Chereads / Jangan membuka pintu / Chapter 7 - Bab 7

Chapter 7 - Bab 7

Aku menggigit bibirku, menahan rasa cemas karena membuat orang tuaku khawatir. Aku memang ...

Ayah menepuk bahuku, tanpa bicara apapun. Beliau diam, karena tahu aku tidak butuh banyak saran yang malah membuatku semakin merasa bersalah.

"Ayah, aku..."

Maaf.

Itu yang ingin kuucapkan kepada ayah. Tapi, ayah tidak butuh permintaan maafku. Beliau berharap aku tidak berkutat dengan masa lalu.

***

Ayah tahu, aku harus disibukkan dengan mengerjakan sesuatu, agar tidak memikirkan duo yang (akan) berbuat kerusuhan.

Tanpa kutahu, ayah sudah berdiskusi dengan ibu untuk masa liburan ini.

"Gimana kalau liburan kali ini, kita pergi ke pantai?" Tanya ibu.

Aku tidak punya pendapat. Biasanya juga tanpa pendapat aku pergi kemana, ibu sudah memutuskan.

"Yah," suaraku terdengar tidak bersemangat, bahkan ditelinga aku sendiri.

"Ada apa, Aldi?" Wajah ibu terlihat cemas.

Ayah tidak berbicara, hanya menatapku.

Jangan membuat takut orang tua, bisikku dalam hati.

"Enggak apa-apa. Jadi kapan kita liburannya?"

***

Kota tempat kami tinggal, tidak ada pantai. Hanya pegunungan dan hutan yang luas. Maka dari itu, aku dengan percaya diri bilang ke Dika, kalau hanya anak laki-laki dari penduduk asli daerah kompleks kami yang tahu dimana tempat gubuk itu berada.

Tapi, tidak menutup kemungkinan Riko yang akan mengantarkan Dika pergi ke hutan terlarang itu.

Aku menggigit ibu jari tanganku, gugup.

Jadi, apa mereka akan dalam masalah?

Ah! Masa bodo!

Kenapa juga aku peduli dengan nyawa orang yang rela mempertaruhkan hidupnya hanya demi memuaskan rasa ingin tahu mereka?

"Aldi," panggil ayah.

Aku tersentak.

"Ya, Yah?"

Ayah tidak mengalihkan pandangan dari stir mobilnya. Sementara ibu tertidur di kursi mobil depan.

"Kita lagi liburan, loh, jangan memikirkan hal yang seharusnya membuat kamu tidak bahagia." Kata ayah. "Tenang, Aldi. Jangan khawatir."

Aku membalas senyum ayahku melalui kaca spion mobil. Kami saling berpandangan sebentar dan kemudian ayah fokus menyetir mobil lagi.

"Kamu punya rasa tanggung jawab yang besar, apa kamu tahu?" Tanya ayah.

Aku tak menjawab karena belum merasa yakin kemana arah pembicaraan ini berlanjut.

"Itu bagus, Aldi. Tapi, tidak semua itu tanggung jawab kamu. Jika memang Dika dan Riko melakukan hal-hal yang tak bisa kamu cegah, itu bukan tanggung jawab kamu. Ayah jadi tidak tega melihat kamu yang belakangan tidak nafsu makan dan terlihat murung. Kamu baru berusia 17 tahun, dan merasa bersalah ke orang yang tidak memikirkan apakah perbuatan itu berbahaya atau tidak untuk dirinya sendiri." Wajah ayah yang terpantul dari kaca spion terlihat kesal dan gemas.

Aku tidak berani membantah.

"Tahukah kamu bagaimana perasaan Ayah?" Tanya ayah dengan nada tinggi, rasa jengkel tergurat di wajah beliau. "Ayah tidak pernah melarang kamu dalam melakukan apa yang kamu suka, Ayah dukung semua yang kamu mau dalam hal positif. Tapi tidak dengan menyakiti diri sendiri dengan cemas kepada orang yang memanfaatkan rasa bersalah kamu karena hilangnya Melisa itu!"

"Iya, Ayah." Sahutku pelan.

"Kalau memang si Dika dan saudara sepupu kamu, Riko, enggak mau diperingatkan. Biarkan saja! Rasakan kalau ketulah."

Diam-diam aku tersenyum mendengarkan omelan ayah, karena cara berpikir kami sama.

Yah sudahlah, biarkan mereka bertindak semaunya. Toh, itu berarti mereka sudah memikirkan resikonya.

***

Di bawah pengaruh ibu yang ceria dan banyak bicara. Ayah yang pendiam juga pengamat yang baik, aku jadi agak lupa betapa tertekannya aku ketika memikirkan cara agar Dika dan Riko tidak terlibat dengan legenda tabu itu.

Aku tidak mengerti seberapa sulitnya bagi orang yang punya rasa ingin tahu tinggi, untuk tidak memainkan permainan berbahaya hanya karena rasa ingin tahu.

Kami libur selama seminggu di kota sebelah dengan menginap di hotel di sekitaran pantai. Dan aku merasa senang lepas dari beban pikiran mencegah Dika dan Riko berbuat hal yang mengundang bahaya.

Ibu juga senang, karena selama liburan seminggu itu, bisa terus memakan seafood dengan lahap. Dengan baik hati, ayah tidak mencegahnya.

Ayah berkata dengan suara pelan kepadaku, ibu senang makan seafood sejak mudanya, hanya saja berat badannya selalu naik dengan cepat, semenjak saat itu, ibu bertekad hanya makan seafood setahun sekali.

***

Setelah seminggu berlalu, ibu dan ayah mengajakku pulang. Sebab, besok mereka akan bekerja lagi. Kami berbeda waktu liburnya. Sementara aku masih ada waktu satu minggu lagi.

Ibu sempat cemas dan merasa bersalah karena tidak bisa menemani aku berlibur lebih lama.

"Bagaimana kalau kamu pergi ke rumah Tante yang ada di Surabaya? Nanti biar Ibu yang telepon."

Aku menolak dengan tegas, karena tidak enak merepotkan.

Sembari tersenyum, ayah menepuk pelan bahuku.

"Kalau itu keputusan kamu," kata ayah sembari mengangguk.

"Tapi..." ujar ibu terdengar ragu.

"Kenapa? Ini bukan sekali Aldi kita tinggal seperti ini," Tanya ayah kepada ibu.

Kedua orang tuaku dan aku sedang duduk di ruang keluarga sembari menonton TV dan duduk bersama di karpet yang empuk.

"Aku juga tidak tahu, Yah. Tapi perasaan kok enggak enak banget," ujar ibu sembari mengelus dada kirinya. "Bawaan aku kayak pengen nyembunyiin Aldi."

"Hush," sergah ayah, tidak suka. "Sembunyi apa? Emang Aldi salah apa?"

"Enggak tahu, Yah," kata ibu yang masih memegangi dada kirinya, tanpa terduga, air mata ibu turun menetes ke pipi beliau. "Perasaanku enggak enak banget gitu. Bagaimana ini, Yah? Aku enggak mau ninggalin Aldi."

Ibu jarang menangis di depanku. Tapi, kali ini beliau terlihat sedih dan takut. Wajah ibu pucat dan beberapa kali kulihat tangannya bergetar.

"Jangan seperti paranormal!" Sentak ayah. "Jangan mendahului kehendak Yang Maha Kuasa."

"Tapi, mencegah lebih baik daripada mengobati," kata Ibu sembari menjulurkan tangannya kepadaku, tak bisa menolak ibu, aku langsung mengenggam tangan ibu, melihatku meraih tangan ibu, beliau pindah duduk ke sampingku. "Aku enggak mau Aldi kenapa-napa." Ibu menatapku dengan pandangan takut juga khawatir, beliau memelukku dengan erat.

"Kenapa kamu punya pikiran seperti itu?" Tanya ayah dengan nada lembut.

"Firasatku, Yah."

Ayah menatap ibu tanpa bicara, tapi sangat jelas kalau ayah tidak percaya dengan alasan tersebut.

***

Pada pagi hari Senin, ayah dan ibu berangkat kerja seperti biasa. Ibu sudah duduk di mobil dengan mata sembab, karena khawatir kepadaku yang ditinggal di rumah seorang diri.

Sementara ayah dan aku berdiri di samping mobil untuk berbicara sebentar.

Ini bukan pertama kalinya, seperti kata ayah, aku ditinggal di rumah seorang diri. Dan juga karena aku sudah dari kecil di kompleks, aku jadi merasa aman walau aku sendirian di rumah. Itu bukan masalah besar.

Rupanya bukan ibu saja yang merasa khawatir.

Bersambung...