"Nama gue Nathan, seneng kenal ama elo."
Nathan mengulurkan tangannya tepat di depan Dinda saat cewek itu masih duduk manis di bangkunya. Tapi, apa yang dilakukan cewek itu di luar dugaan. Setelah melirik ke arah Nathan sekilas, ia pun meraih sebuah buku tulis beserta bolpoin, mengabaikan Nathan dan keluar dari kelas begitu saja.
Kasak-kusuk kembali terdengar, sebab baru kali ini ada cewek yang berani mengabaikan Nathan. Seorang Nathan, cowok paling digilai di sekolahnya. Seorang Nathan cowok paling berkuasa di sekolahnya.
Nathan tersenyum saat tangannya hanya mendapatkan angin kosong. Setelah menunduk, ia pun memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Memiringkan wajahnya sambil terus melihat kepergian Dinda. Nathan, tak semudah itu.
"Din, elo gila!" kata Selly—teman sebangku Dinda.
Setelah kepergian Dinda, Selly buru-buru berlari untuk mencari kepergian Dinda. Sebab dia harus menerangkan kepada cewek yang baru saja masuk ke dalam pusaran hitam itu jika ia dalam keadaan bahaya.
Tapi,Dinda mengabaikannya. Dia sudah sibuk dengan beberapa buku yang ia pinjam di perpus. Kemudian duduk dan mencatatat beberapa poin penting di sana.
"Elo tahu, Din, Nathan siapa?" kata Selly lagi.
Dinda menghentikan kegiatan menulisnya, kemudian ia memandang ke arah Selly dengan jenggah.
"Siapa dia nggak penting buat gue," jawabnya tak acuh.
Selly menghela napas panjang, meletakkan kaca mata bulat yang sedari tadi bertengger di hidungnya. Kemudian, memandang cewek cantik yang ada di depannya lekat-lekat. Meski Selly menebak jika Dinda dulu di sekolah lamanya adalah salah satu seperti Sasa, dan Gisel. Tapi Selly rasa, di tempat ini bukan tempat yang cocok untuk bersikap tinggi hati.
"Di sekolah ini ada tiga pilar penting yang harus, kudu, wajib elo waspadai...," kata Selly mulai menerangkan. "Si kartu kuning milik geng Sasa, dan Gisel, si kartu hitam milik Rendra, dan si kartu merah milik raja. Jika sampai elo mendapatkan salah satu kartu di antara mereka, itu tandanya elo udah ditandain. Elo udah menjadi incaran satu di antara mereka, dan yang artinya, idup elo nggak bakal tenang selama sekolah di sini."
"Terus, kejahilan apa aja yang akan gue terima kalau dapet salah satu kartu itu?" tanya Dinda. Dia meletakkan bolpoinnya, kemudian memandang ke arah Selly dengan seksama.
"Kalau lo dapet kartu kuning, di mana pun lo berada lo bakal dibully abis-abisan oleh geng Sasa, dan Gisel. Sampai kadang, cara mereka ngebully itu keterlaluan. Mereka ngebully lebih kek model cewek-cewek kaya ngebully temennya. Dan malah, ada yang nyuruh orang buat ngelecehin korban bullyannya. Terus yang kartu hitam milik Rendra, berhubung mereka suka banget tawuran, biasanya yang ditandai mereka anak-anak cowok. Dan elo pasti pahamlah, gimana anak cowok ngebully mereka. Parah abis. Itu... itu Rendra," kata Selly sambil menunjuk gerombolan anak yang sedang asik nongkrong di belakang perpustakaan.
Dinda menyipitkan matanya, menangkap sosok flamboyan yang tadi pagi menyapanya dengan cara tak sopan. Dia ingat betul jika cowok itu bilang sebenarnya dia akan ditandai olehnya. Jadi, cowok flamboyan itu adalah salah satu dari anak yang harus dihindari di sekolah ini?
"Dan yang terakhir, kartu merah milik raja...." kata Selly terhenti.
Dinda mengerutkan keningnya bingung. Karena jelas, ekspresi yang ditampilkan oleh Selly jauh berbeda dari sebelumnya. Terkesan lebih takut dari yang lain.
"Yang jelas kalau ini jangan sampai deh, Din. Elo bener-bener akan tamat kalau udah dapet kartu dari dia. Dan biasanya, anak yang dapet kartu dari dia, nggak nyampek seminggu udah keluar dari sekolah ini."
"Kenapa gitu?" tanya Dinda lagi.
"Karena dia yang paling berkuasa. Dia anak dari pemilik yayasan ini."
Dinda diam sesaat saat mendengarkan ucapan Selly. Kemudian ia merogoh sakunya. Mengeluarkan selembar katu merah yang sudah lecek, kemudian yang satunya sudah ia sobek-sobek di kelas tadi.
"Gue dapet, dua malah," jawabnya.
Selly tampak menahan napas, mata bulatnya tampak melebar dengan maksimal. Ia memandang Dinda yang tampaknya masih begitu tenang, kemudian segera ia merapikan buku-bukunya yang ada di meja.
"Din, elo tahu, meski di luarnya Nathan itu keliatannya paling cakep. Tapi ketahuilah, dia adalah cowok paling mengerikan di sini. Gue, gue balik ke kelas duluan, ya!"
Dinda menghela napas panjang, saat melihat Selly tampak ketakutan dan pergi. Ini sama seperti sikap Nadya tadi pagi. Dan sampai sekarang malah, Dinda tak melihat wajah Nadya di mana pun.
Tapi menurut Dinda, orang yang paling ia takuti dan mengerikan di dunia ini bukanlah Sasa, atau pun Gisal, bukan pula Rendra, apalagi Nathan. Karena ada Panji, dan orangtuanya, tipikal manusia yang paling jahat di dunia.
Lagi, Dinda mengabaikan pikiran yang mulai berkecamuk di otaknya. Ia benar-benar tak mau memikirkan bagaimana hancurnya dia lagi, bagaimana takutnya, dan mengingat kejadian itu. Saat puing-puing kesadarannya yang nyaris hilang, Panji memaksakan nafsunya kepadanya.
"Boleh duduk sini?��
Dinda terjingkat, detakkan jantungnya tiba-tiba terpacu dengan sangat kuat. Pupil matanya mengecil, kontras dengan mata kecilnya yang membesar. Sosok yang ada di depannya keheranan, sesekali sosok itu mengibaskan tangannya tepat di depan mata Dinda.
"Elo nggak apa-apa, kan?" tanyanya lagi untuk memastikan. Sebab melihat Dinda bersikap seperti orang ketakutan, adalah hal yang janggal. "Udah nggak ada tempat, jadi gue duduk di sini," kata sosok itu lagi.
Dinda langsung mengabaikan sosok itu, kemudian fokus lagi dengan kegiatan merangkumnya. Ini akan menjadi bahan untuk ia belajar nanti, dan juga bisa menjadi beberapa poin untuk mengerjakan tugas hariannya.
Suasana kembali hening, hanya terdengar suara batuk dari beberapa pengunjung perpustakaan, serta detakan jarum jam. Dinda mengangkat wajahnya, meneliti sekolas cowok yang ada di depannya itu. Dia rupanya hanya benar-benar berbagi tempat, nyatanya cowok itu benar-benar sudah sibuk dengan beberapa buku yang ada di tangannya.
Omong-omong soal buku, kenapa cowok seperti Nathan sangat gemar membaca? Bukankah seharusnya ia berada di salah satu tempat bersama dengan teman-temannya nongkrong? Sama seperti Rendra, atau bahkan menjaili cewek, dan melakukan hal-hal yang menjijikkan seperti tadi pagi.
"Kenapa? Gue cakep ya, ngeliatin mulu," kata Nathan yang berhasil membuat Dinda menunduk. Nathan tersenyum, tanpa memandang ke arah Dinda pun ia melanjutkan ucapannya. "Gue emang suka baca, nggak usah seheran gitu. Emangnya, cowok kayak gue, nggak pantes megang buku?"
Tapi, lagi-lagi ucapan panjang lebar Nathan dianggap lalu oleh Dinda. Cewek itu sama sekali tak menggubris ucapannya. Nathan menahan napas, dia tak ingin terpancing emosi karena perlakuan sedingin es yang ditampilkan Dinda. Cewek yang bahkan telah mempermalukannya tadi di depan umum.