Chereads / Jangan membuka pintu / Chapter 3 - bab 3

Chapter 3 - bab 3

Akhirnya semua keramaian itu berhenti sekitar jam 3 pagi. Para Ayah yang merasa kehilangan putrinya yang tidak diketahui jejaknya kembali ke rumahku dengan wajah kusut dan lesu. Satu-persatu para ayah itu memasuki ruang tamu dan kembali duduk.

Ayah dan ibu Riko serta Riko, sepupuku, telah pamit pulang, karena dengan alasan ayah Riko akan berangkat kerja.

Begitu memasuki ruang tamu, pandangan mata ayah Melisa berkeliling, mencari istrinya yang tidak ada di ruang tamu. Lalu, ayah Melisa berjalan pelan menuju ibuku yang sedang mengobrol dengan ibu-ibu yang lain di dapur.

"Mamanya Aldi, dimana istri saya?"

Ibu-ibu yang sedang mengobrol, berhenti sejenak, sebelum serempak menjawab.

"Mamanya Melisa pingsan."

Ayah Melisa terperangah. "Istri saya enggak kenapa-napa, kan?"

"Tenang, Papanya Melisa. Mamanya Melisa cuma kecapean."

Diam-diam aku yang sedang duduk di depan TV yang letaknya diantara ruang tamu dan dapur, mengamati percakapan antara papanya Melisa dan ibu-ibu mengenai kenapa istrinya pingsan.

Mungkin karena tahu aku sedang mengamati, papanya Melisa berbalik dan balas memandangku. Pandangan mata beliau tidak bisa aku tahu apa artinya.

Tanpa diberitahu, aku mengerti kalau ayah Melisa merasa penyebab semua ini karena diriku. Seandainya aku tidak mengizinkan Melisa main di tempatku. Kejadian ini mungkin tidak akan terjadi.

"Aldi, bisa bantuin Om ke kamarnya Tante kamu sedang istirahat?" Tanya papanya Melisa sembari tersenyum.

Tidak ada alasan bagiku untuk menolak permintaan ayah Melisa. Ketika aku mendekat, kulihat ada gurat lelah di wajahnya. Meski beliau terlihat tegar, guncangan kehilangan hebat putri dan istrinya yang sedang pingsan di kamar tamu rumahku membuat ayah Melisa lelah.

Baik ayah Melisa dan aku berjalan dalam diam menuju kamar tamu. Kami memang bukan tipe yang suka mengobrol, tapi kali ini terasa kaku dan membuat tidak nyaman.

Jarak kamar tamu tinggal 5 langkah lagi. Namun, ayah Melisa menghentikan langkah kakinya dan berbalik menghadapku. Aku kaget tapi sepertinya aku mengerti sekarang, permintaan ayah Melisa untuk mengantarnya ke kamar tamu tempat dimana ibu Melisa pingsan adalah agar dia bisa berbicara berdua denganku.

"Sebelum kamu pergi berenang bersama Riko," Kata ayah Melisa memulai pembicaraan. "Benarkah itu semua yang dikatakan Melisa kepadamu?"

Aku tetap diam.

Mata ayah Melisa terlihat putus asa.

Itu membuatku merasa tidak enak. "Saya sudah jujur, Paman. Semoga Paman percaya dengan ucapan saya." Aku menundukkan kepala, mengalihkan pandangan mata agar aku tidak menatap mata ayah Melisa.

"Berarti," suara papanya Melisa terdengar berat. "Dalam hidup ini. Apa Paman tidak bisa bertemu dengan Melisa lagi?"

Aku mengangkat kepala, dan kudapati bahwa ayah Melisa sedang tersenyum pilu, terdapat gurat lelah di wajahnya.

Dan itu percakapan terakhir kami, setelahnya aku mendapat kabar kalau ayah Melisa membawa ibu Melisa pergi meninggalkan tempat tinggalnya menuju ke kota Bogor.

Mungkin untuk melupakan pengalaman pahit kehilangan anak semata wayang mereka, Melisa, yang juga sepupuku.

Namun, keempat orang tua teman Melisa, orang tua Indah, Risma, Nala dan Friska memilih bertahan di sini. Sangat kecil kemungkinan kalau Melisa, Indah, Risma, Nala dan Friska akan kembali.

Juga kamar aku yang dipakai Melisa untuk bermain 'meminta tolong' akhirnya dikunci, dan tidak pernah dibuka kembali.

***

Aku bangun dari tidur, mimpi peristiwa dia tahun yang lalu ketika aku berusia 15 tahun, kemungkinan karena Riko menceritakan legenda tahu itu ke anak baru yang tinggal di daerah ini.

Aku harus memperingatkan Riko agar tidak membuat anak baru itu semakin penasaran. Dari sorot mata Dika yang bersinar ketika mendengarkan legenda tabu itu, bisa dianggap kalau Dika sangat penasaran dan juga tertarik.

Jam sudah menunjukkan pukul 06.00. Ada yang mengetuk pintu kamarku.

"Aldi, kamu sudah bangun? Ayo sarapan."

"Iya, sebentar, Ma."

Aku bergegas membereskan buku dan menaruhnya di tas ransel, masuk ke kamar mandi, mandi kemudian memakai seragam. Selesai semua itu, aku membuka pintu dan duduk di ruang makan.

Ayah sedang membaca koran di ruang makan, kopi yang hangat tersedia di depannya. Aku duduk berhadapan dengan ayah.

"Ayo sarapan dulu," ujar ibu sembari menyodorkan sepiring nasi goreng dan susu.

"Makasih, Ma."

Ibu hanya tersenyum dan mulai beberes dapur dan bersiap berangkat bareng ke kantor dengan ayah. Tak ada suara apapun selain sendok yang beradu ke piring. Ayah menghentikan membaca koran dan menatapku.

"Apa semalam kamu mimpi buruk, Aldi?" Tanya ayah.

Makanku terhenti. Diam-diam kaget saat ayah menanyakan hal yang tidak terduga.

"Iya, mungkin kebanyakan dengar cerita horor," kataku sembari tersenyum. Ayah jarang berbicara lebih sering diam dan mengamati, sementara ibu perhatian dan jika aku salah, akan dihukum, sepertinya ayah setuju saja dengan hukuman ibu. Tapi ayah lebih teliti daripada ibu. Misalnya seperti sekarang, entah darimana ayah tahu kalau aku habis mimpi buruk.

"Kamu enggak fokus saat makan, ayah perhatikan kamu enggak suka kacang dalam nasi goreng, tapi, ayah lihat kamu makan kacang 2 sampai 3 kali," kata ayah yang memperhatikan keheranan di wajahku. "Wajah kamu juga pucat. Beberapa kali kamu menutup mata sembari menghela napas." Lanjut ayah.

Nafsu makanku langsung hilang begitu mendengar penjelasan ayah. Aku meletakkan sendok di atas piring yang baru kumakan separuh. Seperti yang kuduga ayah tidak memprotes ketika makananku tidak habis, tidak seperti ibu.

"Kamu mau cerita ke Ayah?" Tanya ayah dengan nada perhatian.

Aku menatap mata yang tersorot lembut. Dan mulai bercerita.

"Ayah tahu ada anak baru bernama Dika?"

"Pernah dengar tapi belum ketemu orangnya."

"Kemarin ada tugas kelompok dan kami mengerjakannya di kamarku. Kemudian Riko menceritakan legenda tabu itu," tanganku mengepal, tanpa bisa kucegah kenangan tentang hilangnya Melisa dan keempat temannya membuatku terkadang tidak enak dan merasakan perasaan bersalah.

"Lalu?" Tanya ayah dengan nada lembut.

"Aku rasa Dika mulai penasaran," ujarku pelan. Rasa merinding itu mulai merayap dan membuatku gelisah. "Aku takut, Ayah."

Takut jika ada yang hilang lagi di rumahku persis seperti yang terjadi dengan Melisa dan keempat temannya. Bahkan jika ayah dan ibu bercerita, aku tahu ada beberapa orang yang berbisik di belakang punggung kami dan menyalahkan terjadinya peristiwa hilangnya sepupu dan teman-temannya.

"Aldi, itu bukan tanggung jawabmu peristiwa hilangnya Melisa dan teman-temannya, itu bukan tanggung jawabmu," ujar Ayah, kemudian berdiri dan menepuk bahuku. "Jika bisa kamu jelaskan ke Dika, jangan penasaran dengan legenda tabu di sini. Itu berbahaya."

Kemudian kami bertiga keluar rumah bersamaan, ayah serta ibu mengendarai motor sedangkan aku memakai sepeda untuk sampai di sekolah, kami berpisah arah ketika keluar dari kompleks perumahan. Ayah dan ibu kerja di kantor swasta yang berbeda divisi. Jadi ayah dan ibu satu arah.