkan dia mendengarkan kedamaian ibu kota yang begitu dia cintai. Rumah-rumah orang dia lewati, sesekali mencuri pandang ke arah mereka hingga tidak sengaja menatap rumahnya sendiri.
Arion berhenti menatap ke rumah mereka itu. Seluruh lenteranya sudah mati, menghasilkan kegelapan total. Dia membeku di sana, merasakan dosa merangkulnya, membuat dia sekali lagi mencium salah.
Dia yakin Demeter cintanya itu sedang tertidur dan menangisi kondisi keluarga mereka yang semakin menjauhi satu sama lainnya, dan darah dagingnya ....
Arion tidak mampu memikirkan putranya, tidak sanggup dia menerima kenyataan pahit bahwa putranya terlahir sebagai seorang pria.
"Kau seharusnya terlahir sebagai wanita ...." Dia membuang napas berat, "Benar 'kan, Robin?" Matanya berbalik ke samping melihat masa lalu, anaknya jatuh berlutut bahkan saat latihan mereka belum berjalan jauh.
Masa lalu, pelariannya. Memang salahnya berharap banyak pada hari pertama anaknya di akademi, putranya itu berbeda. Sayang karena masyarakat tidak suka hal yang berbeda, pikirnya.
Cukup nostalgia dan tidak ingin membuat para menteri menunggu lebih lama, Arion melanjutkan perjalanannya.
Kali ini, perjalanannya diwarnai pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan sang putra, diwarnai hari pernikahannya, diwarnai hari-hari bahagia yang sudah tiada.
Seperti perjalanannya, berakhir mereka saat dirinya sampai di istana.
Arion kini tidak sendirian dan tidak lagi di bawah kegelapan. Lentera-lentera mewah menyala, menyinari setiap prajurit penjaga yang mengangguk mengakui keberadaannya hingga dia akhirnya tiba di ruang perang.
Pintu yang dua kali lebih tinggi darinya itu dia dorong terbuka, semua orang di dalam ruangan cepat melemparkan mata. Arion menatap mereka, memastikan tak ada yang kurang, dan kemudian mengambil tempatnya di meja bundar di tengah ruangan.
Di dalam sini, ada dua hal yang tidak ada: wanita dan takhta. Mereka semua setara di depan kematian, dan oleh karena itulah tidak ada dari mereka yang pantas mengambil keputusan demi yang lain.
"Jadi?" Sebab itu pula Arion bisa langsung bertanya tanpa peduli tata kerama atau keterlambatannya, "Jangan bilang kalau ini soal ...."
"Bukan, bukan. Kami tidak ada di sini untuk menghina anakmu." Seorang pria paruh baya yang dililit perhiasan, sang menteri keuangan, menghentikan kecurigaan Arion, "Dia sudah menghina dirinya sendiri." Menutup dengan ejekan yang membuat Arion mengepalkan tangan.
"Kita ada di sini untuk membahas masalah yang penting." Sang raja, seorang pria tua dengan uban di atas kepala dan di bawah mahkotanya, melanjutkan, "Sang Badai sedang menuju kemari."
Ekspresi semua orang di ruangan tidak banyak berubah, tapi sedikit perubahan yang ada cukup bagi Arion untuk membaca bahwa mereka tidak bercanda.
Ada keseriusan dalam dingin ruangan yang diterangi oleh sedikit lentera itu. Ada putus asa terkubur di dalam sana, ketakutan besar terhadap bencana yang memang pantas menerima namanya.
Meski begitu, "Kalian ...." Arion menolak, "... serius?" Dia tidak ingin percaya.
Masalah apa lagi ini!? Teriak hatinya.
Akan tetapi, membaca ekspresi mereka semua yang mengangguk sudah lebih dari cukup bagi Arion untuk mengatakan pada dirinya sendiri bahwa mereka benar.
Dia mencair ke tempat duduknya, bersandar berusaha melepaskan semua beban yang sekarang bertambah jumlahnya itu ke kursi mewah yang terlalu nyaman untuk berita yang baru saja didengarnya.
"Dari mana kita tahu dia akan datang?" Arion sekali lagi bertanya memastikan, mendorong semua orang untuk menggelengkan kepala tapi pengertian melihat bagaimana reaksi penolakan Arion hampir sama dengan reaksi mereka saat pertama kali mendengar berita ini.
Menjawab Arion, "Dia baru saja menghancurkan tetangga kita." Adalah pria tua dengan hidung bengkok dan tongkat di sampingnya, "Dan melihat pergerakannya sejauh ini ...." Sang menteri hubungan luar negeri lanjut menjelaskan, "Dia akan menghampiri kita selanjutnya."
Menteri hubungan luar negeri menyodorkan peta yang sudah digarisi kepada Arion, memperhatikan dengan baik garis berliku-liku yang ditarik dengan merah darah itu benar sedang mengarah ke ibu kota negara kecil mereka.
Arion tahu inilah akhirnya, sebab dia tahu tidak ada yang bisa membunuh Sang Badai, seperti bagaimana hampir tidak ada yang bisa menghiburnya.
Bayangan akan masa lalu, saat pertama kali dia bertemu Sang Badai kembali kepadanya, begitu jelas seakan baru kemarin dia melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri.
Sang Badai besar, lebih besar dari semua pria lain yang pernah Arion lihat sebelumnya. Ototnya mengerikan dan tidak masuk akal, tubuhnya cokelat, penuh bekas luka, dan luka baru. Tapi si ekspresi si pria tidak berubah, di balik rambut tebalnya yang berantakan, mata cokelat tua sang pria bersinar arogan seperti senyum lebarnya.
Satu-satunya alasan aku bisa selamat hari itu adalah ... karena dia sudah bosan. Arion merinding pada memori dan alasannya bisa hidup hingga saat ini.
Fakta bahwa dia akan menghadapi mimpi buruk masa lalunya tidak membantu, "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Suaranya gemetar, kekurangan wibawa yang semua orang harapkan dari seorang jenderal besar.
Namun tak ada yang bisa menghinanya di dalam ruangan, mereka semua merasakan hal yang sama.
Bencana yang akan negara kecil mereka hadapi sekarang bukanlah sesuatu yang bisa dikesampingkan, diabaikan, atau bahkan dianggap kecil oleh orang-orang yang sudah pernah mendengar rumor tentang Sang Badai.
Puluhan kota telah ditundukkan oleh pria yang beberapa orang berani nyatakan lebih kuat dari militer seluruh negara.
Mungkin itu alasan ruangan itu diam pada pertanyaan Arion, lagi pula mereka tahu betul Sang Badai bisa menaklukkan seluruh negara dengan dirinya sendiri.
Mereka sudah melihat kehancuran yang berlangsung selama berbulan-bulan itu setelah ibu kota kerajaan Mezia jatuh karena mereka menculik putri Sang Badai.
Tidak ada kota yang selamat, dan semua jiwa yang lari akan mengalami histeria hanya dengan mendengarkan julukan si pria disebutkan di depan mereka.
Akan tetapi lagi, memangnya apa yang bisa mereka lakukan selain .... "... melawan?" Sang raja melemparkan saran putus asa hanya demi memecah keheningan sedih yang sudah menggerogoti mereka untuk beberapa lama.
Malam semakin malam, tapi mereka semua terbangun dengan mata terbuka lebar saat mendengarkan proposal sang raja.
Setiap dari mereka ingin membantah, setiap dari mereka ingin mengatakan betapa sia-sianya melakukan hal itu, betapa banyaknya nyawa yang akan hilang hanya karena proposal sebodoh itu.
Namun, mereka tidak mengatakannya. Mereka tidak mengatakannya karena mereka tahu menyerah bukan pilihan pula. Sang Badai tidak akan pernah menerima bendera putih, mereka tahu betul akan hal itu.
Pada akhirnya pilihan mereka hanya dua, membiarkan Sang Badai mengamuk di dalam tembok ibu kota dan menghancurkan semuanya, atau mengirimkan mayoritas tentara mereka ke depan demi menghadapi Sang Badai.
Dihadapkan pada kedua pilihan semacam itu, semua orang yang ada di dalam ruangan itu, termasuk ke dalamnya Arion yang akan memimpin militer ibu kota menuju kematiannya, hanya bisa memilih pilihan kedua.
Selanjutnya mereka semua mulai merencanakan segalanya, mulai dari apa yang akan mereka katakan kepada orang tua, anak, dan istri yang akan kehilangan anak, ayah, dan suami mereka; hingga bagaimana rencana mereka selanjutnya untuk membangun militer dengan cepat setelah ini semua.
Di dalam pembahasan mereka, termasuk pula siapa yang akan menggantikan Arion yang sudah menerima kematiannya.
Sebab dia telah menerima kematiannya, setelah rencana mereka disetujui oleh semua orang, Arion berlari pulang ke rumah tempat istri dan anaknya menunggu dia.
Dia berlari lebih cepat daripada sebelum-sebelumnya, lebih cepat dari seluruh lari yang sudah dia lakukan seumur hidupnya.
Arion mengabaikan semua orang yang menyapa, semua tatapan aneh yang tidak tahu apa-apa. Mereka tidak mengerti, tidak akan mengerti dirinya atau anaknya.
Matahari semakin tinggi, rasanya begitu panjang perjalanan pulangnya kali ini, tapi dia akhirnya sampai juga.
"Robin!" Dia mendobrak pintu itu dengan keras, membangunkan semua orang di dalam rumahnya.
Dirinya berlari masuk, "Demeter!" Meneriakkan nama pemilik hatinya yang dia temukan masih berbaring di kasur kamar mereka.
Ingin rasanya dia menatap mata bingung istrinya itu lama, mengingat warna dan detail-detail kecil yang ada di sana, tapi ada hal lebih penting yang Arion harus lakukan.
Dia membongkar peti besar tempat dia menyimpan semua perlengkapan lamanya dengan ribu yang luar biasa, "Arion, apakah kau sudah gila!?" Membuat istrinya bertanya.
Dan benar memang Arion sudah gila. Dia sudah gila karena dia tidak akan punya waktu banyak untuk menyelamatkan satu-satunya harta paling berharga dalam keluarga mereka.
Saat dia menemukannya, "Sang Badai akan datang." Arion menjawab pertanyaan istrinya sebelum berlari keluar menuju kamar putranya.
Di sana, Arion menemukan putranya berdiri di depan cermin dengan sebuah pisau di tangan mengarah ke lehernya.
Keinginan Arion untuk mempertanyakan apa yang putranya coba lakukan dia telan cepat, tidak ada yang tahu kapan Sang Badai akan datang, dan dia harus melakukan ini sekarang.
Arion menjatuhkan zirah lamanya itu ke lantai, "Kenakan." Kemudian memberi perintah.
"A ... apa ...?" Mata putranya besar kebingungan, meminta jawaban yang tidak bisa Arion berikan.
"Kenakan zirah ini, Robin!" Suara Arion naik, dia memberi perintah yang akhirnya memaksa sang anak untuk melakukannya dengan bantuan Arion.
Istrinya yang mengekor melihat ayah dan anak itu punya kontak fisik untuk pertama kalinya sejak entah berapa lama, tapi Arion tidak bisa peduli terhadap hal semacam itu.
Karena, "Sekarang, dengarkan aku baik-baik, Robin." Arion harus menjadi kejam, "Pergi dari sini dan jangan pernah kembali." Dia melanjutkan sembari memegangi pundak sang anak untuk memaksanya menatap mata Arion.
"Ta ...."
"Pergi, Robin!" Arion memotong dengan kasar, "Pergi dan jangan pernah kembali. Lupakan kami, ini bukan rumahmu lagi." Menggenggam pundak putranya lebih keras lagi.