Chapter 2 - Bab 2

Berakhir sudah malam, kehilangan kekuasaan sang rembulan, kini digantikan oleh simbol dari awal yang bersinar dengan damai dan tenang kepada semua.

Robin membuka mata, sinar mentari sudah menginvasi kamarnya, menyilaukan dia yang agak kesulitan terbiasa. Dia terbangun dari mimpi yang sama, sebuah mimpi yang pertama kali dia lihat satu dekade lalu.

Robin mengambil waktu sebentar untuk menatap langit-langit kamar dan mempertimbangkan maksud mimpi itu untuk yang ke sekian kali sebelum akhirnya bangun dari kasurnya.

Robin memulai paginya dengan semangat, menelanjangi diri dan mandi dengan komoditas berharga seperti air bersih yang Robin pakai sesuka hati, sebuah keuntungan dari menjadi anak sang jenderal besar.

Setelah puas menggosok badan, Robin mulai berpakaian, memakai setelan sesuai dengan aturan tempatnya akan belajar sembari menyisir rambut pirangnya yang sudah mencapai pinggang.

Setelah percaya diri dengan penampilannya, Robin menyiapkan hal yang dia butuhkan hari ini. Dia kemudian melangkah ke dapur rumah mereka. Di sana, dia menemukan sunyi yang dia harapkan ada.

Ibunya belum bangun, dan ayahnya sibuk mengawasi secara pribadi latihan-latihan semua prajurit pilihan ibu kota untuk diikutkan kompetisi tahunan yang mempertandingkan prajurit-prajurit terbaik setiap kota demi sebuah kehormatan untuk disebut nomor satu seantero kerajaan.

Semua itu memberikan Robin kesempatan untuk mempraktikkan apa yang telah dia pelajari di universitas kemarin, membuatnya memulai memasak dua resep sederhana yang tidak membutuhkan banyak bumbu atau waktu.

Setelah selesai menghasilkan sup sayur dan perkedel, Robin menata semuanya di meja untuk dia tinggalkan agar ditemukan oleh sang ibu, lalu mengutip satu apel dari karung di sudut dapur, sebab sekarang dia punya hal yang jauh lebih penting di depan.

Robin berlari kecil dengan hati-hati melewati jalanan ibu kota yang baru bangun. Di sepanjang perjalanannya dia menyapa dan disapa oleh orang-orang yang sudah terbiasa melihat dirinya dengan semangat memulai hari begitu pagi sembari menggandeng setumpuk buku di tangan dan sebuah apel di kantung gaunnya.

Robin sering berhenti di perjalanan, terutama di bagian termiskin ibu kota yang sengaja dia lewati demi memberikan sedikit uang kecil kepada siapapun yang dia temui di sana dan meminta.

Hal itu dan fakta bahwa rute yang Robin ambil menuju tujuannya berputar adalah alasan utama Robin bangun bersamaan dengan terbit mentari, selain untuk sesekali memasak juga demi ibunya di rumah yang semakin tua di rumah.

Semua aktivitas pagi itu sudah cukup bagi banyak orang untuk menyebut Robin produktif, belum menghitung pelajaran yang sebentar lagi akan dia terima di universitas yang sudah dia capai.

"Pak," sapa Robin ditemani senyum kepada penjaga gerbang akademi yang membalas, "Red." Dengan senyuman yang sama hangatnya.

Telah bertukar santun dengan sang penjaga gerbang, Robin melangkah masuk untuk menemukan pemandangan yang sudah dia terlalu kenal.

Murid-murid melangkah mondar-mandir dengan teman bicara masing-masing, mereka semua anggun dan cantik dalam mengabaikan Robin yang juga punya tujuan tersendiri di sana.

Robin melangkah dan terus melangkah, melewati jalan biasa menuju kelas pertamanya sebelum lonceng berbunyi dan memaksa dia untuk tinggal di luar sambil kelas selanjutnya, sebuah pengalaman yang begitu membosankan bagi Robin yang datang hanya dengan niat belajar.

Dalam perjalanannya ke kelas, Robin bertemu dan disapa oleh beberapa teman sekelasnya yang menyapa dengan sopan kepada Robin yang membalas dengan nada yang sama.

Saat sampai di dalam kelas, Robin menaruh apel yang dia bawa bersamanya itu di meja guru sebelum duduk di depan, menjadi yang pertama sampai ke kelas.

Hanya perlu sebentar bagi teman-temannya yang lain untuk menyusul masuk, dan sekali lagi menyapa Robin yang sudah berhenti berlari kecil, tapi tetap tampak penuh energi di tempat duduknya.

Robin sudah punya kertas dan alat tulis di depan, siap mencatat segala macam penjelasan sang pengajar yang akhirnya masuk untuk menerima sambutan dan salam.

Hari Robin berlanjut dengan mendengarkan penjelasan demi penjelasan. Kelas pertamanya hari ini adalah etika, dan mendengarkan serta melihat peragaan sang guru, jelas sekali memang Robin masih perlu banyak belajar masalah etika.

Mungkin ibu juga, pikir Robin dengan senyuman saat mengingat kembali tingkah laku ibunya yang jauh lebih maskulin daripada semua wanita yang pernah Robin lihat di ibu kota.

Khayalan Robin yang setengah sadar mencatat dibangunkan oleh bel yang berdering, mengakhiri kelas mereka pagi itu dan memberi semua murid sedikit istirahat sebelum kembali bergerak untuk berganti kelas.

Gadis-gadis di dalam mulai bergosip dan bercerita sementara Robin sibuk merapikan kembali buku dan alat tulisnya agar lebih mudah dia bawa ke kelas selanjutnya.

Selesai melakukan itu, Robin diam menatap sekeliling sejenak dengan sedikit rasa iri di hati. Benar bahwa Robin mengenal mereka semua, tapi tidak ada dari mereka yang benar-benar mengenal Robin.

Lagi pula, Robin sudah dinasihati oleh ibunya untuk merahasiakan identitasnya dari universitas, paling tidak sampai dia lulus dari sana dan punya ijazah serta pendidikan untuk menjadi seorang politikus atau penulis.

Di sini, Robin hanya dikenal sebagai Red Hood, tidak menggunakan marga Andimo milik keluarganya yang lebih berharga dan dikenal untuk semua.

Tentu saja, beberapa orang memang sudah curiga atas kemiripan penampilan Red di universitas dan Robin anak Arion Andimo, sang jenderal besar yang tidak punya belas kasihan.

Mulai dari wajah, warna rambut, nada suara, hingga tempat pulang. Kemiripan keduanya memang tak bisa ditolak, dan Robin harus mengiyakan, karena memang benar begitu adanya.

Akan tetapi, tidak ada banyak orang yang bisa membuktikan kemiripan itu, terutama setelah Robin dengan bantuan ibunya perlahan menghilang dari mata publik dengan menyatakan terlalu sakit untuk melanjutkan. Ditambah fakta bahwa Arion adalah sosok yang terlalu keras untuk diwawancarai atau dibujuk gosip, Robin sampai sekarang belum ketahuan.

Dan oleh karena itulah, dia melanjutkan ke kelasnya yang kedua setelah mendengar lonceng lain sebagai penanda berakhirnya istirahat singkat mereka.

Langkahnya agak dia perlambat, mengizinkan murid-murid lain untuk melewatinya, tapi tidak begitu jauh di depan untuk menyebabkan kekhawatiran.

Mengingat sepuluh tahun hidupnya yang berlalu dengan cepat dia habiskan di sini, Robin juga mengingat bahwa sebentar lagi dia akan lulus dan memiliki sertifikat dengan namanya sendiri.

Pada saat itu, Robin harus mengakui identitasnya pada semua orang, dan berharap pengaruh ibunya cukup kuat untuk membiarkan Robin mendapatkan ijazah universitas atas nama aslinya.

Karena bila pengaruh ibunya tidak cukup, maka itu berarti Robin harus mengakui semuanya kepada sang ayah yang menginginkan Robin untuk menjadi seorang pria tulen.

Dan Robin tidak berani melakukannya, memikirkan kemungkinan itu saja sudah cukup untuk membuat Robin berhenti di tengah perjalanannya ke kelas hanya untuk dibangunkan oleh pengajar yang akan mengajari Robin di pelajaran selanjutnya.

Hari Robin kemudian berlanjut seperti biasa, berjalan tanpa begitu banyak masalah dengan Robin mencatat semua hal yang dia rasa penting dalam buku-bukunya yang dia khususkan satu untuk setiap pelajaran.

Etika, dansa, politik, sejarah, dan logika adalah semua pelajarannya hari ini. Sebuah jadwal yang memang sangat tidak menarik bagi Robin yang sangat menyukai memasak.

Walaupun Robin harus mengaku, alasan dia tidak pernah benar-benar menikmati dansa adalah karena pasangannya yang Robin selalu anggap kurang menarik.

"Tidak, tidak, tidak." Robin menggeleng, "Maafkan aku, Eri. Maaf, maaf, maaf." Menghapus pikiran jahat itu dari kepalanya sebelum akhirnya berdiri dan keluar dari kelas logika yang sudah selesai untuk beberapa lama.

Robin menyaksikan murid-murid lain pulang berpasangan, mengangkat setelan mereka agar tidak dikotori debu sembari menggandeng buku-buku di tangan.

Rasa iri yang cepat Robin tekan itu kembali ada sejenak, mendatangkan melankolia senja yang tidak benar-benar Robin inginkan sekarang.

Dia harus pulang sebelum malam dan ayahnya ada di rumah untuk menyaksikan dia berwujud seperti ini, sebab bila memang itu terjadi, maka Robin akan mati. Oleh karena itu, dalam kasus terburuk: Robin sebaiknya tidak usah pulang ke rumah saja sampai sang ayah sudah tidak ada di sana.

Memikirkan itu, Robin memaksa kakinya bergerak dan mempercepat langkahnya.

"Sore, Pak!" Robin melambai sampai jumpa kepada sang penjaga gerbang dengan lambaian tangan, sudah terlalu terburu-buru untuk menghentikan lari kecilnya demi menyapa dengan sopan.

"Sore, Hood!" Membalasnya, "Hati-hati di jalan!" sang penjaga gerbang mengingatkan.

Robin mengangguk dari kejauhan dan terus melanjutkan.

Berbeda dengan rute perginya, rute pulang Robin cukup lurus dan kekurangan belokan atau alasan untuk berhenti.

Meski begitu, bukan berarti Robin akan sampai cukup cepat di rumah untuk melambung sang ayah yang harusnya sedang dalam perjalanan pulang juga.

Dan benar saja, di rumah, ibu Robin sudah sibuk bertengkar dengan suaminya yang baru saja tiba.

"Bisakah paling tidak kita menunggu Robin? Aku yakin dia akan segera pulang."

"Aku lapar, Eter. Dan anakmu itu seharusnya sudah bisa mencari makan sendiri, melihat bagaimana setiap hari pekerjaannya hanyalah menghilang sejak pagi dan pulang senja untuk tidur hingga pagi tiba lagi." Bantah Arion terhadap bujukan istrinya, masih sibuk membuka jubah dan perlengkapan perang lainnya yang biasa dia gunakan agar lebih berwibawa.

"Anak kita itu sedang dalam perjuangannya sendiri." Demeter menekankan penuh emosi, "Apa yang tidak bisa kau mengerti?" Dia menarik pundak suaminya agar mereka bertatap mata, "Dia hanya ingin membanggakanmu."

Pada kata terakhir, "Membanggakanku?" bendungan yang menahan segala macam perasaan Arion setiap kali anaknya dibahas, "Bila dia sungguh ingin membanggakanku ...." Pecah, "Dia akan tetap tinggal dalam akademi itu!"

Arion melepaskan paksa tangan sang istri dari pundaknya, "Dia lari! Setelah gagal di hari pertamanya, dia lari!" Mata Arion menuduh marah, "Dan kau membantunya!" Ikut menunjuk sang istri bersalah.

"Jadi kau menyalahkanku?" Demeter bertanya, mengangkat alis menantang sang suami yang menjawab mudah: "Tentu saja! Kau ibunya!"

"Dan kau? Siapa kau kalau bukan ayahnya?"

"Aku tidak punya anak." Arion menjawab penuh benci, "Tidak lagi." Dengan sedikit sedih.

Sang istri diam tidak percaya mendengarkan ucapan yang baru saja keluar dari mulut Arion. Jenderal besar itu tersadar atas implikasi dari kalimatnya, tapi terlalu bangga untuk mundur dari posisi yang sudah dia ambil dengan berani.

Diam jatuh kepada mereka berdua, Demeter berkaca-kaca menahan keinginannya untuk menghajar pria di depannya itu dengan semua tenaga yang dia punya.

Robin masih membutuhkan reputasi baik Demeter di kalangan masyarakat ibu kota, andai kata putra kesayangannya itu tidak lagi membutuhkannya ....

"... lupakan saja." Demeter menenangkan diri, "Biar aku beritahu padamu apa yang tidak kau punya, Arion sayang." Menarik napas panjang yang dibuang dengan penuh kekecewaan, "Kau tidak punya hati. Itu yang tidak kau punya." Demeter menyelesaikan kalimatnya, "Bajingan." Membiarkan tubuhnya layu lelah ke kursi ruang tamu mereka.

Matanya menatap langit-langit tidak percaya, ingin meminta keadilan kepada para Dewa yang sudah menjodohkannya dengan pria amoral seperti Arion.

Atau mungkin, Demeter harus menyalahkan ayahnya. Pak tua bodoh itu hanya menerima lamaran Arion karena menginginkan yang terbaik bagi putrinya dan keturunan dia nanti.

Namun jelas sekali, penilaian ayah Demeter salah.

Sebab di luar, Robin mendengarkan.