Chereads / Jangan membuka pintu / Chapter 9 - Bab 9

Chapter 9 - Bab 9

Riko dan aku keluar dari ruang TV kemudian duduk di ruang tamu dengan wajah pucat, kami berdua sama-sama terlalu lemas untuk berjalan keluar dari rumahku. Ini pertama kalinya, Riko dan aku punya perasaan ngeri yang sama.

Dika yang terakhir keluar dari ruang TV, dia memandang kami dengan wajah bingung dan berjalan pelan menuju kami.

"Ada apa sih? Kok buru-buru banget duduk di ruang tamu. Katanya pengen nonton TV?" Tanya Dika dengan wajah polos.

"Hei," dengan wajah pucat, Riko menatap wajah Dika yang terlihat bingung. "Kamu benar-benar tidak melihat apa-apa kan saat melihat lorong menuju ruang yang gelap itu?"

"Ah." Dika menggaruk belakang kepalanya. "Emang di sana ada apa? Enggak ada apa-apa kan?" raut polos Dika itulah yang membuat Riko dan aku tidak bisa berkata apa-apa.

Aneh sekali, sekarang Dika malah terlihat bingung.

Apa dia berarti tidak merasakan apa yang Riko dan aku rasakan?

Perasaan suram dan seolah mencekik, samar-samar mencium bau daging hangus. Apalagi, pada waktu itu, ditambah Dika yang tidak merespon panggilan kami. Itu…

Kupikir, aku akan mengalami kehilangan kedua kalinya karena legenda itu.

"Kalian pulang saja," ujarku lesu. "Aku mendadak enggak enak badan." Tanganku memegang dahi dan berusaha untuk tidak histeris di depan kedua orang ini.

"Hah?" teriak Riko dan Dika bersamaan.

"Kenapa?"

"Ayolah, Aldi. Jangan seperti itu! Kami bosan di rumah. Barusan kita sepakat akan pergi ke berenang kan?"

Mereka berdua berusaha membujuk dengan kompak. Tapi aku bersikeras mengeluarkan mereka dari rumahku.

Meski seharusnya aku yang kalah karena melawan 2 orang itu, tapi argumenku tepat dan baik Riko juga Dika dengan berat hati keluar dari rumahku, wajah mereka kecut dan secara tersirat mereka dengan jelas menolak keluar dari rumahku ini.

Maaf, Riko juga Dika. Bisikku dalam hati, ketika mendorong mereka berdua keluar dari rumah secara paksa.

Ketika aku menutup pintu pelan, aku melihat Riko dan Dika bertatapan penuh arti. Namun, mereka tidak menyuarakan apa isi pikiran mereka.

***

Seperti biasa, ayah dan ibu pulang pada malam hari. Mereka terlihat agak ragu karena melihat ada 3 gelas plastik bekas minum.

Ah, aku lupa membuang 'bukti' kehadiran Riko dan Dika.

"Siapa yang datang, Al?" tanya ibu sembari mengambil ketiga plastik minuman gelas dan membuang ke tempat sampah di ruang TV.

Ayah sudah mendelik curiga, dan terlihat tidak senang. Sudah bisa menebak siapa yang datang ke rumah walau aku belum memberitahunya.

Apa rasa bersalah serta cemas di wajahku terlihat jelas? Membiarkan kedua orang yang punya rasa ingin tahu tinggi masuk tanpa pemberitahuan kepada orang tua?

Yah, Riko juga Dika sudah masuk 'daftar hitam' ayah secara sepihak tanpa pemberitahuan. Hanya ibu yang masih bisa menerima mereka berdua bertamu di rumah tanpa diundang.

"Dika sama Riko," jawabku pelan dan tanpa sadar menelan ludah ketika melihat ayah mendelik semakin ganas.

Ayah orang yang fleksibel, tidak melarang aku harus berteman dengan orang yang harus bagaimana. Tapi, kalau ayah sudah tidak nyaman di hati. Yah…

Contohnya seperti Dika dan Riko ini.

Secara garis besar, ayah tanpa ucapan langsung berteriak dengan pandangan mata tidak senang, 'DILARANG DATANG KE RUMAH TANPA IJIN!'

"kalian ada rencana apa besok?" tanya ibu sembari berlalu, berjalan menuju kamarnya. "Mau jalan-jalan sama Dika dan Riko ya?"

Belum sempat aku menjawab, pintu kamar ibu sudah ditutup pelan dari dalam.

Tinggalah ayah dan aku yang masih berdiri di ruang tamu.

"Kamu enggak jawab pertanyaan Ibumu?" tanya ayah sembari menyilangkan tangan di depan dada beliau. Wajah ayah datar, namun sorot matanya tidak suka.

"Belum ada rencana kemana-mana," jawabku.

Ibu keluar dari kamar sudah mengenakan pakaian santai, kaos dan celana piama. Beliau menoleh ke ayah. Wajah ibu mengernyit tidak suka.

"Ganti baju dulu, Yah. Kenapa malah berdiri di ruang tamu?" tegur ibu halus.

Ayah tidak menjawab perkataan ibu, beliau membawa tas ransel yang terlihat berat di punggung. Sembari melewatiku, ayah menatapku dengan pandangan tidak suka.

Yang aku pikir karena masalah Dika dan Riko itu.

Ibu berjalan ke dapur untuk memasak. Untuk membantu ibu, aku sudah memasak nasi, jadi tinggal ibu membuat lauknya.

Menghilangkan kesepian, aku berjalan ke ruang TV yang tidak jauh dari dapur, dan mulai menyetel.

"Aldi, Al," panggil ibu dari dapur.

"Ya, bu?" balasku.

"Tadi siang kamu sama teman-teman kamu masak ya? Kok ada bau hangus dari dapur?" Tanya ibu.

Padahal aku sedang duduk. Tapi perasaan lemas menjalar ke seluruh tubuh seketika itu juga.

"Aldi, kok kamu enggak jawab?" tanya ibu tidak senang, karena aku tidak membalasnya.

"Tidak, bu." Jawabku dengan suara yang nyaris tidak bisa kusembunyikan ketakutan. "Aldi sama teman-teman Aldi enggak ada yang main ke dapur."

"Ah, yang benar?" tanya ibu dengan suara bercanda. Tapi aku tahu ibu juga sudah mulai takut.

Ibu dan ayah pikir bisa menyembunyikan dariku. Tapi suatu waktu, pada tengah malam, aku keluar dari kamar karena haus, pintu kamar ayah dan ibu terbuka sedikit. Aku mendengar ayah dan ibu berbicara dengan suara pelan.

Seingatku itu sebulan setelah hilangnya Melisa dan kawan-kawannya.

"Kamu sudah bangun, Bu?"

"Sudah."

"Itu hanya mimpi. Enggak usah dikhawatirkan," ayah berhenti sejenak. "Apa kamu mau pindah juga dari sini, kalau terus-terusan mimpi buruk dan mencium bau hangus terus. Aku ini jadinya enggak tega loh, Bu."

"Nanti juga hilang," sergah ibu sembari tertawa kecil. "Yah," panggil ibu pelan.

"Hm?"

"Jangan kasih tahu Aldi. Ibu enggak mau Aldi terus merasa bersalah." Ujar ibu sedih. "Aldi jadi semakin kurus," tambah ibu dengan nada prihatin.

Lamunanku terputus ketika ayah keluar dari kamar dan sudah mengenakan kaos dan celana pendek.

"Ada apa?" tanya ayah kepadaku.

Belum sempat kubalas, ibu sudah berteriak dari arah dapur, terdengar sekali dari nada suara beliau, ibu sedang gugup.

"Ayah," panggil ibu. "Ke sini sebentar. Ini gasnya habis."

"Hah?" ayah terlihat kaget, tapi tetap berjalan ke dapur, alisnya berkerut seakan berpikir. "Bukannya baru 3 hari yang lalu kita beli gas? Kok cepat sekali?" gumam ayah ke diri sendiri.

Tanpa ibu sadar, aku sudah tahu kalau ibu bohong soal gas habis itu, ibu tidak pandai berbohong. Jika berbohong, ibu langsung gugup dan cemas.

Sepertinya bakat aku tidak bisa berbohong itu menurun dari ibu.

"Ada apa?" bisik ayah.

"Bau hangus itu muncul lagi," kata ibu dengan suara seperti menahan tangis. "Bagaimana ini, Yah?"

"Tenang," kata ayah kalem. "Mungkin itu Aldi yang bikin masakan gosong. Belum tentu hal 'itu' kan, Bu?"

Bersambung...