Pagi ini Dinda bangun lebih pagi dari biasanya. Atau bahkan, sejak semalam dia benar-benar tak bisa tidur. Semua pikiran mulai berkecamuk di otaknya, terlebih pikiran menyetujui berteman dengan Nathan apakah menjadi keputusan yang tepat atau bukan. Bukan apa-apa, hanya saja hatinya masih ragu. Meski hanya sekadar sahabat pun Dinda masih merasa takut dengan makhluk berjenis kelamin laki-laki.
Lagi Dinda menghela napas panjang, bagaimana kalau dia bertemu dengan Panji nanti di sekolah? Apakah dia akan benar-benar bisa menghadapi Panji sendiri? Ataukah dia akan spontan lari, dan ketakutan seperti kemarin lagi?
"Din...," kata Nadya yang berhasil membuat Dinda menoleh. Mata kecil Dinda melihat Nadya, yang sudah berdiri dengan mengenakan seragam sekolahnya. "Elo nggak mau sekolah?" tanya Nadya.
"Hah?" tanya Dinda kebingungan. Kemudian, dia memandang jam dinding yang masih pukul 06.00 tepat. Biasanya, Nadya masih bermalas-malasan di atas ranjang jam segini. "Elo mau sekolah jam segini?" tanya Dinda yang tampak bingung.
"Ya ampun, iya, gue lupa lagi kan ngomong sama elo, Din. Hari ini tim cheers gue ada lomba, Din. Jadi gue musti berangkat pagi. Kalau elo gue tinggal nggak mungkin, nanti kalau cowok sialan itu nyamperin elo lagi gimana? Lo bakal lari ke mana? Jadi, ayok deh buru ganti baju gue tunggu," jelas Nadya panjang lebar.
Dia mengambil beberapa helai roti, kemudian dia beri selai dan dimasukkan ke dalam mulutnya dengan terburu.
"Entaran ah, Nad. Elo berangkat dulu aja," putus Dinda. Ini benar-benar terlalu pagi. Dia tidak mau mendahului satpam sekolah yang sudah berada di sekolahan di jam sepagi ini.
Lagi pula, sangat tidak mungkin jika Panji akan ke sini pagi-pagi. Palingan sepulang sekolah nanti. Pun Dinda juga sudah berjanji kepada diri sendiri, bagaimana pun caranya dia harus bisa mengontrol dirinya. Dia tak bisa terus trauma seperti ini. Hancurnya dia, dan apa yang telah diperbuat Panji harus bisa membuatnya kuat. Tak peduli nanti tak ada satu orang pun yang akan menerimanya karena dia kotor. Setidaknya, ini adalah kenyataan yang dirinya sendiri harus menerima terlebih dahulu.
"Beneran elo nggak apa-apa gue tinggal sendiri?" tanya Nadya ingin memastikan. Sebenarnya, dilihat dari gestur Dinda akhir-akhir ini seharusnya dia sudah teramat tenang. Sebab Dinda sudah jauh lebih baik dari saat ia kenal dulu. Bahkan sekarang, Dinda bisa tidur dengan nyenyak, Nadya pun tak pernah mendengar isakan Dinda di tengah malam lagi.
"Enggak apa-apa, beneran," jawab Dinda sambil mengacungkan dua jempol tangannya.
Setelah pertimbangan Nadya yang cukup panjang, akhirnya Nadya pun menyerah. Sebelum berangkat banyak sekali wejangan yang diberikan kepada Dinda, untuk selalu waspada kepada siapa pun, jangan pernah sendirian di mana pun, dan saat mau berangkat,dan pulang sekolah, kunci pintu kamar kos rapat-rapat biar tidak ada penjahat yang masuk. Mengetahui Dinda mengangguk tanda paham, akhirnya Nadya pun pergi juga. Entah kenapa dia merasa seperti seorang Mama kepada anaknya jika bersama dengan Dinda. Jujur, dalam bertemannya dengan siapa pun, Nadya tak pernah sepeduli ini.
Dinda merebahkan kembali tubuhnya di ranjang. Gerimis mulai datang dan itu benar-benar membuatnya gemar untuk bermalas-malasan. Nanti, jika di ruang tamu tidak ada payung, bagaimana dia akan berangkat sekolah? Sebab payung yang disediakan ibu kos hanya sepuluh biji, berbeda jauh dari jumlah anak kos yang ada di sini.
Dinda kemudian bangkit, ia merapikan beberapa buku dan dimasukkan ke dalam tas. Kemudian dia mengambil seragam sekolahnya.
Lagi, Dinda menghela napas panjang. Nanti ada ulangan dan mulai dari mata pelajaran pertama sampai terakhir. Bahkan, Dinda tak bisa sepenuhnya belajar dari ke empat pelajaran tersebut.
Dinda meraih tasnya setelah selesai bersiap. Kemudian berjalan menyusuri ruang tamu kos. Ternyata benar, payung di sana sudah habis. Alamat seragam Dinda akan basah karena jarak kos, dan sekolah cukup jauh dan dia hanya berjalan kaki untuk ke sana.
Untung kemarin Nadya membelikan Dinda beberapa jaket berkain tebal. Setidaknya, itu bisa sedikit membantu menghindari seragamnya untuk lebih basah dari pada tak memakainya.
"Mbak Dinda nggak nunggu gerimisnya reda dulu?" tanya satpam kos.
"Enggak deh kayaknya, Pak. Takut telat," jawabnya, sambil melihat jam tangan yang ada di pergelangan tangannya.
Satpam itu membuka gerbang kos-kosan, betapa terkejut Dinda saat tahu siapa yang sudah berdiri di depan gerbang kos sambil membawa sebuah payung.
Sosok yang memakai sepatu kets warna merah marun itu, yang kini sepatunya basah terciprat rintikan gerimis dari langit. Payungnya sedikit diangkat, menampakkan sosok tampan yang sedang tersenyum ke arah Dinda.
Dinda benar-benar tak menyangka, jika Nathan telah berada di hadapannya saat ini. Seolah tahu, jika sedari tadi yang dibutuhkan Dinda adalah sebuah payung agar bisa berada di sekolah dengan selamat.
"Lho, elo belum berangkat?" tanya Nathan yang berhasil membuat Dinda terperanjat.
"Hah? Belumlah, lha elo ngapain ada di sini?" ketusnya.
"Ya elah, ini jalanan umum kali, bukan jalan Dinda. Gue kebetulan benerin tali sepatu. Eh ada elo nongol kayak kuntilanak. Kaget gue, makanya berdiri mematung di sini nggak bisa kemana-mana," jawab Nathan dengan ekspresi dibuat-buatnya.
Dinda menghela napas panjang, sebab jelas apa yang dilihat tadi bukanlah Nathan yang sedang mengikat tali sepatunya. Tapi, Nathan yang memang sudah berdiri dengan tegak di depan gerbang kos-kosannya.
"Jadi bareng nggak nih? Kalau enggak ya gue tinggal," kata Nathan lagi.
Segera Dinda melompat ke arah Nathan, masuk di bawah payung Nathan kemudian keduanya berjalan bersama. Untuk sesaat Nathan diam, benar-benar diam dan berjalan dengan langkah yang lebih pelan. Dinda tahu, langkah Nathan tak sepelan ini. Nathan seolah sedang menyamai langkah Dinda, agar Dinda tak tergopoh saat berjalan. Dinda pun memerhatkkan posisi payung yang dibawa oleh Nathan. Condong ke arahnya sampai bahu sebelah kanan cowok itu tampak basah karena terkena percikan gerimis. Sementara, sepatu kets yang Dinda tahu selalu tampak bersih itu kini terciprat oleh tanah. Padahal biasanya, Nathan selalu naik mobil kan?
"Gimana trauma elo, Din, udah baikan kan?" tanya Nathan setelah kediamannya.
Dinda menoleh pada poros wajah tegas milik Nathan, mata abu-abu cowok itu memandangnya sekilas. Kemudian, pandangannya beralih kepada jalanan yang ada di depannya. Sehingga, Dinda hanya bisa melihat kulit pucat Nathan yang tampak memerah, hidung mancung Nathan yang memerah juga. Serta bulu mata Nathan yang tampak begitu lentik.
"Apa gue bisa...," kata Dinda pada akhirnya, Nathan kembali menoleh. "Apa gue bisa terbebas dari trauma mengerikan itu, Nath? Apa gue bisa menghadapinya? Jika Panji datang, apa gue bisa berdiri di depannya sendiri tanpa sembunyi lagi, dan paling enggak gue bisa menamparnya?" tanya Dinda dengan nada yang bergetar. Matanya tampak nanar, tapi itu bukan karena rasa haru yang membuatnya ingin menangis. Melainkan, ledakan emosi yang tertahan dari dalam dada, namun selama ini dia hanya bisa menyimpannya saja.