Prolog
Pada 700 tahun yang lalu, ada keluarga kecil, namun mereka hidup bahagia, sang ibu sudah tiada karena melahirkan si bungsu.
Kemudian ada satu hal yang tidak pernah disangka-sangka. Karena kecerobohan itu, mengakibatkan semuanya tiada.
Sebelum pergi ke hutan, sang ayah yang bekerja sebagai pemburu, berpesan kepada sang kakak dan adik yang bernama, Jaka dan Eko, agar tidak bermain hal yang berbahaya.
Begitu ayah pergi, sang kakak, Jaka pergi ke kamar dan tidur. sang adik bosan di dalam rumah, berulang kali dia melihat ke luar jendela.
Eko tidak bisa menahan rasa bosannya lagi. Jadi dia membangunkan kakaknya, Jaka.
Jaka yang sedang tidur, menggeliat malas. Dan menyuruh Eko main sendiri.
"Jangan ganggu, Eko. Sana main sendiri. Aku masih mau tidur."
Dengan hati yang kesal, Eko pergi ke dapur. Eko masih kecil, masih berusia 6 tahun. di dapur ternyata tidak ada yang menarik perhatian Eko juga.
Eko akan kembali ke ruang tamu, saat menyadari ada batu api di dekat tungku untuk memasak.
Dengan rasa penasaran, Eko meraih batu api itu kemudian mulai memainkannya. dia ingat, bagaimana kakaknya yang berusia 13 tahun menyalakan batu api untuk memasak. Jadi, Eko mulai memainkan persis seperti Jaka menyalakan untuk memasak.
Api menyala secara mendadak di tangan Eko, karena kaget, Eko melemparkan batu api ke dalam tumpukan kayu kemudian dengan cepat api menyebar.
Eko tidak menyadari bahwa rumah itu terbuat dari kayu juga. Jadi, api itu membakar dapur secara cepat.
Pintu belakang di dapur tidak bisa di buka lagi, karena tertutupi api.
Eko lari ke kamar Jaka yang masih tidur. Dengan panik Eko menceritakan semua. Jaka dan Eko kemudian menghambur keluar.
Ruangan itu sangat panas. Api menyebar tidak terkendali. Dan mulai memasuki ruang tamu. Joko juga Eko berusaha membuka pintu. Sayangnya tidak terbuka karena terkunci dari luar.
Baru saat itulah Joko menyadari ayahlah yang mengunci dari luar agar Eko tidak main ke pinggir hutan tempat mereka tinggal.
Bab 1
Itu merupakan legenda di tempat tinggalku. Kami sama sekali tidak tahu apa itu benar atau tidak, tapi konon ada pondok kecil yang agak hangus di tengah hutan.
Dan karena tempat itu dianggap tabu. Jadi kami yang tinggal di sini, tidak pernah mengungkit legenda itu.
Sampai suatu hari karena rasa penasaran dari teman baru yang tinggal di kompleks rumahku, kami mengalami pengalaman yang tak terlupakan.
***
Namanya Dika, dari sekilas yang kulihat dia termasuk orang yang rasa ingin tahunya tinggi, karena itu, ketika saudaraku menceritakan tentang legenda di kampung kami. Dia terlihat terpukau dan mendesak kami menceritakan lebih jauh.
Aku mendelik kesal kepada sepupuku, Riko.
"Sebenarnya, kita udah enggak boleh menceritakan hal ini. Tapi, biar sekedar kamu tahu aja."
Sementara keempat teman kami lainnya, pura-pura membaca buku, agar tidak menceritakan legenda tabu itu.
Ingin sekali aku marah ke Riko, sepupuku, karena cerita kepada anak baru.
Mata Dika masih menatapku, seakan memohon untuk cerita lebih banyak.
"Maaf, Dika, sebaiknya hanya segini saja kamu tahu. Terlalu banyak tahu tidak baik untukmu." Kataku sembari menatap kamar lamaku, yang sekarang dikunci.
***
Sebisa mungkin, aku tidak ingin mengingatnya. Itu melebihi ketakutan. Kamar lamaku menyimpan kenangan terburuk yang bisa dimiliki oleh orang lain.
Kenapa?
Karena kamar lamaku itu menjadi saksi bisu bagaimana sepupuku dan keempat temannya menghilang.
Aku mempunyai bibi yang melahirkan hanya seorang anak perempuan bernama Melisa, gadis itulah yang menjadi sepupuku. Gadis itu lincah dan jenaka, mempunyai banyak teman dan juga hampir semua orang menyukainya.
Sangat berbanding lurus denganku.
Bisa dibilang aku anak yang pendiam, jarang ingin tahu urusan orang lain.
Kemudian pada hari yang naas itu, Melisa, gadis imut dan lincah itu membawa keempat temannya. Aku masih ingat siapa saja mereka yang dibawa oleh Melisa. Ada Indah, Risma, Nala dan Friska.
"Kami pinjam kamar kamu ya?" Pinta Melisa.
Dan itulah hari terakhir Aldi bertemu Melisa.
Sore hari setelah aku bermain dengan Riko, aku pulang ke rumah nyaris menjelang maghrib, sementara orang tuaku pulang biasanya pukul 7 malam.
Pada saat aku membuka pintu, rumahku masih dalam keadaan gelap, dan tak ada satupun orang berada di dalamnya. Kupikir, Melisa dan keempat temannya sudah pulang tanpa membuka lampu di rumahku. Jadi, kunyalakan lampu untuk ruang tamu dan teras depan. Setelah aku masuk, aku mengunci pintu kayu depan. Dan berjalan menuju kamar.
Langkah kaki aku berhenti ketika menyadari sesuatu.
Ada bau yang membuatku merasa agak kaget adalah rumahku ada bau daging terbakar. Aku langsung lari menuju dapur dan ketika menyadari ternyata dapur baik-baik saja, aku menjadi lega.
Setelah aku berganti pakaian, aku duduk di ruang keluarga sembari menyalakan televisi. Waktu pun berlalu, ada suara ketukan di pintu. Dan saat kulihat sudah jam setengah tujuh. Aku agak heran, apa orang tuaku sudah pulang?
Tanpa banyak berpikir, aku bangun dari duduk dan pergi membuka pintu. Kudapati ada banyak orang yang berada di ambang pintu. Aku mengenal orang tua Melisa, karena mereka adalah om dan tanteku.
"Aldi, mana Melisa? Kok sampai jam segini mereka belum pulang?"
Aku menatap mereka dengan pandangan aneh. Pikiran pertamaku, mereka mengerjaiku, namun, seingatku, ini bukan ulang tahunku.
"Bukannya udah pulang ya? Waktu Aldi pulang dari main sama Riko, rumah udah gelap. Aldi pikir mereka udah pulang ke rumah."
"Enggak, Di, mereka belum pulang."
Wajah yang ada dihadapanku terlihat begitu serius dan tegang. Baru saat itulah, aku menyadari betapa seriusnya masalah ini.
"Boleh Om dan Tante masuk dulu, Aldi?" Tanya ayah Melisa kepadaku sembari merangkul bahu ibu Melisa. Wajah ibu melisa terlihat pucat.
Aku memepetkan diri ke tembok, agar orang tua Melisa dan yang lainnya bisa masuk. Sementara mereka duduk di sofa ruang tamu, aku masuk ke dapur dan membawakan mereka air minum.
"Loh, Mas Yusuf, tumben ke rumah beramai-ramai, kenapa?" Tanya Ayahku yang sepertinya baru pulang.
Aku merasa lega ketika orang tuaku sudah pulang. Meskipun aku tidak tahu keberadaan Melisa dan keempat temannya, aku merasa bahwa aku terlibat.
"Iya, Melisa ijin bermain ke tempat Aldi, tapi sampai jam segini belum pulang," kudengar ayah Melisa menjawab.
"Belum pulang?" Ayahku kaget. "Coba tanya Aldi. Dimana Aldi?"
"Tadi sepertinya ke dapur, membuat minuman," jawab seseorang, salah satu dari keempat orang tua teman Melisa.
"Aldi coba kesini sebentar," kata Ayah memintaku datang ke ruang tamu.