Chereads / Jangan membuka pintu / Chapter 6 - Bab 6

Chapter 6 - Bab 6

"Apa kamu tidak tertarik dan tidak penasaran dengan hutan terlarang itu?" Tanya Dika memancingku.

"Tidak tertarik. Tidak ingin tahu. Tidak penasaran. Tidak mau tahu. Dan bukan urusanku." Jawabku cepat yang membuat Dika juga Riko tertegun.

Aku bisa menyebutkan seribu alasan. Tapi yang jelas, aku tidak mau dilibatkan oleh sesuatu yang akan menjadi bumerang di masa depan.

Seperti kasus hilangnya Melisa dan kelima temannya di rumahku.

Bohong jika aku tidak merasa menyesal. Munafik, jika aku berkata aku tidak merasa bersalah.

"Jadi, jika kalian ingin berbuat 'sesuatu', silahkan saja. Aku enggak ada niat untuk melarang. Itu bukan urusanku."

"Apa dia selalu sesinis ini?" Tanya Dika, menoleh ke Riko.

"Tidak. Waktu dulu Aldi justru pendengar yang baik, juga teman yang menyenangkan. Tapi setelah peristiwa hilangnya Melisa..." suara Riko menghilang setelah menyebut nama Melisa.

Ayah dan ibu berkata itu bukan salahku. Tapi, bagaimana bisa aku tidak mendengarkan suara sumbang yang menyatakan kalau aku sengaja meninggalkan sepupu dan kelima temannya di rumah. Membuat mereka bermain permainan 'sialan' itu!

"Apa kamu benar saudaraku, Riko?" Tanyaku dengan suara datar.

Kenapa kau malah membela orang lain?

"Tentu saja, Al. Apa kamu lupa aku sepupu kamu?"

"Lalu, apa..." aku menghela napas panjang, dan memejamkan mata sebentar, menahan emosi. Sebelum kembali membuka mata dan menatap tajam Riko. "Kenapa kamu menceritakan hal yang tabu itu? Kamu mau melanggar adat kita?"

"Alasan sebenarnya..."

Aku mengangkat tangan sebelah, menghentikan omong kosong Riko.

"Bukan urusanku. Aku enggak mau tahu."

"Al," panggil Dika.

Aku tersenyum sinis.

"Pendatang baru," panggilku. "Kamu mau tahu kenapa baru dua puluh tahun belakangan ini, daerah kami setuju untuk membuka keleluasaan agar penduduk yang belum lama datang diijinkan tinggal?"

"Aldi!" Riko teriak tidak setuju.

"Banyak hal yang membuat tetua daerah kami berpikir beribu-ribu kali, dan karena desakan dari berbagai pihak. Kami tidak punya pilihan," aku terus berbicara, walau raut wajah Riko tidak setuju.

Oh, jadi hanya Riko saja yang boleh bilang? Dan aku dilarang memberi tahu ke 'pendatang baru' yang rasa ingin tahunya ketinggian ini?

Aku mengukir senyum tipis.

"Alasan sebenarnya, tetua daerah kami tahu bahwa ada beberapa orang yang ingin melanggar 'legenda tabu' itu. Dengan diijinkannya pendatang baru ke tempat kami. Tetua daerah seolah berkata, 'kami tidak akan bertanggung jawab lagi dengan keselamatan kalian, lakukan semaumu!'" Aku terkekeh geli. "Jadi, Dika dan Riko, kalian salah mengancamku dengan seolah-olah kalian akan bermain 'permainan sialan' itu untuk mengatasi rasa traumaku. Silahkan saja! Kutunggu kabar berita hilangnya kalian."

Aku membalikkan badan, berjalan tanpa melihat lagi.

***

Setelah jauh dari mereka berdua, dan ketika aku memperhatikan sekitar, aku melihat tidak ada Dika dan Riko, aku menghentikan langkahku. Kusentuh dada kiriku, jantungku berdebar kencang.

Aku belum pernah berkata sekasar itu seumur hidupku!

Tapi, bagaimana lagi?

Aku berharap mereka tidak akan...

Sudahlah, kebodohan mereka mungkin sudah mendarah daging. Jadi susah untuk disadarkannya.

***

Ya. Aku bilang, tidak akan peduli dengan kenekatan dan kebodohan mereka karena mau pergi ke hutan terlarang di daerah kami.

Ya. Aku berkata, terserah mereka mau berbuat apa.

Tapi, begitu hari libur panjang tiba, kecemasanku membuncah hingga aku seperti orang bodoh, duduk di ruang tamu dan menonton acara humor yang garing.

Ayah keluar dari dapur sembari membawa secangkir kopi hangat.

Tanpa banyak bicara, ayah duduk di sofa dan minum kopi secara perlahan.

"Ayah boleh ganti acara yang lain?" Tanya ayah, meletakkan gelas kopi di meja dan mengambil remot TV.

"Ganti saja, Yah. Aku enggak nonton."

Tiba-tiba ayah terkekeh.

"Untung kamu ngomong begitu ke Ayah. Coba kamu bicara seperti itu ke Ibu," ayah melirikku dan nyengir. "Kamu pasti tahu seperti apa reaksinya."

Aku jadi ikut tertawa. Tentu saja aku tahu. Mustahil lupa, karena berulang kali aku diomeli ibu.

'Kalau tidak menonton jangan menyalakan TV! Berapa kali Ibu harus bilang? Kamu pikir bayar listrik itu pakai daun? Aldi! Ingat apa kata Ibu? Jangan nyalakan TV kalau enggak menonton. Mengerti?' begitu kata ibu kala itu.

Ayah yang menonton saat aku diomeli hanya mengelus dada dan menatapku simpati. Seolah berkata, 'sabar, Al, jangan melawan ibu. Ingat dosa!'

"Gimana kabar Riko dan Dika? Masih tertarik dengan legenda kompleks kita?"

"Enggak tahu. Aldi enggak peduli."

Ayah menatapku lembut.

"Kalau kamu enggak peduli, kenapa kamu gelisah seperti itu?" Tanya ayah dan setelahnya menepuk pelan kepala bagian belakangku.

Pernah terpikir kenapa ayah bisa menebak pikiranku?

"Tahu darimana, Yah?" Tanyaku penasaran.

Ayah terlihat geli ketika melihatku.

"Bagaimana ya?" Ayah tersenyum dan menatapku. "Ayah tidak tahu seperti apa pendapat orang lain ketika melihatmu, tapi Ayah jelas tahu, kalau kamu lagi memikirkan sesuatu yang serius, kamu tidak akan konsentrasi dengan keadaan sekitar."

Aku terkekeh, merasa tidak nyaman karena ayah tahu kebiasaanku yang dilakukan tanpa sadar.

"Kamu juga selalu gelisah ketika mencium bau hangus atau bau menyengat." Ujar ayah dengan nada pelan. "Kamu ingat?"

***

Ingatanku melayang ketika aku sedang berada di ruang TV, ibu sedang tidur di kamar. Tiba-tiba ada bau hangus dan menyengat merebak, seketika itu juga bulu kuduk langsung merinding.

Aku yang merasa sendirian, panik. Dan berlari ke arah kamar orang tuaku. Mengetuk dengan keras.

"Bu! Ibu!"

Walau hanya semenit aku menunggu di luar kamar, aku merasa sudah lama sekali aku berdiri di luar.

"Aldi?"

"Ada bau hangus. Bau menyengat! Ayo keluar. Kita lari, Bu! Sekarang!"

"Aldi, tenang, Aldi!"

"Dia datang lagi! Mahluk yang membuat Melisa hilang, datang lagi, Bu!"

"Bukan, Aldi!" Ibu memelukku, berusaha untuk meredakan kegelisahanku. Lalu berlari ke dapur.

"Ibu! Ke pintu luar. Tidak usah ke dapur lagi!"

Aku bergegas menyusul ibu yang berada di dapur. Sementara ibu sudah berada di depan kompor.

"Ibu..." panggilku dengan suara keras.

"Aldi," selak ibu dengan nada pelan dan gemetar. "Untung kamu enggak ikut tertidur, kalau tidak, kompor meledak. Ibu lupa mematikan kompor saat memanaskan makanan. Hehehe, ibu ceroboh ya?" Ibu berusaha tersenyum dengan air mata berlinang, seperti sedih.

Apa aku yang membuat sedih? Aku tidak bermaksud seperti itu.

***

"Aldi enggak bermaksud membuat ibu sedih karena ketakutan Aldi dengan bau hangus dan menyengat waktu itu."

Ayah yang duduk di sampingku juga menepuk bahuku pelan.

"Tentu saja Ibu dan Ayah tahu, kalau kamu berjuang agar tampak seperti biasanya. Kamu berusaha keras menutupi betapa takut dan merasa bersalah dirimu karena hilangnya Melisa. Ibu dan Ayah akan terus berpikir, kamu baik-baik saja, kalau tidak ada kejadian hangusnya gulai daging untuk makan malam kita."

Bersambung ...