Chereads / SPACE (Nathan Love Story) / Chapter 20 - Part 4

Chapter 20 - Part 4

"Eh Gis, gue mau ke toilet dulu, deh," kata Sasa. Dia melirik ke arah Dinda yang baru saja duduk membuat Dinda memandang ke arahnya.

Kemudian, Dinda pun bangkit, saat Selly hendak memberitahunya sesuatu.

"Lho, Din, mau ke mana?" tanya Selly yang tampak penasaran.

"Gue mau ke toilet dulu, ya. Kebelet nih," jawab Dinda.

Menyusul; Sasa yang sudah dulu keluar. Dinda terhenti, saat Sasa rupanya sudah berdiri di gang antara gedung kelasnya dan gedung kelas sepuluh. Ia bersender, sambil melipat kedua tangannya di dada.

"Ada apa?" tanya Sasa dengan nada ketusnya.

Dinda berhenti, melihat Sasa kemudian dia berdiri tepat di depan Sasa. Matanya meneliti pada cewek yang tingginya setelinganya itu. Kemudian dia tersenyum dengan hangat. Sasa langsung memalingkan wajahnya saat melihat ekspresi yang ditampilkan oleh Dinda.

"Thanks ya, Sa," kata Dinda yang berhasil membuat Sasa memandang ke arahnya dengan wajah merona. "Meski gue nggak tahu kenapa elo bantuin gue, gue makasih banget ama elo,"

"Kebetulan kok," jawab Sasa masih dengan nada ketusnya.

"Kenapa lo mau bantuin gue, Sa?" tanya Dinda penasaran.

Sejenak Sasa terdiam, dia berdehem beberapa kali kemudian memalingkan wajahnya lagi.

"Perkataan elo waktu itu...," kata Sasa pada akhirnya. "Buat gue sadar,"

"Yang mana?" tanya Dinda yang berhasil membuat Sasa melotot.

"Ya tentang kemarinlah, perkataan elo buat gue ngerti kalau apa yang gue lakuin itu keliru. Seharusnya, gue nggak sebodoh itu terlalu mendewakan Nathan. Sampai-sampai berbuat hal kelewatan. Oh ya, masalah ciuman gue ama Nathan, sebenernya gue yang minta ke dia. Gue harap elo nggak salah paham," jelas Sasa.

Dinda mencerna ucapan Sasa. Terlebih, penjelasan masalah ciuman yang ia liat di toko buku waktu itu. Sebenarnya Sasa tak memiliki kewajiban menjelaskan itu kepadanya, toh Dinda bukan siapa-siapanya Nathan.

"Jujur, Sa, gue bilang gitu bukan berarti gue benci ama elo. Justru karena gue nggak ingin elo berakhir seperti gue. Jadi gue harap, elo lebih hati-hati milih cowok ya. Karena cowok zaman sekarang susah buat dipercaya."

"Gue bukan pacar Nathan, kok. Nathan itu nggak punya pacar," ralat Sasa yang berhasil membuat Dinda semakin bingung. Jika memang benar Sasa bukan pacar Nathan, lalu kenapa mereka ciuman? "Dulu kami pacaran, tapi cuma satu bulan. Nathan itu playboy. Dan dia nggak akan bisa bertahan ama cewek lebih dari seminggu. Dia terkenal badboy di sekolah ini. Cowok paling busuk yang digilai banyak cewek. Dan cowok paling licik sebagai dalang hancurnya anak-anak sekolah lain."

"Lalu Gisel? Apa dia pacarnya? Apa dia nggak cemburu elo ciuman ama pacarnya?" tanya Dinda yang semakin bingung.

"Bukan juga. Saat ini Nathan nggak sedang pacaran sama siapa pun. Dan kalau dia pacaran pun, itu hanya main-main."

"Lalu kenapa dengan lo lama? Bukankah kata lo dia nggak bakal pacaran lebih dari seminggu?" tanya Dinda penasaran.

Sasa terdiam sesaat, dia kemudian tersenyum hambar. "Ya, karena gue yang maksa. Udah deh berhenti ngebahas ini. Nathan nggak ada di kelas ngapain? Dia keluar pakek motornya Regar."

"Kenapa lo tanya ama gue?" tanya Dinda yang semakin bingung. Dia diseloroh pertanyaan-pertanyaan aneh oleh Sasa seolah dia adalah keluarga Nathan yang wajib tahu Nathan pergi ke mana pun. "Gue bukan emaknya. Toh temennya Nathan itu elo, bukan gue,"

"Ih udah deh, ngomong ama elo udah kayak ngomong ama hakim sidang. Gue balik kelas dulu," putus Sasa.

Dinda mengangkat kedua bahunya, kemudian mengekori langkah Sasa. Saat masuk kelas, mata Gisel sudah meneliti Sasa, dan Dinda secara bergantian. Tapi, Dinda mengabaikan itu. Duduk manis di bangkunya dan sibuk dengan Selly.

"Elo udah ngerjain tugasnya Bu Endang, Din?" tanya Selly.

"Tugas apaan? Gue nggak tahu," jawan Dinda. Sebab seminggu ini dia tak masuk sekolah. Jadi dia tak tahu kalau ada tugas dari guru Bahasa Inggrisnya tersebut.

"Disuruh ngerangkum sebuah berita yang ada di sekitar, kemudian dipresentasikan di depan kelas. Sebagai bahan tanya jawab, dan diskusi," jelas Selly.

"Kayaknya gue bakal telat pulang nanti," keluh Dinda. Dia harus berada di perpustakaan untuk mencari bahan. Padahal tubuhnya sudah lelah dan ingin istirahat di kamar.

Selly hanya bisa meringis. Tersenyum lebar ke arah Dinda seolah ia merasa bersalah. Iya, seharusnya dia bisa memberi kabar Dinda melalui telepon. Tapi, tak dilakukan Selly karena dia tahu kalau teman sebangkunya itu sedang sakit. Dia tak ingin menganggu. Dan sekaranglah dia baru bisa memberitahu, karena besok tugas itu harus segera dikumpulkan.

Sepulang sekolah Dinda langsung buru-buru berada di perpustakaan sebelum perpustakaan tutup. Dan dengan sangat terpaksa ia harus meminjam kartu perpustakaan milik Nathan kalau tidak ingin pulang kemalaman dari sekolah.

Dinda meminjam beberapa buku setelah memilah beberapa buku paket yang dianggap cocok dengan materi yang hendak ia ambil. Kemudian memberikannya kepada Mas Edo untuk didata. Sesekali ia melihat ke arah luar, sudah sore. Itu artinya ini sudah terlalu lama ia berada di perpustakaan. Bahkan seharusnya di jam seperti ini Mas Edo sudah pulang, karenanya Mas Edo terlambat pulang.

"Maaf, ya, Mas," kata Dinda untuk yang ketiga kali. Mas Edo tersenyum, kemudian mengangguk.

"Nggak apa-apa, mumpung di rumah nggak ada kerjaan juga, Dik," jawab Mas Edo.

Untunglah pegawai perpustakaan ramah, dan baik seperti Mas Edo. Jika tidak, ia akan benar-benar dapat masalah. Sebab Dinda paling tak bisa berhadapan dengan orang yang ketus.

"Mas Edo, aku pamit dulu, ya," kata Dinda lagi.

Mas Edo pun mengangguk.

Dinda melangkah menyusuri lorong-lorong kelas, sebelum ia bisa sampai ke koridor kelas dan keluar dari sekolah. Sesekali ia memandang ke arah sekitar, sebab bulu kudunya tiba-tiba meremang.

Lagi, Dinda mencoba menetralkan hati dan pikirannya. Tidak mungkin ada setan kan? Dinda cepat-cepat melangkah keluar dari sekolah. Tapi, matanya seketika langsung tertuju pada sosok yang kini sedang bersandar di sebuah mobil.

Dinda mundur dengan kedua kaki yang nyaris lumpuh. Tapi, dia benar-benar tidak ingin jatuh sekarang. Dia, benar-benar tidak ingin sosok yang ada di ujung matanya itu mendekat, atau bahkan menyentuh tubuhnya.

Tubuh Dinda mendadak menggigil, mulutnya benar-benar kelu. Matanya tiba-tiba nanar. Dia memeluk dirinya sendiri kemudian mundur, mencoba bagaimana caranya untuk pergi dari tempat yang membuatnya ngeri sekarang.

"Dinda, Din!" teriak sosok itu.

Setengah terisak Dinda langsung berlari, mencari di mana pun tempatnya untuk sembunyi. Dia tidak mau bertemu dengan sosok ini!

Langkah Dinda langsung terhenti, saat sebuah tangan besar menarik tangannya. Sampai Dinda berada dalam dekapan sebuah sosok. Sosok yang baunya sangat wangi, dan sosok yang begitu sangat rapi. Dinda hendak berontak, tapi dia ingat ucapan Dokter Anita. Kuasai dirimu, sebelum kamu melakukan hal apa pun. Sebab, trauma yang bisa menghilangkan adalah dirimu sendiri.

"Nathan..." rintih Dinda, saat mendongak dan mendapati sepasang mata abu-abu itu telah memandangnya lekat-lekat.

Antara takut, antara tenang, semua rasa berkecamuk di dalam hati Dinda. Takut, karena mungkin jika sosok itu mungkin akan mengejarnya sampai sini. Dan tenang karena dia sekarang berada dengan Nathan. Meski ia masih belum percaya dengan Nathan, setidaknya dia merasa jika Nathan akan membuat rasa takutnya itu hilang.

"Dia datang," kata Nathan. Sambil menggamit pinggang Dinda dengan erat.

Lagi, Dinda menelan ludahnya. Dengan spontan dia memeluk tubuh Nathan semakin erat. Menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Nathan.

Nathan menarik wajah Dinda, kemudian dia memandang Dinda lekat-lekat. Sesaat dia memandang ke arah belakang Dinda, kemudian dia tersenyum miring.

Setelah itu dia pun berbisik kepada Dinda, "Din, maafin gue," lalu mencium bibir Dinda.

Dinda hanya bisa terbelalak, dia benar-benar tak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Sebab semua yang dilakukan Nathan terasa begitu cepat di otaknya, dan begitu cepat pula mengalir membuat sebagian kewarasannya lumpuh. Dinda mematung, tubuhnya terasa mati dicium dengan begitu panas oleh Nathan.

Sementara sosok lain yang ada di belakang Dinda, berjalan lebar-lebar mendekat ke arah Dinda, dan Nathan. Menarik Dinda kemudian meninju rahang Nathan.

"Jangan sentuh cewek gue!"