Nathan menepuk bahu Dinda beberapa kali, kemudian dia tersenyum lebar. Dia benar-benar tak pandai untuk menenangkan cewek sama sekali. Terlebih, menjadi teman curhat seseorang, jadi apa yang ia hendak katakan pun ia benar-benar tak yakin.
"Lo aja bisa galak ama gue, kenapa lo nggak bisa galak ama dia? Gue yakin, elo pasti bisa kok, Din. Yakin aja dulu, nanti keberanian itu bakal nyusul kok," jawab Nathan sekenanya.
"Apa bener semua cowok yang terlahir dari orangtua kaya itu berengsek, Nath?" tanya Dinda lagi. Seolah ia ingin memastikan hatinya sendiri akan satu hal.
"Gue rasa bener. Buktinya, gue seberengsek ini, kan?" jawab Nathan lagi.
Dinda langsung menoleh, sebuah jawaban blak-blakan Nathan yang berhasil membuat Dinda berpikir lagi. Dinda rasa, hanya Nathan satu-satunya cowok yang mengatakan sejujur itu, jika dirinya adalah orang yang berengsek.
"Udah deh, wajah jelek kayak elo nggak pantes buat sok-sokkan trauma. Wajah elo tu judes, bukan kalem, dan bukan tampang yang mudah teraniaya kayak di sinetron hidayah. Nanti, tumbuh lo semakin menyusut karena keseringan ngerasa takut."
"Nathan!" marah Dinda. Nathan malah tertawa.
"Gue ngomong fakta kali, Din. Kenapa elo marah?" katanya.
Dinda langsung diam. Jika terus diladeni maka Nathan akan mengatakan apa pun untuk memancing kemarahannya.
Dinda mendekat ke arah Nathan, sampai cowok itu tampak kaget dan menegakkan payungnya. Niat Dinda adalah, jika dia merapatkan jarak dengan Nathan cowok itu tak perlu lagi memiringkan payungnya, dan bahu cowok itu tidak akan basah.
*****
"Jadi beneran, Din? Elo bisa ngerjain ulangan tadi? Nggak ada yang susah?" selidik Selly yang saat ini sudah berada di kantin sekolah bersama dengan Dinda.
Dinda tak langsung menjawab, dia lebih memilih untuk memakan somay yang sudah ada di depannya. Tadi, dia belum sempat sarapan. Sebab biasanya, yang mengurusi hal-hal seperti sarapan adalah Nadya. Dia hanya bagian beresnya saja.
"Ya nggak gitu juga kali, Sel. Kayak gue yang apa aja, sombong banget gitu," jawab Dinda. Dia hanya menjawab soal ulangan lebih cepat dari yang lainnya, toh itu pun Dinda masih merasa takjub dengan Nathan. Sebab cowok itu, sudah lebih dulu keluar dari pada dia.
"Ya gue takjub aja, Din. Gila, tadi soal itu sulit-sulit banget dan elo, bisa nyelesaiinya. Hebat banget. Pasti di sekolah lo dulu, elo ini salah satu siswi berprestasi."
"Gue bisa sekolah di sana karena beasis—"
"Gue boleh bawa Dinda pergi?" tanya Nathan memotong pembicaraan.
Selly hanya bisa melongo, saat tangan Dinda sudah ditarik Nathan dan digandeng untuk segera menjauh dari tempat Selly.
"Ada apa, Nath? Gue laper, mau makan!" marah Dinda. Yang memang dia baru saja menikmati somaynya, tapi Nathan langsung menariknya dengan paksa.
"Nggak usah bahas apa pun dengan siapa pun di sini. Din. Elo bisa nggak kayak gitu?" ucap Nathan setelah ia berhenti berjalan.
Dinda mengerutkan keningnya, dia benar-benar tak paham dengan apa yang dikatakan oleh Nathan.
"Di sini masih terlalu rawan buat elo. Dua pilar SMA ini masih ngintai elo buat dibully. Jadi saran gue, apa pun hal tentang sekolah lo dulu, sebaiknya lo nggak perlu beberkan ke siapa pun. Termasuk ama Selly."
"Kenapa gitu? Toh, gue keluar dari sekolah gua yang dulu bukan karena maling, bukan...." kata Dinda pun terhenti. Apa ucapan dari Nathan ada benarnya. Dia keluar dari sekolahnya yang dulu memang bukan karena kasus pencurian. Akan tetapi, karena dia telah diperkosa. Dia telah tidak suci lagi. Jadi, kalau sampai teman-temannya di sini mengorek informasi darinya dan sampai tahu alasan dia pindah, pastilah itu bisa digunakan sebagai bahan bullyan, dan yang lebih mengerikan dari itu adalah... dia bisa saja dikeluarkan dari sekolah. "Oke, gue paham," lanjutnya.
Nathan mengacak rambut Dinda sekilas, kemudian dia pergi begitu saja. Dia benar-benar tak paham dengan sikap Nathan. Kenapa dia mengatakan hal seperti itu, lalu pergi?
"Elo pacaran ama raja di sini?" tanya Rendra yang berhasil membuat Dinda menoleh. "Mesra amat, habis gandengan tangan terus ngelus kepala. Kalian pacaran?" selidik Rendra lagi.
Dinda menepis tangan Rendra yang hendak menggenggam pundaknya. Kemudian dia hendak pergi tapi tangannya digenggam erat-erat oleh Rendra. Jenis genggaman yang kuat, tapi tak terasa menyakitkan seolah Rendra menahan tenaganya agar tangan mungil Dinda tidak hancur di dalam genggamannya.
"Jawab dulu, cewek belagu!" marah Rendra.
"Nggak ada urusannya ama elo!" ketus Dinda. Lagi, dia hendak pergi. Tapi lagi-lagi Rendra menahannya.
"Ini urusan gue, hubungan elo ama cowok berengsek itu ada hubungannya ama gue. Ngeri?!" marah Rendra. Dia sudah hilang sabar dengan sifat tengil Dinda. Tapi, bagaimanapun dia terus berusaha untuk menahan amarahnya.
"Kami hanya berteman. Puas?" jawab Dinda pada akhirnya. Mengibaskan tangannya sampai genggaman Rendra lepas.
Dia sama sekali tak mengerti dengan jalan pikiran cowok-cowok yang ada di sekolah ini. Bahkan, dengan hal sepele pun dibuat jadi masalah.
Dinda mengembuskan napasnya, kemudian dia beranjak menuju toilet. Sepertinya, dia harus mencuci muka. Agar otaknya sedikit segar untuk melanjutkan ulangan di jam pelajaran kedua.
"Nath, kenapa sih wajah lo bonyok gitu? Sedari tadi nih gue mau nanya ama elo. Eh elonya ngehindar mulu," selidik Regar.
Dinda yang baru saja masuk ke kelas pun melirik ke arah Nathan, tapi cowok itu masih mengabaikan pertanyaan temannya.
"Heran ya gue, sikap nih anak beda banget akhir-akhir ini. Kesurupan apa lo, Nath? Lelembut sekolah?" celetuk Regar lagi yang berhasil membuat seisi kelas terbahak karenanya.
Nathan melirik dengan angkuh, membuat tawa Regar dan seisi kelas langsung senyap. Sepertinya, Nathan memang memiliki aura yang benar-benar mengerikan. Sementara Dinda, hanya diam membisu. Dia tak tahu harus berkata apa. Faktanya, karena Panjilah wajah Nathan jadi memar seperti itu.
"Ya nggak gitu maksudnya, Nath. Kan biasanya setiap tawuran elo selalu ngandalin gue, Regar, ama Rendra. Jadi aneh aja gitu liat wajah cakep lo bonyok kayak gini."
"Biasalah, cowok. Masa gue harus ngandalin elo mulu kalau rebutan cewek," jawab Nathan sekenanya.
"Heh, Anjing! Mana sepuluh juta gue!" teriak Rendra sambil menggedor meja Nathan dengan keras.
Dinda nyaris melompat karena ulah Rendra. Sementara Nathan, masih tenang dan sibuk dengan bukunya.
"Elo udah ngelanggar perjanjian kita, Bangsat! Elo ciuman ama cewek saat perjanjian kita masih berjalan!" kata Rendra lagi. Melempar beberapa lembar potret Nathan, yang tengah mencium sesorang cewek yang hanya terlihat punggungnya.
Mendengar hal itu, jantung Dinda terasa berhenti berdetak. Sebab ia tahu lebih dari siapa pun, siapa cewek yang ada di dalam foto itu.
"Siapa cewek ini? Dinda?" selidik Rendra.