Chereads / Tale of Hades Bride / Chapter 22 - Introgasi

Chapter 22 - Introgasi

Dari semua pertanyaan yang akan dikatakan Aaron, Haya sama sekali tidak menyangka pria itu akan menanyakan pertanyaan bodoh, seperti 'kalau aku anggota gangster kenapa? Apa dengan menjadi anggota gangster bisa membuatmu menyukaiku? Atau tipe pacarmu anggota gangster?'

Haya tertawa menyindir. "Mana mungkin aku menyukaimu. Kamu bukan tipeku!"

"Benarkah?" tanya Aaron. "Sayang sekali."

"Aku akan menyukaimu saat kiamat tiba," sindir Haya ketus.

Aaron memperhatikan Haya. Dia ingin sekali tersenyum setiap melihat gadis itu. Haya selalu nampak kesal setiap bertemu dengannya.

"Jawab pertanyaanku. Apa kamu anggota gangster?" tanya Haya dengan nada memerintah.

Aaron hanya melipat tangannya santai. "Kenapa kamu tertarik dengan gangster? Apa kamu punya misi menyelidiki gangster?"

Mendengar itu, Haya langsung takut. Dari mana Aaron tahu dirinya sedang menyelidiki kasus gangster? Apakah pria ini mengikuti Haya?

Aaron bangkit berdiri. "Sudah kuduga, kamu memang sedang menjalankan misi menyelidiki gangster."

Tidak, aku tidak boleh mengaku. Ini pasti jebakan, batin Haya.

"Siapa bilang aku mendapat misi menyelidiki gangster? Aku bertanya karena kamu sangat misterius dan membuatku curiga sejak kita pertama bertemu," kata Haya berbohong.

"Kalau aku gak mau memberi tahumu, gimana?"

Haya menarik pistol kecil dari sakunya. Ia mengarahkan pistol itu pada Aaron. "Aku akan menembakmu."

Melihat itu, Aaron hanya menatap Haya dengan pandangan yang sulit dipahami. "Tembak aja."

Pria ini memang sudah gila, batin Haya semakin kesal.

"Aku berani bertaruh kamu gak akan bisa menembak persis seperti kejadian malam itu," kata Aaron sambil berjalan mendekat ke arah Haya.

Haya mulai panik.

Aaron merengkuh tangan Haya dan menyodorkan pistol ke lehernya. "Tembak aku, Haya."

Oke ini bukan ide yang bagus. Haya memang tidak bisa menembak orang yang tidak bersalah. Itu melanggar hukum dan nuraninya sebagai polisi.

Tunggu, rasanya dirinya pernah mengalami kejadian ini sebelumnya. Tapi dimana, batin Haya.

Perlahan Aaron menarik pistol dari tangan Haya dan meleparnya. Lalu pria itu mendorong tubuh Haya ke dinding persis seperti tadi.

"Baiklah. Aku akan menjawab pertanyaanmu," kata Aaron. "Tapi ada syaratnya."

"Apa?"

Haya sudah menyiapkan mentalnya jika Aaron akan meminta hal-hal aneh. Pria hidung belang seperti Aaron pasti meminta hal-hal tidak masuk akal.

"Nomor telponmu."

Alis Haya terangkat. "Apa?"

Aaron tersenyum. Haya bersumpah jika wanita lain yang tidak pernah bertemu Aaron melihat senyuman ini, wanita itu pasti sudah jatuh pingsan terpesona. Pria itu begitu menawan.

"Kenapa? Apa belum ada pria yang minta nomor telponmu sebelumnya?" tanya Aaron geli.

Wajah Haya memerah karena kesal. "Omong kosong apa ini? Berhenti bercanda, Aaron!"

"Kamu selalu menganggapku bercanda," keluh Aaron. "Baiklah kalau kamu gak mau memberiku nomormu, aku akan mengambil nomor itu sendiri."

Aaron mencondongkan wajahnya ke wajah Haya. Sementara itu tangan kanan Aaron memegang tangan Haya agar tidak memukulnya.

Pria itu mendaratkan sebuah ciuman lembut ke bibir Haya. Sedetik. Dua detik. Tiga detik.

Ciuman itu begitu lembut hingga membuat Haya menahan napas dan tidak bisa bergerak.

Lalu tanpa gadis itu sadari, tangan kiri Aaron merogoh saku celana Haya dan mengeluarkan ponsel.

Pria itu langsung mundur dan tersenyum penuh kemenangan. "Lihat aku berhasil mendapat ponselmu."

"KAMU!!! Beraninya kamu menciumku!!!"

Haya mendekat ke Aaron.

"Kembalikan!"

"Kalau kamu mendekat, aku bersumpah akan menciummu lagi. Coba saja kalau berani," Aaron mengancam.

Haya berhenti. Dia tidak berani mencoba. Dia tidak mau dicium Haya kedua kalinya.

Pria itu mengetuk-ngetuk layar ponsel Haya. "Akhirnya aku mendapat nomormu." Lalu ia melempar ponsel ke arah Haya.

"Aku akan menghubungimu, Haya," kata Aaron puas. "Oh ya, aku memang anggota gangster."

Tepat seperti dugaan Haya. Pria ini memang anggota gangster!

Aaron berjalan cepat menuju pintu kamar. "Kalau kamu punya pertanyaan tentang gangster, sebaiknya kita membahasnya di lain waktu."

Lalu pria itu keluar begitu saja.

….

Haya sampai di daerah perumahannya pukul 11 malam. Daerah rumahnya yang merupakan komplek rumah pejabat kepolisian sudah sepi. Hanya ada beberapa polisi yang berjaga memastikan rumah-rumah pejabat kepolisian aman.

Saat motor Haya lewat, salah seorang polisi memberi hormat padanya. Polisi di kompleks ini sudah tahu dirinya putri salah satu pensiunan pejabat polisi.

Sejak bekerja di kantor polisi sebagai polisi dengan jabatan rendah, Haya berusaha menutup mulut para polisi di komplek perumahannya agar tidak membocorkan identitasnya.

Sangat berbahaya jika orang-orang di kantor polisi tempatnya bekerja mengetahui identitas Haya sesungguhnya. Bisa-bisa Mayor Agung dan para kapten lainnya akan memperlakukannya dengan sangat istimewa gara-gara Haya anak seorang jendral.

Saat Haya membuka pintu rumahnya, ayah sudah duduk di ruang tamu seperti biasa. Pria tua itu menunggu kepulangan putri satu-satunya.

"Dari mana aja kamu?" tanya ayah sambil mendelik ke arah Haya.

Haya menghela napas. Selalu saja kejadiannya seperti ini. Setiap pulang malam, ayahnya yang super protektif selalu mengintrogasi dirinya.

"Habis minum," jawab Haya berbohong. Dia tidak bisa jujur mengaku pulang larut malam karena menyelidiki kasus gangster.

"APA?!"

"Udah deh, Yah. Jangan teriak malam-malam. Nanti tetangga bisa bangun lho," kata Haya sambil berjalan ke dapur. Dia sudah terlalu lelah menanggapi omelan dan kemarahan ayahnya.

"Kamu ini anak perempuan, bisa-bisanya pergi minum! Kamu ini polisi, ngapain minum alkohol, hah?!" ayah frustasi sekali.

Haya mengambil segelas air dan meneguknya. "Aku minum karena diajak sama atasan."

"Apa?! Bilang siapa nama atasan yang ngajak kamu minum? Beraninya dia mengajak anak perempuanku minum alkohol jam segini. Ayah bisa membuatnya turun jabatan!"

Haya memandang ayahnya. "Kalau Ayah sampai melakukannya, aku bakal kehilangan pekerjaanku. Lagipula minum sedikit gak apa-apa, Ayah. Ya aku anak perempuan, tapi aku bawa pistol dan pisau kemana-mana. Itu cukup untuk melindungi diri."

Ayah selalu saja khawatir pada keselamatan Haya. Ia terus saja tidak percaya kalau Haya bisa dan mampu menjaga dirinya dari pria-pria jahat.

"Aku mau tidur duluan, Yah. Ada banyak laporan yang belum kuselesaikan," kata Haya sambil bergegas naik ke lantai dua menuju kamarnya.

Haya sudah tidak ingin mendengarkan omelan ayahnya. Tubuh dan pikirannya terlalu lelah setelah bertemu Aaron.

"Heh, Anak nakal! Ayah belum selesai bicara!"

Di dalam kamar, Haya mengutuk dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia membiarkan dirinya dicium oleh Aaron! Bajingan satu itu sudah mencuri ciuman darinya.

Sialnya lagi itu adalah ciuman pertama Haya!

Di atas kasur Haya berguling-guling frustasi. Ia menyesal sekali bertemu pria itu malam ini.

Kalau boleh jujur, ciuman Aaron sangat lembut dan nyaman. Tapi… Haya tetap tidak rela berciuman dengan anggota gangster. Dimana harga dirinya sebagai polisi? Polisi tidak boleh dicium anggota gangster!

Aku akan membunuhmu jika kita bertemu lagi Aaron, batin Haya.