Chapter 3 - Bab 3

Robin membeku di tempatnya tidak percaya, tidak ingin percaya. Dia ingin lari dari kenyataan, melupakan kalimat sang ayah yang baru saja dirinya dengarkan.

Tubuhnya gemetar, matanya berkaca-kaca. Ingin menangis dia, berlutut di tanah dan menyalahkan siapa pun selain dirinya sendiri yang sudah terlalu lelah.

Namun, Robin tak bisa melakukannya. Dia masih ingat pesan sang ayah tentang seorang pria.

Mereka tidak menangis, mereka menelan semuanya, dan menggunakannya sebagai senjata untuk diarahkan ke lawan yang telah merebut segalanya dari mereka.

Dia menahan dan menahan perasaannya, membiarkan kekecewaan itu tersangkut di tenggorokan dengan sekuat tenaga, hingga gagang pintu dirampas paksa dari tangannya.

Sang ayah muncul di depannya, pria yang sudah telanjang dada itu menatap Robin menjatuhkan air mata dengan penuh amarah beberapa saat sebelum akhirnya meludah ke tanah di depan Robin dan berjalan pergi dari rumah.

Robin diam untuk beberapa lama sebelum akhirnya melangkah masuk ke rumah keluarga mereka yang begitu hangat sepuluh tahun yang lalu. Dia menutup pintu di belakangnya, kemudian bergabung dengan ibunya duduk di sofa.

Sang wanita yang begitu mencintainya itu menatap Robin dengan iba, mulai mengelus rambut pirangnya seperti biasa. Begitu lembut, begitu sederhana, begitu hangatnya.

Robin membenci dirinya sendiri yang tidak bisa benar-benar bisa menikmati manisnya kasih sayang dari sang ibu. Dia hanya bisa terus memikirkan sang ayah yang tampak begitu marah dan kecewa kepada dirinya.

"Bu." Hal itu membuat Robin, "Apa artinya menjadi ...." Membuka mulutnya, "... seorang pria?" Dan melemparkan pertanyaan kepada rahim yang melahirkannya.

Wanita itu terdiam terhadap pertanyaan Robin, tidak ada sehelai rambut kepang hitam panjang si wanita atau bahkan pakaiannya yang bergerak.

Membatu sebentar Ibu Robin dan berhenti melakukan semua hal untuk menenangkan Robin sebelum kembali sadar, melepaskan kutukan dan mengadakan semua gerakan.

Di kepala sang ibu ada begitu banyak kata yang muncul untuk menggambarkan seorang pria. Akan tetapi, tidak ada satu pun dari kata itu yang menggambarkan Robin.

Hal ini mengantarkan mereka hanya pada diam dan senyum canggung, Robin yang melihat ekspresi itu terukir di wajah sang ibu hanya bisa memasang air muka bersalah.

Dia tahu betul ibunya tidak ingin menyakiti perasaan Robin. Lagi pula, Robin sudah tahu jawaban dari pertanyaannya sendiri. Dia sudah bisa membayangkannya sejak pertama kali dia menyebutkannya.

Sang ayah adalah seorang pria.

Perkasa, berani, dan keras kepala dengan tubuh tinggi nan berotot penuh luka dari latihan dan peperangan sungguhan yang sudah dilalui oleh sang ayah.

Jelas sekali bagi Robin bahwa dia bukanlah ketiganya. Robin lemah, dia takut pada kegelapan malam di ibu kota, dan bisa dengan mudah diseret untuk melakukan apa saja.

Tubuhnya kurus dan pendek, kulitnya putih halus dan lembut. Wajahnya oval, dagunya tidak tegas, jakunnya bahkan sulit terlihat.

Dia adalah apa pun yang bukan pria, segala hal yang dikeluarkan dari definisi pria itu sendiri. Bahkan, banyak orang yang akan berargumen bahwa Robin adalah kebalikan dari seorang pria.

Mulai dari rambut panjang hingga suaranya yang tidak dalam, tidak ada orang yang akan menduga Robin sebagai seorang pria bahkan walaupun dia mengenakan pakaian maskulin di depan mereka semua.

"Mungkin itu masalahnya ...." Robin membisikkan isi kepalanya.

"Apa masalahnya, Sayang?" Mengundang perhatian ibunya yang kemudian bertanya, mengejutkan Robin yang tidak mendengarkan dirinya sendiri.

Keinginannya untuk menyembunyikan rencananya dari sang ibu, "Aku ...." Dia musnahkan setelah melihat ekspresi khawatir yang jujur di wajah ibundanya, "... Apakah ayah akan bangga padaku jika aku menjadi seorang pria?"

Bagai anak tak bersalah yang tak tahu apa-apa, nada pertanyaan Robin benar-benar serius tanpa sedikit pun tanda goyah yang terdeteksi dalam suaranya.

Bahkan sang ibu yang sudah menjadi sangat hebat dari membaca segala macam petunjuk di tubuh, mata, dan suara sang anak tidak bisa menemukan secuil keraguan di wujud putranya.

Robin benar-benar serius, pikir Demeter yang melanjutkan kereta pikirannya ke apa yang harus dia katakan selanjutnya kepada sang anak.

Tentu saja, dia bisa mengiyakan pertanyaan Robin, melihat bagaimana memang itu hal yang diinginkan suaminya sejak awal.

Namun, melakukan itu berarti membebankan sesuatu kepada putranya yang jelas tidak seperti putra-putra orang tua lain yang menyukai permainan kasar.

Anak Demeter istimewa, dan dia tidak rela melihat kebanggaannya ini memotong sayapnya hanya karena suami bodohnya itu tidak suka melihat malaikat di rumah mereka.

Demeter membuka mulutnya, kemudian menutupnya lagi. Beberapa kali si wanita melakukannya, berusaha mencari kata dan hal yang paling tepat untuk dikatakan.

Hingga akhirnya, setelah pertimbangan yang begitu berat tentang bagaimana dia tidak seharusnya membohongi darah dagingnya, Demeter mengangguk, dan Robin tersenyum mengerti.

Demeter sering sekali melihat sang anak memasang senyum seperti itu, "Jadi ...." Senyum mengalah, "Kau akan melakukannya?" Tapi bukan menyerah.

Jalan pikiran dan isi pikiran Robin bukanlah sesuatu yang Demeter bisa baca secara mendetail, tetapi Demeter paling tidak tahu bahwa selanjutnya sang anak akan berusaha memuaskan sang ayah.

Dan benar saja, Robin akan melakukannya.

Dia mengangguk menjawab pertanyaan ibunya, mengubah senyumnya menjadi senyum lebar untuk menyembunyikan segala jenis takut dan kecewa.

Air matanya dia tahan di pelupuk, tidak ingin dia biarkan jatuh dan melanggar definisi ayahnya tentang apa saja kualitas pria jantan itu.

"Terima kasih, Bu." Robin menahan tangan wanita itu, mencabut tangan yang tidak berhenti mengelus dan menenangkannya itu sedari tadi dari rambutnya.

Sang ibu diam sebentar sebelum mengerti, "Bagaimana dengan makan malam?" Dan memindahkan topik mereka ke sesuatu yang lebih ringan lagi.

Robin mengiyakan dengan semangat, berjalan cepat ke dapur yang kosong dan duduk di kursi yang sudah dia duduki sejak masih kecil dulu.

Ibunya yang menyusul di belakang, mulai menata makanan di meja. Sesekali menatap Robin yang tampak begitu bahagia dengan tekad barunya untuk menjadi seorang pria.

Setelah selesai menata makanan, ibu Robin ikut duduk di samping Robin, dan makan malam mereka untuk yang ke sekian kalinya bermula dan selesai tanpa sosok ayah di meja.

Namun, Robin yakin keputusannya malam ini akan cepat mengubah ini semua. Sebentar lagi, dia akan bisa menyatukan kembali keluarga kesayangannya ini.

Dia makan hingga kenyang, sebelum membersihkan diri dan kembali tidur, siap melakukan segalanya untuk mencapai keinginan barunya di dunia ini.

Dan seakan menjadi pertanda, mimpi yang telah menghantuinya selama satu dekade lebih sedikit itu, akhirnya sedikit berubah.

Kali ini, Robin bisa mendengar jelas keinginannya, bisa melihat dengan mudah sebuah surat undangan yang diberikan kepadanya oleh tangan yang bengkok dan patah, berkulit merah, dengan kuku tajam hitam melekat kepadanya.

Wujud penuh mereka yang memberikan surat undangan itu kepada Robin ditutupi kabut putih yang sewarna dengan sekeliling Robin yang kosong.

Seharusnya takut Robin menerima surat itu dari makhluk apa pun yang menawarkannya, tapi Robin mengambilnya.

Surat dengan segel lilin itu bercahaya sejenak, sebelum kemudian sedikit berubah di detailnya. Kini, segel lilin itu memiliki motif khusus, yaitu satu lingkaran kecil di dalam lingkaran besar.

Penasaran, Robin membuka surat itu. Tertulis di dalam:

"Kepadamu, Robin Andemo

Kami sudah melihat garis waktu, memperhatikan benang merah takdir yang mengikatmu, dan kami harus mengaku; kami bersimpati terhadap situasimu.

Meski begitu, kami tidak bisa membantumu, tidak jika kau masih berada di tempatmu berdiri sekarang. Kekuatan kami, kemampuan kami, hanya bisa dipergunakan di tempat tertentu.

Dan oleh karena itulah, kami mengundangmu ke rumah sederhana kami di pusat dunia.

Jangan terlambat, temanku. Sebab ada 21 orang yang berada dalam situasi yang mirip seperti, dan kami hanya mampu mengabulkan satu.

Permintaan apa pun itu.

Hormat kami, Hidel"

Robin kemudian melihat siluet orang-orang lain yang muncul dengan sendirinya mengelilinginya, setiap dari mereka begitu berbeda, mulai dari warna hingga wujud siluet mereka.

Seorang wanita, seorang pria. Orang dewasa, anak yang baru saja keluar dari masa balita. Merah darah, hijau alam yang sederhana. Semuanya, semuanya berputar dan menyala, mengitari Robin seakan mengancam akan mengambil tempatnya.

Mengambil satu-satunya kesempatannya untuk menyatukan keluarganya, menjadi seorang pria yang akan dibanggakan ayahnya.

Robin membuka mata, napasnya sesak karena mimpi yang terasa begitu nyata itu. Dia melihat keluar jendela untuk menemukan bahwa matahari sudah berada jauh di angkasa, tinggi di sana menandakan dia sudah terlambat untuk ke sekolah.

Sial, sial, sial! Robin mengumpat dalam hatinya, cepat melompat turun dari kasurnya tanpa peduli terhadap mandi yang biasa dia lakukan setiap pagi.

Universitas pasti sudah menunggu dan mencarinya, terutama si penjaga gerbang yang selalu Robin sapa, dan juga orang-orang daerah komersial yang sering Robin jadikan sasaran keramahan pula.

Lebih dari itu, pengajarnya hari ini adalah pengajar paling garang satu sekolah, akan sangat sulit bagi Robin untuk mendapatkan nilai bagus, atau bahkan lulus bila sampai pengajar itu mengingat namanya dengan cara yang salah.

Pikiran demi pikiran, kekhawatiran demi kekhawatiran terus menemani Robin yang dengan buru-buru mengenakan seragam dan merapikan rambutnya, menatap ke arah cermin untuk melihat penampilannya sebelum dia akhirnya tersadar.

Robin terdiam sebentar di depan cermin membatu, seakan dia adalah Medusa yang tidak sengaja melihat wujudnya sendiri. Semua khawatir yang dia rasa terhapus dengan mudah oleh air matanya yang mengalir jatuh.

Kegagalan nomor duanya hari ini dari memenuhi keinginan sang ayah agar Robin memenuhi standar pria jantan yang sang ayah sudah tetapkan entah sejak kapan.

Perlahan, Robin melepaskan pakaiannya. Menelanjangi dirinya sendiri, dan kembali membuka lemari baju demi mencari pakaian yang jauh lebih maskulin daripada apa yang dia kenakan sebelumnya.

Akan tetapi, Robin tidak menemukan apa pun. Tidak ada pakaiannya yang maskulin, kebanyakan dari mereka adalah pakaian netral yang lebih condong ke arah feminin, sementara sisanya memang pakaian feminin.

Robin diam sebentar menatap mereka semua, diingatkan sekali lagi akan fakta bahwa apa pun yang berusaha dia kejar sekarang adalah kebalikan dari semua yang dia sukai sebelumnya.

Robin menggelengkan kepala, menghapus pikirannya atas segala yang indah dan dia suka. Ini adalah bagian dari perjalanannya, mengorbankan identitasnya demi sesuatu yang jauh berbeda.

Robin memilih pakaian paling netral yang dia punya dan dengan tidak begitu bahagia menatap cermin. Dia masih tampak feminin, dan Robin merasa hanya ada satu hal yang bisa menyebabkan hal tersebut.

Rambut panjangnya. Robin memegangi tiara kepalanya yang sudah dia panjangkan sejak dulu itu.

Robin mengelus rambutnya pelan, mengingat kembali masa lalu bahagia yang menjadi alasan dia memanjangkan rambutnya sejak awal.

Kemudian melupakan, dia ke dapur mencari benda tajam, ingin melakukan apa yang begitu takut dia lakukan.

Di dapur, dia berdiri sejenak menatap pisau yang dia kutip sebelum kembali ke kamarnya untuk melakukannya di depan cermin.

Sekali lagi, Robin menatap dirinya sendiri. Gemetar hebat mengarahkan pisau itu ke rambutnya.

Dia mendekatkan senjata tajam itu ke rambutnya, sudah siap menghabisi mereka.

Kemudian, "Robin!" Sebuah suara menghentikannya.