"Riko," sentakku kesal. "Kamu lebih membela Dika yang bukan siapa-siapa kamu, ketimbang Melisa yang menjadi saudaramu sendiri?"
Aku tidak percaya Riko berkata seperti itu kepada Melisa, keluarga sendiri, hanya demi Dika seorang pendatang baru.
Di rumahku, hanya ada kami berdua, Riko dan aku duduk di ruang tamu, saling duduk berhadapan.
"Bukan begitu, Al," kata Riko mengelak.
Tapi aku tidak percaya, dari matanya, sudah terlihat jelas kalau Riko sudah melupakan persaudaraan dengan Melisa karena permainan tabu itu.
"Terus apa?" Sentakku. Mataku menyorot tajam ke arah Riko yang terlihat kaget dan tidak percaya.
"Al, bagaimanapun Melisa adalah saudaraku. Aku tidak sejahat itu sampai melupakan saudara yang tumbuh bersamaku sampai usia 13 tahun," Riko menjelaskan dengan lembut.
Emosi di dadaku langsung berkurang. Napasku yang awalnya cepat, karena menahan emosi berangsur menjadi melambat.
"Terus kenapa kamu cerita ke dia, Ko?" Tanyaku setengah meratap karena tidak bisa menahan rasa gelisah sekaligus takut yang menghantuiku setelah hilangnya Melisa. "Gimana kalau kejadian lagi? Gimana kalau misalnya itu terulang dan kejadian itu membuat kamu dan aku terlibat? Aku enggak mau merasakan perasaan bersalah lagi, Ko."
Ruang tamu hening sebentar dan hanya suara detak jam yang bergerak.
Ketika akhirnya aku menatap Riko, dia terlihat serius tidak ada raut santai di wajahnya. Dahinya mengerut, seakan berpikir keras.
"Kalau itu sampai kejadian lagi," Riko berhenti berbicara. "Aku akan menghentikannya."
Sejujurnya, aku tidak percaya dengan Riko. Tapi aku tidak ingin menyakiti perasaannya, jadi aku lebih memilih menutup mulut.
***
Ayah pulang bersama ibu sehabis maghrib.
"Kamu sudah makan, Al?" Tanya ibu setelah masuk rumah.
Ayah meletakkan tas ransel yang berat di sofa belakangku. Sementara, aku sedang mengerjakan tugas dari guru.
"Nanti, Bu. Belum berasa lapar."
Ibu mengelus rambutku dan berlalu menuju kamarnya.
Setelah ibu sudah tidak ada. Ayah duduk di sebelahku dan mulai menyetel TV.
"Bagaimana sekolah kamu, Aldi?"
Aku berhenti menulis dan menatap ayah yang masih memakai seragam kerjanya.
"Ada masalah?" Tanya ayah ketika melihatku tidak menjawab.
"Tidak, tidak juga," gumamku pelan.
... kecuali si maniak misteri, Dika, dan sepupuku, Riko, yang percaya saja ke Dika, berbuat ulah, aku enggak tahu bagaimana menjelaskan ke ayah.
"Wajah kamu kenapa kusut begitu? Bukan karena PR kan?"
"Nanti saja, Yah. Aku belum mau menjelaskan," ujarku sembari pura-pura menulis lagi, menghindari melihat mata ayah.
Bukannya aku tidak bisa berbohong ke ayah. Tapi, aku segan.
Yah, benar. Seperti aku tidak pernah mencoba berbohong ke ayah. Dan hasilnya...
Ha ha.
Alasan yang sebenarnya adalah ayah terlalu cerdas untuk dibohongi. Beliau tahu kalau aku bohong. Entah aku yang tidak pandai berbohong, atau ayah yang pandai melihat ekspresi wajah orang.
"Baik."
Kemudian fokus mata ayah ke TV yang menampilkan acara berita. Sementara, aku masih berkutat dengan tugas.
Tak ada yang berbicara, tapi kami tidak canggung sama sekali.
Ibu keluar dari kamar dan berjalan ke dapur. Terdengar suara potongan di atas talenan dan minyak dituangkan di atas wajan. Beberapa menit kemudian, tercium bau harum tumisan yang membuatku menelan ludah.
Ayah melirikku dan tersenyum tipis.
"Ah, sepertinya ada yang sudah mulai lapar, benar kan, Aldi?" Tanya ayah sembari menepuk bahuku.
Aku pura-pura tak mendengar dan tetap menulis.
Entah apa yang dilihat oleh ayah di wajahku, tapi ayah tertawa geli.
Dan wajahku memanas, merasa malu karena ditertawakan oleh ayah. Meski aku tidak tahu apa yang dilihatnya.
***
Aku tidak mau bertemu dengan Dika, orang maniak misteri legenda yang menyebabkan sepupuku menghilang.
Juga aku tidak mau bertemu dengan Riko, yang menurutku tidak mempunyai simpati karena mendukung orang lain untuk mencari tahu mengenai misteri tabu di daerah kami.
Sial.
Dua orang yang tidak mau kutemui malah berdiri berbarengan di tempat biasa aku menaruh sepeda.
Mimpi buruk apa semalam? Dua orang, Dika dan Riko berdiri berbarengan dan terlihat antusias ketika melihatku.
"Mau apa kalian?" Tanyaku ketus sambil menstandarkan sepedaku.
"Ayolah, sepupu. Jangan jutek begitu, masih pagi loh." Riko merangkul bahuku yang membuatku hampir terhuyung jatuh.
Dika yang mulanya masih berdiri di pinggir. Berjalan pelan menghampiri aku dan Riko yang mulai berjalan ke kelas.
Tanpa banyak bicara, Dika menepuk bahuku.
Aku menoleh ke arah Dika, karena bahuku ditepuk. Namun, langsung mengalihkan perhatian. Juga, Dika tidak keberatan dengan keacuhanku kepada dirinya.
Perasaanku kepada Dika sedikit rumit.
Begini, aku tahu Dika belum melakukan sesuatu yang berbahaya. Ketertarikan kepada legenda tabu di daerahku bisa dibilang (mungkin) wajar. Karena Dika penduduk baru dan hanya sedikit orang yang bicara dengan suara pelan mengenai legenda tabu itu.
Tapi ...
Kenapa Riko yang melihat betapa kisruh ketika Melisa dan kelima temannya hilang. Riko sekarang malah antusias?
Aku merasa dikhianati.
***
Pada saat istirahat, Riko dan Dika menyeretku ke belakang halaman sekolah.
"Nanti pas libur panjang, kamu punya rencana apa, Al?"
"Enggak..."
Ingin kujawab 'enggak ada' tapi melihat raut wajah antusias Dika dan Riko. Aku mendadak tidak menjawab.
"Enggak tahu. Nanti lihat dulu dengan rencana orang tua."
"Oh..."
Wajah mereka terlihat kecewa. Aku merasa tidak enak.
"Apa yang kalian rencanakan?" Tanyaku.
"Kami berniat pergi ke hutan terlarang. Tempat dimana gubuk legenda itu berada," kata Dika.
Aku mendelik menatap Riko, pasti anak ini lagi!
Dia sudah berjanji tidak akan mendukung Dika untuk menyelidiki legenda tabu itu...
Tapi, sekarang?
Riko mengerti tatapan tajam dariku.
Jadi, Riko memberikan senyum bersalah.
"Terserah kalian saja. Toh, kalian sudah besar. Aku enggak ada hak untuk melarang kalian pergi kemana." Kataku sembari memalingkan wajah ke arah lain.
"Oh, dikira kamu mau menghalangi kami. Mengingat rasa trauma karena kehilangan sepupu di rumah kamu?" Ujar Dika, yang di telingaku terdengar meledek.
"Mau kamu apa?" Tanyaku.
Jari-jemariku gatal sekali. Ingin kupukul kepala mereka berdua, agar mereka kembali berpikir normal.
Sebenarnya, apa saja yang sudah diceritakan Riko ke Dika? Sampai hutan angker, tempat dimana semua legenda tabu di daerah kami saja Dika tahu.
Dimana persis hutan itu berada hanya penduduk asli yang tahu.
Tanpa ada niat mendiskriminasi, hutan angker itu diceritakan kepada pihak keturunan laki-laki agar tidak melupakan legenda yang akan dianggap mitos seiring perkembangan jaman.
Dan kami, sebagai pihak laki-laki dari penduduk asli, dilarang memberi tahu kepada pendatang baru di daerah ini, supaya pendatang baru tidak takut terhadap legenda tabu tersebut.
Namun, sekarang...
Aku menatap marah ke Riko yang terlihat salah tingkah.
Kenapa, Riko? Kenapa kamu melanggarnya?
Bersambung.....