"Dik Dinda, dan Dik Nadya...," kata Mbak Ambar setelah mengetuk pintu kamar Nadya, dan Dinda.
"Ada apa ya, Buk?" tanya Dinda saat membuka pintu kamarnya.
"Itu, Dik Dinda, ada Dik Nathan di luar."
Setelah mengatakan itu, Mbak Ambar pun pergi. Menyisakan Dinda, dan Nadya yang masih sibuk dengan buku-buku pelajarannya. Dinda mendekat ke arah Nadya, kemudian memandang Nadya dengan perasaan merinding.
"Tuh, kan, Nad. Nathan masih nandain gue, dia masih ingin gue keluar dari sekolah," kata Dinda dengan mata nanarnya. "Dia nggak akan berhenti sebelum gue keluar dari sekolah Airlangga ini."
"Udah deh, Din, jangan neting dulu, deh. Siapa tahu Nathan ke sini buat nanyain kabar elo."
"Buat?" tanya Dinda seolah masih tak percaya. Nathan itu orang jahat, itulah yang ada di benak Dinda sampai kapan pun.
"Ya karena dia yang nolongin elo lah, Din. Dia yang bawa elo ke sini. Mungkin dia merasa bersalah." Jawab Nadya sekenanya.
Seketika wajah Dinda memerah, dia ingat jika saat itu dia tak sedang memakai pakaian apa pun.
Apa Nathan melihat tubuh telanjangnya?
Nadya melangkah keluar dari kamar kos, menuju ruang tamu yang ada di seberang. Sementara Dinda, mengekori langkah Nadya dengan begitu pelan. Bahkan, jantungnya tiba-tiba terpacu saat melihat sosok itu sedang duduk di salah satu sofa ruang tamu. Menunduk sambil setengah membungkuk, sibuk dengan buku yang teramat tebal yang sedari tadi menjadi fokus utamanya.
Dinda, takut.
Nadya duduk di seberang Nathan, membuat cowok itu mendongak. Mata abu-abunya tampak melebar memandang ke arah Dinda. Seolah, ia ingin tahu apakah Dinda benar sudah baik-baik saja. Seolah, ia ingin meneliti bagian mana Dinda yang sakit. Untuk kemudian, dia tersenyum tipis.
Sementara Dinda masih berdiri di samping Nadya, kedua tangannya saling bertaut, dan wajahnya menunduk dalam-dalam. Tubuhnya terasa panas dingin, dan entah kenapa ketakutannya kepada Nathan muncul sebanding dengan rasa takutnya kepada Panji. Padahal sebelumnya dia tak takut sama sekali dengan cowok ini.
"Please, Nath, gue mohon. Berhenti gangguin Dinda. Elo tahu sendiri kan, jika Dinda dalam proses penyembuhan. Jadi—"
"Siapa sih yang mau gangguin cewek tengil kayak dia?" kata Nathan yang berhasil membuat Nadya, dan Dinda memandang ke arahnya.
Setelah berdehem, ia pun mengambil kantok plastik yang berisikan dua bungkus makanan, dua gelas minuman, serta buah dan menaruhnya di atas meja.
"Gue cuma mau kasih ini buat elo, Nad. Ucapan makasih gue karena udah ngebantuin ngurusin dia. Gue yakin kalau elo belum sarapan, itu ada dua. Yang satu boleh lo kasih siapa pun deh terserah elo," kata Nathan.
Dinda dan Nadya saling pandang, mereka tampak keheranan melihat tingkah Nathan yang tiba-tiba aneh. Meski demikian, pada akhirnya Nadya memakan sarapan yang dibawakan oleh Nathan, kemudian memaksa Dinda untuk ikut sarapan.
Nathan masih enggan beranjak. Di sela-sela kesibukannya membaca, ia memandang ke arah Dinda yang tampak begitu lahap. Sebuah senyuman terukir manis di sudut bibirnya.
"Udah?" tanya Nathan saat kedua cewek itu tampak sudah selesai sarapan. Ia memasukkan buku yang sedari tadi di dalam tas, kemudian memandang jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangannya. "Bentar lagi masuk nih, yuk bareng," ajaknya. Yang berhasil membuat Nadya, dan Dinda kembali terdiam.
"Gue cuma ngajak Nadya, ya. Tapi kalau lo mau bareng silakan," ketus Nathan. Berjalan terlebih dulu kemudian diekori oleh Nadya, dan Dinda.
Setelah berada di luar, Nadya, dan Dinda memilih duduk di belakang. Membuat Nathan kembali mengomel sebab ia merasa seperti seorang supir yang sedang mengantar dua cewek aneh untuk ke sekolah. Namun terlepas dari itu semua, lagi-lagi Nathan tampak menyunggingkan seulas senyum.
"Lo tahu cowok cakep yang sedari seminggu ini terus berada di halaman depan SMA kita saat jam pulang sekolah itu siapa?" kata Sasa melayangkan pertanyaan itu kepada Gisel.
Sebenarnya, setelah insiden Dinda, Sasa dan Gisel tak bisa disebut akrab seperti dulu. Bahkan, persahabatan mereka kacau balau dan berkali-kali ribut. Akan tetapi, rasa gengsi mereka atas pilar yang mereka sandang membuat keduanya mau tak mau bersatu. Sebab tak ada satu pun dari mereka yang mau mengalah untuk melepas pilar mereka.
"Dia itu namanya Panji. Jika di sini ada Nathan, di SMA Wijaya Kusuma ada Panji. Cowok paling beken di sekolahnya, dan panglima perang di sana. Dan elo tahu dia itu siapa?" kata Sasa lagi yang berhasil membuat Gisel memutar bola matanya jengah. "Dia adalah cowoknya Dinda. Jadi elo tahu kan, kalau di sekolahnya dulu Dinda bukan cewek sembarangan?"
"Panji itu cowoknya Dinda?" kali ini Regar yang bersuara.
Dinda yang baru saja masuk pun hanya memandang mereka sekilas, menggenggam erat tali tas ranselnya kemudian dia duduk. Sementara Nathan, langsung diam dan sibuk dengan ponselnya.
"Iya, Panji itu cowoknya Dinda. Sepertinya sampai detik ini mereka masih pacaran. Karena di instagram Panji masih majang fotonya berdua ama Dinda. Dan kayaknya, mereka pacaran udah dua tahunan ini," kata Sasa lagi.
Dinda hanya diam, dia benar-benar merasa risih jika nama Panji terus disebut. Sementara Nathan, tiba-tiba menaruh ponselnya dengan suara nyaring. Yang berhasil membuat anak-anak yang ada di kelas diam.
"Lo kenapa, Nath?" tanya Regar.
Tapi, Nathan mengabaikannya. Kemudian ia memilih keluar dari kelas kemudian menghilang. Sementara Gisel dalam diam memerhatikan tingkah Nathan, kemudian ia memandang Dinda dengan dendam yang semakin membara.
"Din, elo tahu selama elo nggak masuk sekolah, banyak banget kejadian di luar dugaan terjadi...," kata Selly. Dia memandang ke arah Selly, tapi dia masih diam mencoba mendengarkan. "Selly bertengkar hebat dengan Gisel. Bahkan sampai jambak-jambakan di kelas. Kemudian, Nathan yang tampak murung beberapa akhir ini. Bahkan dia nanyain gue hal-hal yang nggak jelas. Terus..."
"Terus apa?" tanya Dinda penasaran.
"Ada cowok cakep, kayaknya dari keluarga terpandang, dateng ke sini nanyain elo terus."
"Siapa, Sel?" tanya Dinda. Apa cowok yang dimaksud Selly adalah Panji? Seperti apa yang dikatakan Sasa barusan.
"Katanya dia cowok elo. Namanya Panji."
Mendengar penjelasan Selly, kedua tangan Dinda tiba-tiba menjadi dingin. Tidak. Bagaimana bisa Panji mencarinya setelah apa yang telah dia perbuat? Dan lagi, untuk apa lagi Panji mencari-carinya? Apakah Panji masih belum puas dengan apa yang telah ia lakukan? Lalu, apakah hari ini Panji akan ke sini lagi dan mencarinya? Jujur, Dinda benar-benar ketakutan jika itu terjadi.
Dinda menenggelamkan semua pikirannya pada pelajaran Fisika, dan Kimia. Dia bahkan mati-matian memfokuskan konsentrasinya meski selalu gagal. Dan, yang menjadi hal ganjil di sini adalah. Bangku yang ada di sampingnya, yang tampak sepi. Ya, bangku Nathan. Dia tak ada di kelas untuk mengikuti pelajaran. Padahal kata Regar, Nathan nyaris tak pernah membolos sekolah selama ia bersekolah di sini. Lalu, di mana gerangan cowok itu?