Punggung Nathan menubruk tembok yang ada di belakangnya dengan sangat kencang. Tapi untuk kemudian, dia segera berdiri dan menarik tangan Dinda agar Dinda bisa lepas dari cengkeraman cowok arogan yang ada di depannya.
"Jangan sentuh cewek gue!" marah Nathan dengan bara api yang mulai tersulut di kedua matanya.
Pun dengan Panji, dia benar-benar tidak terima jika Dinda—ceweknya, tiba-tiba diakui sebagai hak milik oleh cowok sok kecakepan seperti cowok yang ada di depannya. Cowok dengan tatapan dingin yang sangat menyakitkan. Bahkan, Panji sendiri tak bisa untuk sekadar meraba bagaimana sifat asli cowok yang ada di depannya.
"Dinda cewek gue, sudah sedari dua tahun yang lalu. Jadi, ada hak apa lo ngakuin cewek gue jadi hak milik elo, Bangsat!" marah Panji tak terima.
Sementara Dinda, dia hanya bisa mematung. Ketika dua cowok yang ada di sisi kanan-dan-kirinya kini seolah sedang berebut sebuah benda yang amat mereka inginkan. Sementara bagian dari memorinya yang lain terus-terus merekam bagaimana sosok Panji telah menjamah tubuhnya. Rasanya, semua rasa dingin dan nyeri menyelusup masuk ke sumsum tulangnya. Bahkan, hawa dingin itu tampak begitu nyata sampai membuat ia menggigil kedinginan.
Nathan maju selangkah, tubuhnya condong ke depan, kemudian ia merengkuh bahu Dinda agar berada tepat di sampingnya. Sementara, tangannya yang lain meraih kerah seragam putih abu-abu milik panji. Mata abu-abu Nathan, meneliti setiap inci bagian wajah Panji. Bagian wajah seseorang yang entah kenapa begitu membuat emosinya tumpah ruah.
"Pergi lo dari sini sebelum usaha papa lo gue hancurin sekarang juga," tandasnya, dengan penuh penekanan seolah apa yang ia katakan benar-benar akan terjadi.
Tapi, Panji menyeringai. Dia memiringkan wajahnya sesaat sebelum ia kembali menatap manik mata milik Nathan.
"Siapa elo, berani ngancam gue?" kata Panji tak kalah terima.
Nathan langsung menyeringai, dia pung mendekatkan bibirnya ke arah telinga Panji, kemudian berbisik, "Agung Wicaksono nggak sehebat itu, bahkan dia bisa saja berlutut di bawah kaki gue,"
Setelah mengucapkan itu, Nathan langsung mendorong tubuh Panji. Membuat cowok itu mundur beberapa langkah untuk mengimbangi tubuhnya. Nathan kembali menyeringai, kemudian dia merengkuh tubuh Dinda seolah ingin mengatakan kepada Panji, jika Dinda adalah miliknya seutuhnya.
"Jika memang dulu elo cowoknya Dinda, maka mulai detik ini. Kalian putus. Karena Dinda udah jadi cewek gue, paham lo?"
"Anjing lo, berengsek!" marah Panji.
Tapi, hal itu tak digubris oleh Nathan. Dia langsung pergi sambil menggandeng tangan Dinda dengan langkah terburu. Dia tahu Dinda aneh, dan dia tak mau Dinda kembali histeris lagi seperti beberapa waktu yang lalu.
Nathan berhenti di lapangan tengah, saat ia memastikan jika Panji tak mengikutinya dia pun memandang lurus-lurus cewek yang sedari tadi tangannya digenggam itu. Dingin, tangan Dinda benar-benar terasa dingin. Tapi, Nathan tak bisa menebak bagaimana ekspresi Dinda sekarang. Sebab wajahnya ditundukkan dalam-dalam, dan rambutnya yang tergerai menutup wajahnya dengan sangat sempurna.
Nathan terdiam untuk sesaat, baru kali ini ia merasa begitu kaku. Baru kali ini ia merasa canggung dengan cewek selama hidupnya. Dan terlepas dari itu semua adalah, baru kali ini dia merasa bersalah karena telah mencium dinda.
Lantas, apa yang harus dilakukan Nathan sekarang agar Dinda mau memandang ke arahnya?
Nathan meletakkan jari telunjuknya di kening Dinda, kemudian mendorong sedikit kepala Dinda agar cewek itu mendongak memandangnya. Mata bening Dinda memandang manik matanya, dan itu berhasil membuat Nathan gugup luar biasa. Hanya memandang mata bening Dinda, dia ingat kembali ciumannya tadi.
"Lo sehat, kan? Elo nggak bakal histeris lagi, kan? Di sini nggak ada Sasa atau pun Selly yang bakal bantuin gue ngangkat elo kalau lo pingsan," ketus Nathan. Tapi, Dinda masih diam. "Lo nggak usah GR deh ama ciuman tadi. Itu gue lakuin semata-mata karena mau nyelametin elo dari makhluk yang kayaknya lebih horor dari genderuwo, dan jin iprit di mata lo. Dan inget, ya, mulut gue nggak terinveksi virus menular apa pun. Jadi dijamin aman. Ngerti lo!" katanya lagi panjang lebar.
Lagi, gerimis mulai jatuh dengan cara tak sopan. Di saat yang tak tepat seperti ini. Atau bahkan, gerimis hendak mengaburkan air mata Dinda yang enggan untuk keluar karena adanya Nathan?
Nathan menelan ludahnya dengan susah. Dia benar-benar tak tahu harus apa. Sebab luka yang dirasakan oleh Dinda benar-benar membuat Nathan nyaris gila. Dia mencoba untuk menebak dan menerka-nerka, apa penyebab Dinda sampai setakut itu kepada cowok berengsek tadi. Tapi, sampai kapan pun, jawaban itu tak pernah bisa Nathan temukan.
"Mumpung ujan, lo nggak punya cita-cita buat nangis? Seenggaknya, ujan bisa nutupin wajah jelek lo saat nangis," kata Nathan lagi.
Nathan hendak pergi, mungkin saat ini Dinda sedang butuh waktu sendiri. Namun, saat ia hendak pergi. Tangan Dinda menarik jaketnya, membuat Nathan membalikkan badannya ke arah Dinda kemudian cewek itu memeluknya dengan begitu erat. Tangisannya pecah, tubuhnya bergetar hebat seolah derita yang menumpuk-numpuk di hatinya tumpah ruah. Akhirnya, Nathan melihat sisi hancur Dinda yang sehancur-hancurnya. Sisi paling lemah Dinda yang selama ini selalu berlaku kasar padanya. Tangan Nathan masih telentang, dia bahkan tak tahu harus berbuat apa. Membalas pelukan Dinda, atau hanya perlu menjadi sebuah Nathan yang kini sedang dijadikan patung oleh Dinda.
*****
Malam ini Dinda berselimut tebal, sambil menonton televisi dengan Nadya, di dalam kamr. Hujan masih enggan berhenti, dan hal itu pula yang membuat mereka enggan beranjak dari mana pun.
Nadya melirik ke arah Dinda. Sebenarnya, ada banyak tanya yang ingin ia ucapkan kepada Dinda. Terlebih, saat melihat Dinda kembali pulang dalam keadaan basah kuyup dengan Nathan. Tapi, pertanyaan yang menjejali otaknya diurungkan. Dia sudah cukup tahu situasinya sekarang. Dinda, kembali murung.
"Dia tadi ke sini, Nad...," kata Dinda pada akhirnya. Membuat Nadya yang sedari tadi makan kuaci menoleh ke arahnya. "Panji... Panji tadi di sekolah, nyariin gue, Nad. Dia... dia pasti sedang merencanakan sesuatu yang jahat lagi ama gue," lanjut Dinda. Matanya kembali nanar, nada histeris tampak jelas terdengar di sana.
Nadya langsung merengkuh Dinda, mencoba menenangkan cewek yang benar-benar masih dalam keadaan hancur itu.
"Tenang, Din, ada gue. Mulai sekarang, berangkat dan pulang sekolah, elo bareng ama gue, ya? Gue nggak bakal ngebiarin siapa pun nyakitin elo,"
Dinda kembali menangis di pelukan Nadya, dia memeluk erat tubuh Nadya mencoba mencari ketenangan di sana. Saat dia memeluk tubuh Nathan siang tadi.
"Gue takut, Nad. Gue bener-bener takut ama Panji."
*****
"Jadi untuk hari ini, dan seterusnya, lupakan Panji dan kita belanja sampai puas gimana?" kata Nadya pagi ini.
Hari sabtu—minggu memang sekolah libur, itu sebabnya di sabtu pagi yang lumayan cerah ini Nadya bersikeras mengajak Dinda untuk ke mall. Selain ingin mengajak Dinda keluar dari kompleks, Nadya juga ingin membelanjakan beberapa keperluan Dinda. Cewek itu, benar-benar butuh ditolong untuk menjadi salah satu siswi SMA Airlangga. Sebab wajah cantik saja tidak cukup untuk tetap bisa berdiri kokoh di sana.
"Tapi, Nad... gue lagi nggak ada duit," ucap Dinda sambil menggembungkan pipinya.
Sebenarnya pagi ini dia ingin tidur sampai siang, atau sekadar menikmati beberapa buku untuk dibaca. Akan tetapi, Nadya terus saja memaksanya untuk keluar. Terlebih, di tempat yang baru kali ini dia pijak.
"Udah deh nggak usah lebay kayak orang susah gitu," kata Nadya.
Kemudian dia berjalan menuju ke beberapa stand pakaian dan beberapa kosmetik. Jujur, beberapa kali Nadya mengambil pakaian untuk Dinda selalu Dinda menolak. Ia benar-benar sangat sungkan, Dinda tahu betul brand-brand yang dipilih oleh Nadya bukanlah brand dengan harga yang murah. Dan itu diberikan gratis untuknya? Dinda, tak semaruk itu.
"Nad, please... jangan buat gue sungkan kayak gini," mohon Dinda.