Apa tempat ini sudah gila? Anak SMA macam apa yang berciuman di tempat umum seperti ini? Apakah tempat ini lebih buruk dari SMAnya yang dulu? Dinda terus bertanya-tanya kepada dirinya sendiri.
"Woy! Ngapain lo! Keluar dari toko kayak abis liat buto ijo!" kata Nadya berhasil mengagetkan Dinda. Bahkan benar, wajah Dinda sudah pucat pasi.
"Ayo, ayo ke sekolah."
Dia langsung menarik tangan Nadya dengan paksa. Berjalan menuju gerbang sekolah secepat mungkin yang ia bisa. Dia benci jenis cowok seperti itu, jenis cowok yang tak beda dengan Panji. Cowok-cowok berengsek yang memanfaatkan ketampanan serta harta orangtua, kemudian digunakan untuk mengencani cewek-cewek yang menggilainya.
"Nanti kita telah, Nad!" kata Dinda.
Nadya berdiri sambil bersedekap, saat mereka berdua telah sampai di lorong sekolah. Sekolah di sini dibagi menjadi beberapa bagian, dan di setiap kelasnya memiliki bangunan bertingkat. Di depan kelas ada sebuah loker yang cukup besar. Loker tersebut diperuntukkan untuk murid-murid menyimpan beberapa barang mereka jika tidak ingin dibawa pulang.
"Lo, ini loker elo," kata Nadya. Sambil menunjuk sebuah nama di sana. Kemudian sebuah kunci tergantung manis di dalamnya.
"Harus ya dipakek?" tanya Dinda seolah enggan.
"Ya terserah sih, kalau lo nggak mau pakek tinggal kembalikan aja kuncinya ke Pak Edo. Selaku guru BP di sini. Tapi saran gue, simpen aja sih. Siapa tahu entar butuh," jelas Nadya.
Dinda membuka loker lemarinya, ada beberapa buku paket, dan beberapa peralatan sekolah lainnya yang mungkin telah disiapkan oleh pihak sekolah. Saat ia hendak mengambil buku-buku itu, ada sesuatu yang jatuh. Kartu merah, dengan lambang mahkota berwarna emas di sana.
"Lo ditandai...," kata Nadya. Wajahnya tiba-tiba pucat saat melihat Dinda membawa kartu itu. Bahkan tanpa sadar, ia melangkah mundur. Seolah ingin memberi jarak antara dirinya dan Dinda. "Kartu itu milik salah satu dari tiga pilar terpenting di SMA ini. Dan kartu yang elo pegang, milik raja di sini. Elo dalam masalah, Din. Di hari pertama lo pindah,"
Dina benar-benar tidak paham. Tentang pilar yang dimaksud Nadya. Namun dari mimik ketakutan yang Nadya sampaikan. Sepertinya, itu bukanlah hal yang baik.
"Maaf ya, Din. Tapi di sekolah, lebih baik kita pura-pura nggak saling kenal. Sebab gue nggak mau berurusan ama mereka."
Mereka? Dinda sama sekali tak tahu, mereka siapa yang dimaksud Nadya. Sebelum ia masuk kelas, dan melihat Nadya pergi dari pandangannya. Dinda memilih untuk ke toilet lebih dulu. Karena dia butuh cuci muka untuk sekadar mendapatkan rasa segar karena lelah telah menyelimuti dirinya.
Selama perjalannya menuju toilet yang Dinda masih menerka-nerka di mana tempat itu berada. Banyak sekali mata yang memandang ke arahnya. Mulai dari pandangan yang aneh, pandangan ingin tahu, bahkan pandangan... mengancam.
Aku harus bagaimana?
Dinda terus menuju ke ujung lorong, meski tak yakin pasti. Dia amat berharap jika apa yang dituju ada di sana. Dan benar saja, sebuah ruangan yang cukup megah tertuliskan toilet sudah ada di depan mata.
Dinda sadar sejatinya SMA Airlangga ini memang benar-benar besar, dan luas. Baik bangunan, dan fasilitasnya disuguhkan dengan cara tak main-main. Bahkan hanya sekadar toilet, Dinda dibuat terpana karenanya.
Dinda masuk ke dalam salah satu kamar toilet. Mencuci mukanya kemudian dia keluar lagi. Dan lagi-lagi, langkahnya terhenti saat melihat kejadian menjijikkan itu. Ketika sosok cowok yang sama sedang berciuman dengan cewek yang berbeda.
Tapi, apa yang ditampilkan Dinda jelas berbeda dari sebelumnya. Saat mata cowok itu memicing ke arahnya, Dinda dengan dingin dan tak acuh melaluinya begitu saja. Kemudian, melangkah dengan cepat menuju kelas.
"Murid baru? Adinda Ratih?" tanya seorang guru berkaca mata kepada Dinda.
Dinda mengangguk, ia tersenyum menjawabi ucapan guru yang di mata Dinda tampak begitu sangat ramah.
"Sudah tahu kelasnya, kan? Sudah mendapatkan pesan dari TU?" tanyanya lagi.
"Iya, Pak, sudah,"
"Ya sudah, selamat belajar, ya. Semoga kamu betah sekolah di sini. Kalau ada kebingungan, dan keluhan, kamu bisa tanya sama Bapak. Oh ya, nama Bapak Pak Edo, guru BP di sekolah ini."
"Iya, Pak, terimakasih,"
Lagi, Dinda melanjutkan langkahnya. Tapi, lagi dia dihadang oleh segerombolan cowok yang seragamnya tidak tertata rapi.
Mereka siapa?
"Siswi baru itu, ya?" tanya salah satu di antara mereka. Cowok flamboyan, yang tampaknya disegani teman-temannya. Cowok itu lalu menempelkan jari telunjuknya tepat di kening Dinda, dengan seringaiannya dia pun berkata, "seharusnya gue yang nandain elo. Tapi nggak masalah, sepuluh juta gue rasa nggak buruk-buruk amat buat harga diri elo,"
Lagi, Dinda diperlakukan seperti ini. Seperti seorang manusia hanya bisanya hanya dihargai oleh materi. Lagi, hati Dinda meradang. Sebelum cowok itu pergi, Dinda langsung menarik ujung seragamnya kuat-kuat.
"Seharusnya elo yang gue tandain. Sebagai cowok yang seharusnya enyah dari muka bumi ini!" setelah mengatakan itu Dinda langsung pergi. Bahkan dia sudah tak peduli jika saat ini teman-teman cowok flamboyan itu mengatakan sumpah serapah kepadanya. Sebab bagi Dinda, cukup keluarga Panji yang berani menginjak harga dirinya. Dan dia tidak akan pernah mau, jika yang lainnya melakukan hal yang sama.
"Itu tempat duduk Sasa," kata seorang cewek yang duduk di deretan bangku nomor tiga, baris kedua sebelah kanan.
Dinda yang baru masuk kelas, dan hendak duduk itu pun kembali berdiri. Kemudian ia kembali menaruh tasnya pada satu sisi bangku lainnya.
"Itu tempat duduk Gisel," kata cewek itu lagi.
Dinda mengerutkan kening. Jika memang tempat duduk ini berpenghuni, bukankah seharusnya tas-tas mereka telah ada di bangku ini sekarang? Atau mungkin jika memang mereka belum datang. Lagi, Dinda menaruh tas ranselnya di sebuah bangku, yang letaknya di dertan pertama sebelah kanan. Persis di samping cewek itu duduk.
Kemudian, cewek itu menghela napas panjang. "Itu tempat duduk Nathan, lo duduk di sana sama aja cari masalah," katanya lagi.
Dinda langsung berdiri, memandang cewek itu dengan alis bertaut. Di dalam kelas tidak ada siapa pun, selain cewek yang sedari tadi mengoreksinya untuk duduk. Sementara cewek itu tak pernah sama sekali membantunya mengatakan di mana bangku kosong agar dia bisa duduk sekarang.
"Lalu bangku yang kosong ada di sebelah mana, Mbak?" tanyanya jengkel.
Cewek itu hanya melirik sisi sampingnya, kemudian tak menjawabi ucapan Dinda dan sibuk dengan bukunya.
Dinda langsung duduk di samping cewek itu, yang tempatnya tepat di samping tempat duduk keramat milik cowok yang bernama Nathan.
Dan tak lama setelah itu, bel sekolah pun berbunyi. Menandakan jika jam pelajaran pertama akan segera dimulai. Kelas yang tadinya sepi pun kini sudah mulai ramai, para murid satu persatu menempati tempat duduk mereka. Dinda bisa melihat dengan jelas, tempat duduk yang kata cewek di sampingnya ini milik Sasa, kemudian milik Gisel. Jenis cewek-cewek yang Dinda sering temui di sekolahnya dulu. Yang bahkan Dinda berada di lingkaran itu.
Bukan, bukan berarti dia diterima di sana karena dia adalah orang yang kaya. Hanya karena Dinda ceweknya Panjilah yang membuat ia menjadi salah satu siswi beken di sana.
Dinda tersenyum kecut mengingat nama Panji lagi. Bahkan, pensil yang ada di tangannya pun patah tanpa terasa.